Menjadi Seorang Srikandi (?)

Selamat ya, menjadi satu dari 50 nominasi Srikandi Blogger 2013 adalah sebuah pencapaian yang gemilang. Apakah aku sudah bilang aku begitu bangga padamu? I am proud of you, Dear 😉

Terima kasih. Itu sangat mengejutkan buatku. Kenapa aku, ya?

Ah, aku lupa kamu cenderung bertanya ‘kenapa’. Kenapa aku? Bolehkah aku jawab : Kenapa tidak? 🙂

Aku mengerti ketidakmengertianmu. Selama ini keberadaanmu di Kumpulan Emak-emak Blogger (KEB) tidaklah terlalu aktif, sangat jarang berkomentar, belum pernah mengirimkan tulisan di website, tidak banyak nimbrung mengobrol ini itu dengan emak-emak lain di sana, aktivitasmu hanya sesekali me-like dan atau sharing postingan di blog. Apakah itu membuatmu merasa tidak berhak menjadi satu dari 50 nominasi?

Iya, sepertinya begitu. 

Tapi kamu pasti tahu, para emak-emak juri dan panitia tentunya memiliki pertimbangan tersendiri telah memilihmu. Lantas kenapa tidak bergembira saja? Lalu tunjukkan pada mereka kamu pantas dan tidak akan membuat mereka kecewa.

Lagipula, sesekali berhentilah bertanya ‘kenapa’, karena mungkin tak perlu alasan apapun untuk melakukan sebuah kebaikan.

Tapi, apa yang sudah aku lakukan? 

Tidak ada.

Banyak.

Terserah kamu pilih jawaban yang mana. Kenapa harus berhitung? Kamu menulis karena kamu suka melakukannya, bukan? Maka menjadi blogger hanyalah julukan karena kamu menuliskannya di sebuah media bernama blog. Maka menjadi Srikandi hanyalah istilah karena kamu perempuan. Kamu akan tetap menulis walaupun tanpa julukan dan istilah tersebut, iya kan?

Iya. Tapi, emak-emak yang lain hebat, sementara aku bukanlah siapa-siapa. 

Mungkin kamu harus belajar berhenti membandingkan kekuranganmu dengan kelebihan orang lain. It’s not fair at all. Kamu adalah individu istimewa, tak seorang manusia pun yang bisa menyamaimu. KEB itu komunitas yang hebat, hanya pribadi-pribadi hebat -sepertimu- yang bisa berada di sana.

Itu terlalu berlebihan, aku jauh dari kata hebat.

Kamu ingat, tidak? Waktu kecil dulu kamu pernah belajar tari klasik Sunda. Menurut guru menarimu itu, hanya kamu yang paling pantas menarikan tarian Kandagan, tarian yang bercerita tentang seorang putri yang ingin diizinkan untuk ikut berperang.

Ya, aku ingat. Siger dan susumping itu membuatku seperti Srikandi sungguhan. Apalagi dengan sebilah keris besar di punggungku itu.

Kamu tahu kenapa hanya kamu yang bisa menarikannya dengan baik? Karena kamu bisa menjadi sangat gagah di antara gerakan yang gemulai, saat teman-temanmu tidak ada yang bisa melakukannya secara bersamaan.

Hubungannya dengan Srikandi Blogger?

Maka sekali ini, biarkan saja orang lain yang menilainya. Kamu hanya perlu menunggu. Melakukan yang biasanya kamu lakukan. Untuk kemudian menanti apa yang akan terjadi. Karena seperti guru menarimu dulu, sahabat-sahabat lain di sekitarmu mungkin melihat sesuatu yang selama ini luput dari perhatianmu.

Apa yang harus aku lakukan sebagai Srikandi Blogger? 

Menjadi dirimu sendiri seperti biasanya, yang terbaik. Tetap menulis -dengan semua kegejean dan kegilaanmu- seperti biasanya. Tetap bersahabat dengan siapapun seperti biasanya. Tetap berbagi tentang apapun seperti biasanya. Tetap menjadi dirimu yang aku kenal seperti biasanya.

Baiklah, spertinya aku bisa melakukannya. Lagipula aku tidak mungkin menang, kan?

“If you never give up, you can not fail”, itu saja jawabanku.

Ah, jawaban itu terlalu absurd, terlalu diplomatis, terlalu samar.

Tapi kamu menyukainya, bukan?

