#FFKamis – Jodoh Romlah

Perihal “jodoh tak kan lari ke mana” itu sudah Romlah pahami betul. Mas Paijo suaminya itu, yang sudah ditolak entah berapa ratus kali, tetap saja mengejar Romlah hingga perempuan itu luluh. Padahal Romlah sempat pacaran sama Tommy, tapi semesta memihak Paijo untuk berjodoh dengannya.

Romlah cinta sama Mas Paijo, tapi belakangan Romlah curiga suaminya itu selingkuh, hingga dia nekat menempelkan stiker konyol di belakang mobil Mas Paijo pagi tadi. Tapi saat ada telepon masuk dari nomor tak dikenal, Romlah cemas, apakah benar suaminya itu kawin lagi?

Penasaran, akhirnya Romlah menerima telepon.

“Halo?”

“Rom, ini Tommy. Kapan kamu jadi janda, Rom?”

whatsapp-image-2016-10-06-at-12-45-01-pm

Note: 100 kata, mestinya lebih panjang sih tapi…*ilangsinyal* hihihihi

Advertisement

#FFKamis – Seandainya Dul Tahu

Seandainya Dul tahu apa yang akan ditemuinya malam itu, mungkin dia akan menunda kepulangannya hingga esok pagi, atau minggu depan, atau tak usah pulang sekalian.

Seandainya Dul tahu, dia tak perlu terimpit berdesak di bus yang sesesak neraka. Dul juga tak perlu lelah berjalan kaki di malam buta yang gelapnya terlampau keparat.

Tapi yang sudah terjadi terlanjur terjadi. Dul hanya bisa terkejut saat didengarnya desahan laknat suara lelaki bersahut lenguhan istrinya di kamar yang seharusnya hanya miliknya.

Dul tak bisa apa-apa. Maka dipandanginya saja rumah yang baru saja dibakarnya dengan dua calon mayat gosong di dalamnya yang melolong minta tolong.

#FFKamis – Belanja Online

“Bu, kok uring-uringan begitu?”

“Ibu kena tipu, Pak”

“Hah?”

“Ceritanya kemarin ini Ibu nyobain belanja online itu lho, Pak. Biar kekinian.”

“He-eh, terus?”

“Ya terus gitu, kena tipu.”

“Kena tipu gimana sih, Bu?”

“Yaa … begitulah, Pak.”

“Ibu ceritanya yang jelas dong. Gimana detailnya?”

“Ibu kan order baju, Pak. modelnya bagus, motifnya cantik, warnanya manis.”

“Terus?”

“Pas barangnya dateng dan Ibu coba kok ya nggak pantes buat Ibu. Kena tipu toh namanya, Pak?”

“Hoalah, salah pilih ukuran ya? Kekecilan? Lah badan ibu sama model di foto kan pasti beda. Bukan kena tipu itu mah, Bu.”

“Hihhh … Si Bapak bukannya belain Ibu!”

**

Note: 100 kata

#FFKamis – Galau

“Bu, kenapa baju-baju dari lemari bertebaran di atas kasur?”

“Nanti Ibu bereskan, Pak. Masih galau.”

“Galau?”

“Galau menentukan pilihan, Pak.”

“Pilihan apa?”

“Pilihan mau pake baju yang mana, Paaak. Ibu pusing ini, semua baju rasanya udah pernah Ibu pake.”

“Hoh? Kok Bapak nggak mudeng, milih baju aja sampe galau begitu. Ya kalau mau baju yang belum pernah dipake beli baju baru, Bu.”

“Udah deh Bapak jangan gangguin. Laki-laki mana bisa ngerti sih urusan beginian. Ngeselin!”

“Emangnya Ibu besok ada acara apa sih?”

“Arisan RW, Pak, arisaaan. Jangan sampe deh Ibu dinyinyirin gara-gara ketauan pake baju yang sama dua kali.”

“Hah?!”

 

**

Note: 100 kata. Geje banget, biarinlah ya, daripada blog lumutan #eeaaa hihihihi

 

 

 

 

Lelaki Tua dan Menara Masjid

Masjid Agung Cirebon, Indonesia

Masjid Agung Cirebon, Indonesia

Senja menjelang, masjid mulai terlihat ramai. Tapi seorang kakek yang kulihat seminggu ini tetap menggelar sajadahnya di beranda masjid, di samping pilar paling ujung yang terlampau sepi. Baru bergabung saat sholat berjamaah dimulai.

Penasaran, aku mendekatinya.

