-2- Secarik Kertas Buram

Ternyata masmin @momo_DM masih melanjutkan bagi-bagi judul FF. Yasud saya terima saja tantangannya, Alhamdulillah bisa dijadikan pengalihan dari pekerjaan kantor yang super duper riweuh karena satu (lagi) teman saya resign.

Seperti biasa, saya coba sambungkan dari cerita kemarin. Dan, seperti biasa juga, saya masih belum tahu akan dibawa cerita ini dan kelak dia berakhir seperti apa. Tapi mudah-mudahan saja bisa dinikmati teman-teman yang tak sengaja nyasar ke sini ya he he he he.

Silahkan baca yang sebelumnya di sini.

***

Teruntuk Seruni

Kamu sudah tahu aku bukan pujangga
Kamu pun pasti mengerti aku tak pintar berkata-kata
Tapi izinkan aku untuk meminta
Biarkan aku mencintaimu selamanya

Secarik kertas di tanganku ini telah memburam. Tak bisa membohongi waktu yang telah berlari melewatinya. Atau, mungkin itu karena aku yang terlampau sering membacanya.

“Kak, baca puisi-nya mas Ghani lagi yah?”

“Iya Del.” Sahutku salah tingkah, malu karena tertangkap basah. “Kamu kapan datang?”

“Barusan.” Kini gadis itu menemaniku duduk, menikmati danau di hadapan kami yang beriak lembut tersapa angin. “Tapi mas Ghani juga sepertinya tidak bisa melupakan kakak tuh.”

“Jadi kamu berhasil?” Delia hanya mengangguk. “Kalian sudah jadian?” Lagi-lagi Delia mengangguk. Rencanaku berhasil dengan sempurna, tinggal menunggu langkah berikutnya.

Sebentar lagi mereka akan bertambah dekat, lantas Ghani akan mengajak Delia untuk dikenalkan pada keluarganya, dan pada saat itu aku bisa tahu kebenaran yang selama ini aku cari, lalu aku bisa membalaskan dendam ibu pada… Sebentar, kenapa aku merasa seperti seorang kriminal?

“Ternyata sulit juga menjadi kekasih dari seorang pria yang masih teringat mantannya ya Kak.” ucap Delia perlahan, membuatku bersyukur aku ternyata bukan kriminal. Mungkin, belum menjadi seorang kriminal. Delia memainkan sehelai daun kering yang tak sengaja jatuh di pangkuannya, dan seketika membuatku merasa bersalah. Delia tidak tahu apa-apa.

“Kamu tidak sedang jatuh cinta betulan sama Ghani kan, Del?” Tanyaku cemas. Dan kekhawatiranku semakin bertambah seiring Delia yang tetap terdiam seolah tak mendengar pertanyaanku.

“Kakak masih mencintai mas Ghani?”

“Jawab dulu pertanyaanku Del.”

“Jadi betul ya, kakak masih mencintainya.” Delia seperti kecewa. Apakah itu artinya dia betul-betul mencintai Ghani?

“Hei, kapan aku bilang begitu? Aku…”

“Lantas kenapa kalian berpisah segala?” Delia memotongku cepat. Detik berikutnya dia menatapku dalam diam, bening matanya membuatku bisa bercermin di sana. Tidak seharusnya aku melibatkan gadis ini dalam urusanku dengan Ghani, tapi penyesalan itu sudah terlambat. Delia kini adalah kekasih Ghani, dan kenapa aku merasa tidak rela?

Delia tak bergeming, mata itu masih menatapku, menunggu aku menjawab pertanyaannya.

“Terlalu rumit untuk bisa aku jelaskan Del.”

“Karena sekarang kakak lumpuh dan harus bergantung pada kursi roda?” Itu hanya satu alasan kecil, jawabku dalam hati. Aku tahu dan yakin Ghani akan tetap mencintaiku walaupun apapun. Sepasang kaki yang tidak lagi bisa berfungsi tidak akan bisa memadamkan cintanya, cinta kami. Tiba-tiba saja aku merindu lelaki itu dengan sangat. Untuk kemudian sadar bahwa Ghani mungkin tidak pernah tahu kenapa aku terpaksa membencinya.

“Bukan begitu Del…” Jawabku akhirnya.

“Lantas?” Aku menatap Delia yang tak sabar menunggu jawabanku. Sementara aku bimbang, apakah aku harus memberitahunya atau tidak. Bagaimana menjelaskan padanya bahwa Ghani mungkin saja adalah kakak kandungku sendiri?

“Hampir gelap Del, ayo kita masuk ke villa.” Aku mengarahkan kursi rodaku memunggungi danau yang tetap beriak lembut, berdansa mesra bersama sang angin mengantarkan mentari menjemput malam.

Note : 439

Bersambung…

19 thoughts on “-2- Secarik Kertas Buram

  1. FF yang bagus, Teh. Selalu. Dari sekian kata dan kalimat yang menarik, saya terpukau dengan kalimat ini …bening matanya membuatku bisa bercermin di sana…
    Ah, saya seperti sedang membaca karya Tere Liye saja, Teh.
    Sukses terus, Teh. Jadikan ff sebagai ciri khas Teh Orin.
    ___
    Tere Liye? huwaaaa….deg2an ginih ‘disamain’ sama beliau Bi hihihihi
    Terima kasih dukungannya ya Bi^^

    Like

  2. mbak orin, kerennn! 😀
    aku jadi kangen nulis FF. eh, itu betulan 400 an kata? kayaknya dibacanya masih kurang puas 😀 keren.. keren..
    ___
    ayo Ri, nge-FF lagi 😉

    Like

  3. emang selalu butuh pemahaman khusus deh kalo mbaca cerita2 Teh Orin. agak membingungkan di awal2 cerita, harus bolak balik agar kemengertian itu timbul. Akhirnya, bs ngerti jg deh, heehehe

    #makinpenasaran
    ___
    qiqiqiqi….mohon dimaklumi ya Sarah, otakku nih lumayan random, jd fiksiku jg gitu deh, banyak yg geje hahahaha

    Like

Leave a comment