Iya. Karena bukan itu yang terpenting.  Walaupun tentu saja akan sangat membahagiakan jika aku bisa menang.

Kewajiban kita -aku dan kamu- sebagai manusia hanyalah berupaya, hasilnya akan seperti apa adalah wewenang Tuhan semata.

Well, mungkin dalam hal ini para emak juri.

Keputusan Tuhan yang dilewatkan Tuhan pada para emak juri.

Ah, aku pun lupa kamu terkadang keras kepala.

Yeah, tentu saja. Aku ‘kan kamu sendiri.

Hahahahaha, terima kasih sudah menemaniku menulis postingan ini.

Semoga berhasil ya. Aku dan sahabat-sahabatmu yang lain akan mendukungmu, berdoa yang terbaik untukmu.

Terima kasih ya, terima kasih banyak untuk semuanya.

-o-

Advertisement

Episode Bosan

“Aku bosan.”

“Bosan?”

“Iya, B.O.S.A.N. Masa kau tidak mengerti definisi bosan sih  Italic?”

“Emh…kan ga perlu sewot begitu. Aku hanya mengkonfirmasi ulang tadi.”

Bold dan Italic sama-sama terdiam, sesaat. Bold kesal, Italic tersinggung.

“So, bosan kenapa?”

“Entahlah…”

“Bosan terhadap apa?”

“Entahlah…”

“Ah.. kau aneh Bold.”

“Mungkin…”

“Hmm…”

Kembali mereka berdua terdiam, beberapa saat. Bold bingung, Italic lebih bingung lagi.

“Chating aja, ngerumpi sama siapaaa gituh.”

“Males ah.”

“Fesbukan deh, cari temen-temen zaman baheula.”

“Udah basiii… ogah.”

“Yawda twitteran gih, follow celeb, atau tokoh politik, atau sastrawan. Ikuti keseharian mereka, update kehidupan mereka.”

“Nope, Gariiiiing…”

“Ngeblog ! You do love writing, don’t you?”

“I have a zero idea, skip dulu deh.”

“Beuuuhh….”

“….”

Italic kesal, Bold cemberut.

“So..?!?”

“What?”

“Aku bosaaaaaaannnn!!!”

“Segitunya deh. Au ah..”

“Ayolah, bantu aku. Aku bosan dengan kebosananku.”

Italic terbahak, Bold merengut.

“Maaf deh, aku sudah menertawakan kebosananmu.”

Bold masih terdiam.

“Mungkin karena kau sudah hidup seperti robot.”

“Maksudmu?”

“Ya begitu, seperti robot yang sudah terprogram. Keseharianmu hanya berupa rutinitas yang cenderung sama.”

“Hmm….”

“Sudah waktunya kita me-refresh aktifitas kita Bold.”

“Ah…teori…”

“Ah…kamu yang terlalu apriori.”

“Begitu ya?

“Teorinya begitu. Aplikasinya juga harusnya begitu.”

“Jadi aku bosan karena rutinitasku, begitu?”

“He-eh.”

“Contoh konkritnya aja deh.”

“Kenapa sih malas berpikir?”

“Ah, bilang saja kamu tidak tahu contoh konkritnya apa.”

“Bener kan ngga mau berpikir?”

Bold merah padam, Italic menggeram diam.

“Sudahlah. Aku bosan bertengkar.”

“Ya sudah.”

“So?”

“Apa?”

“Kesimpulannya bagaimana?”

“Kesimpulannya tidak ada kesimpulan !”

Italic melenggang pergi, Bold terpana bosan.

** Photo note : another narcistic pic @ tahura.


Episode ‘Wish’

Bold dan italic kadang tak mengerti, kenapa mereka kerap kali berbeda pendapat, tak sejalan dalam berpikir, bahkan sering sekali bertengkar hebat.

Seperti juga kali ini.

“Sebenarnya apa sih yang kau inginkan?”

“Kenapa kau tanya aku? Tanya saja dirimu sendiri.”

“Hei… jawab pertanyaanku dengan jawaban, bukan dengan pertanyaan lagi !”

“Ngga perlu sewot gitu dong. Karena seharusnya kau tidak perlu mempertanyakannya kalau kau sudah punya jawabannya. Iya kan?”

Bold terdiam, ingin mengiyakan namun terlalu malu untuk mengakui. Dan akhirnya mulai melunak.

“Aku cuma betul-betul ingin tahu, apa yang sebenarnya kau inginkan?”