“Assalamu’alaikum, Kek, mari menunggu di dalam, masih banyak tempat kosong.”

“Mas baru ke sini ya?” tanyanya setelah menjawab salamku.

Aku mengernyit, ajakanku berbalas pertanyaan -yang menurutku- tidak berhubungan sama sekali.

“Betul, Kek,” jawabku akhirnya.

Lelaki tua itu tersenyum. “Saya di sini saja, Mas.”

“Kenapa, Kek?”

“Saya suka memandangi menara masjid itu, Mas.”

Aku mengikuti arah pandangan matanya, pada menara tertinggi yang ada di masjid ini. Terlihat begitu tinggi dari tempat kami berada. Megah. Indah. Tapi untuk apa Si Kakek memandanginya berlama-lama?

“Oooh.” Aku hilang kata, hanya kuperhatikan saja saat Si Kakek memandangi sang menara, bibirnya tersenyum lebar, meski matanya kulihat sedikit mengkristal.

Mungkin Kakek ini sedikit gila, pikirku. Kutinggalkan dia menikmati si menara sendirian.

“Dibiarkan saja, Mas. Sudah beberapa tahun ini Pak Irman memang begitu,” ujar seorang anak muda yang kulihat sering menjadi muazin.

“Kenapa Pak Irman begitu menyukai memandangi menara masjid, Mas?” tanyaku masih penasaran.

Anak muda itu menatap Pak Irman yang masih asyik menatap menara. “Anak lelaki pak Irman terjatuh dan meninggal dunia saat sedang membersihkan menara.”

“Oh?”

**

Lombamenulis

Note: 210 kata

 

Rahasia Samsudin

Perihal Samsudin yang masih saja melajang di usia sekian, selalu menjadi perbincangan hangat bagi warga kampung. Lelaki itu memang tak seberapa tampan, tapi tidak bisa juga dikatakan buruk rupa. Giginya lumayan teratur bersembunyi di dalam mulut, hidungnya memiliki dua lubang seperti seharusnya, alisnya pun berbulu meski tak seperti serombongan semut yang tengah berbaris. Intinya, dia cukup rupawan untuk bisa mendapatkan seorang perawan.

Maka saat Sam betah melajang hingga rambutnya beruban, hal itu membuat warga kampung menduga yang tidak-tidak. Misalnya saja, lelaki itu memiliki burung yang tak sanggup berdiri. Atau, yang lebih kejam dan sedikit menjijikkan, Samsudin hanya terpikat pada sosok manusia yang berjenis kelamin sama dengan dirinya.

Kedua praduga itu tentu saja sampai juga di telinga Samsudin. Tapi bak seorang sufi yang tak lagi peduli urusan duniawi, Sam hanya tersenyum tanpa mengiyakan atau pun menyangkal. Terkadang tetua kampung berani bertanya kenapa dia tak juga menikah, dan dia hanya akan menjawab dengan kalimat basi semacam “mungkin belum waktunya”, atau “belum ketemu jodohnya” dan kemudian minta didoakan. Tapi jika yang bertanya anak muda kepo yang tak tahu adat, biasanya Samsudin akan membalas dengan kalimat pedas yang sedikit panas seperti : urusi saja urusanmu sendiri!

Hanya padaku dia berani bercerita. Konon karena aku mengingatkannya pada masa lalu yang ingin dilupakannya. Saat malam terlelap seringkali dia datang, lengkap dengan sekarung air mata dan bergelas-gelas kopi yang baru habis menjelang pagi. Mari kuceritakan rahasia Samsudin padamu, kau tidak akan menceritakannya pada siapa pun lagi, bukan?

Begini rahasianya.

Dulu, dia pun memiliki separuh sayap yang tertempel di punggungnya. Seperti lelaki lainnya yang terlahir di semesta, sayap itu kelak akan menemukan pasangannya. Keduanya akan hidup bersama, hingga jika tiba saatnya, sepasang sayap itu akan mengepak hingga ke surga.

Tapi Samsudin belia terjerat jaring perak laba-laba yang membuat sayapnya rusak, bulunya tanggal helai demi helai, perlahan patah, untuk kemudian hilang menguap mengasap seluruhnya. Begitulah. Sam terpikat pesona nyonya-nyonya kaya yang akan memberi segala yang dia minta dengan suka cita. Tugasnya mudah belaka, Sam hanya harus menukar semua itu dengan membiarkan nyonya-nyonya kesepian itu menikmati dirinya.

Meskipun tentu saja, Sam tak bisa selamanya muda, dan lelaki yang mulai menua tak lagi menarik bagi nyonya-nyonya. Terlampau terlambat bagi Sam untuk menyelamatkan sayapnya, dia mengerti, tak ada perempuan yang sudi menerima separuh sayap yang telah hilang. Maka demikianlah, Samsudin menjelma lelaki dalam kisah yang sedang kau baca ini.

Siapa aku, tanyamu? Jika kau sungguh ingin tahu, pergilah ke rumah Samsudin, kau akan menemukanku di salah satu sudut langit-langit kamarnya, bersusah payah memintal jaring mencoba memikat seekor-dua ekor nyamuk yang tersesat.

**

418 kata, untuk prompt #115 – Sayap yang Patah. Ampun banget deh ya itu judulnya  hahahaha:P

Pertemuan dengan Ro

Lanjutan dari cerita Hari Pertama Qy.

**

Seperti yang telah Xa katakan sebelum mereka bertarung, tak perlu waktu lama untuk Qy bisa mengalahkan Xa. Lelaki itu tumbang akibat tendangan Qy yang telak mendarat di dadanya. Xa roboh, terjengkang lantas terkulai nyaris telentang. Tak bergerak. Tak bernyawa.

Qy menatap Xa beberapa detik tanpa berkedip. Manusia pertama yang ditemuinya, dan terpaksa harus dibunuhnya, hanya karena Qy tak ingin mati di hari pertama dia hidup. Rasa bersalah merayap perlahan.

Di atas mereka, dua suara berseru-seru heboh.

Continue reading

#FFKamis – Bertemu Ayah

Rara bersenandung kecil saat memasuki rumah, wajahnya ceria.

“Rara senang sekali ya tadi di sekolah?” tanya Ibu tersenyum. Gembira melihat Rara akhirnya kembali ceria setelah berbulan-bulan selalu muram.

“Iya, Bu.”

“Kenapa? Dapat hadiah dari Bu Guru?”

Rara menggeleng.

“Terus? Kenapa dong?”

“Tadi Rara dijemput Ayah di sekolah.”

“Rara!” Ibu terpekik kaget. “Ibu kan sudah bilang, Rara harus belajar merelakan Ayah. Ayah kan …”

Rara menangis, kaget mendengar teriakan ibu, sedih karena dimarahi. Lantas berlari ke luar, membiarkan ibunya menangis sambil memanggil-manggil namanya.

Di luar pagar, Rara masih terisak, tapi kemudian berbisik lirih seraya menangadah. “Rara ikut Ayah ke surga, boleh kan?”

 

Reading Challenge : The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared

Iya, temans, judul novelnya memang sepanjang itu! Kalau dibahasa-Indonesiakan akan lebih panjang: Lelaki berusia 100 tahun yang memanjat keluar jendela dan menghilang. Eh, sebelas dua belaslah ya panjangnya hihihi *abaikan*.

Tapi justru karena itulah -menurut saya- novel ini sangat menarik. Saking menariknya, saya merasa harus ‘mengabadikan’ kesan saya terhadap Allan Emmanuel Karlsson dalam novel kolaborasi saya Yesterday in Bandung itu. Nah, jadi ketahuan deh ya saya menulis tokoh siapa di sana hihihihi.

DSC_0012

Baiklah, karena ini reading challenge (yang pertama yang saya ikuti di MFF hihihihi *peace*), mari langsung saja kita jawab pertanyaan dari Jeng Vanda berikut:

Continue reading

#FFKamis – Suara Surga

“Hallo?”

“Hai, Mayang. Gue nih, Tito.”

“Iya, gue tahu. Nomor lo kan ada di contact gue.”

“Oh iya ya.”

Si pemuda tertawa salah tingkah, si gadis terkikik geli.

“Ada apa, To?”

“Nggak. Gue ganggu ya?”

“Nggak juga sih. Tapi kan nggak biasanya lo nelepon gue kalau nggak ada apa-apa.”

“Mmm…”

“Kangen lo sama gue?”

Sebuah gelak terdengar. Parau. Ragu. Malu.

“To? Kenapa?”

“Ngggg … gini, May. Gue lagi ngopi.”

“Terus?”

“Lo tau sendirilah, di kosan gue kopi item banyaaak banget, tapi nggak ada gula.”

“Jadi?”

“Yaa, jadi gue mesti nelepon lo, biar suara surga lo bikin kopi gue terasa manis.”

“Oh?”