“Ralat!! ‘KITA’ inginkan, bukan hanya aku.”

“Ya, oke lah terserah kau saja. Tak perlu diributkan.”

“Tak perlu diributkan gimana? Jelas-jelas itu dua kata berbeda yang sama sekali tak sama maknanya.

“Kenapa sekarang kau yang marah-marah sih? Maksudku tadi aku cuma salah ngomong aja, tidak tepat memilih kata. Jadi tidak perlu diributkan, bisa kan??”

Italic tak berkomentar, dan terkadang diam berarti ‘Ya’.

“Kau tidak ingin tahu apa keinginan terdalam kita?”

“Aku hanya sedang berpikir. Itu saja.” Italic berdalih.

“Apa yang kau pikirkan? Tentang keinginan kita?”

“Tentu. Itu yang sedang kita diskusikan bukan?”

Bold diam. Sedikit bete.

“Aku pikir kita tidak bisa tahu dengan pasti apa keinginan terdalam kita.”

“Kau tahu kenapa?”

“Kenapa kau tak membantu aku berpikir?”

“Kenapa kau begitu sinis padaku?”

“Ayolah…. Jika kita bertengkar terus, kita hanya akan membuang waktu percuma tanpa ada hasil apapun yang kita dapat. Kau setuju kan?”

“Kau benar, maafkan aku.”

“Tidak, maafkan aku. Aku memang sinis.”

“Sudahlah. Kita sama-sama bersalah, sama-sama mengakui kesalahan. Dan saling memaafkan. Tak perlu berlarut-larut.”

“Oke. Kembali ke pertanyaan tadi. Sebenarnya apa keinginan terdalam kita?”

“Yang jelas bukan uang, kekayaan, atau materi lain yang sejenis.”

“Setuju. Itu hanyalah titipan Beliau pada kita.”

“Karena akan selalu ada keinginan berikutnya ketika hasrat sebelumnya terpenuhi.”

“Dan keinginan-keinginan terhadap benda tidak akan pernah habis, hilang, atau terpuaskan selamanya.”

“Dan kita tak perlu menjadi budak setan dengan menjadikan itu sebagai keinginan terdalam kita”

“Bagaimana dengan ‘kesuksesan’?

“Dalam hal apa? Pendidikan? Karir? Kehidupan?”

“Bagaimana kalau semuanya? Apakah itu tidak akan pernah mungkin?

“Hmmm… pertanyaan yang sulit. Bukankah seluruh hidup kita adalah proses pembelajaran tanpa henti?”

“Ya. Dan kita baru pensiun ketika kita mati.”

“Itu juga termasuk atribut keduniawian yang berbeda jenis.”

“Dengan demikian itupun tak bisa kita jadikan sebagai keinginan terdalam kita.”

“Lantas apa sebetulnya keinginan terbesar kita?”

“Cinta mungkin?”

“Cinta???”

“Ya, mencintai dan dicintai. Bukankah aneh jika seseorang tidak menginginkannya?”

“hmmm….”

“Tidakkah cinta penting bagimu, Italic.”

“Ya, tentu saja. Sangat penting bahkan. Bukankah kita sendiri adalah sebuah manifestasi dari cinta?”

“Lantas?”

“Entahlah Bold, aku hanya sedang berpikir bahwa cinta adalah sesuatu yang kita ‘perlu’kan, bukan yang kita ‘ingin’kan.”

“Hmm…”

Kali ini Bold yang termenung. Sependapat dengan Italic.

“So…?”

“So, I don’t know either, Bold.”

“Mungkin kita tidak perlu mencari tahu apa keinginan terdalam kita Italic.”

“Maksudmu kita menyerah saja?”

“Aku tidak suka istilah itu, tapi entah kata macam apa yang bisa mewakili…”

“Pemilihan kata tidak lah lebih penting daripada esensi yang kau maksudkan, Bold.”

“Maksudku, ketika kita berupaya sekeras mungkin demi sesuatu, mungkin -hanya mungkin lho ya- secara tidak langsung itulah keinginan terbesar kita. Bagaimana menurutmu?”

“Betul juga ya. Ingat tidak dulu saat kita masih jadi pengangguran? Bukankah pada saat itu semua upaya kita mengirimkan beribu surat lamaran, beratus interview dan sebagainya itu, demi keinginan terbesar kita untuk memiliki sebuah perkerjaan?”

“Exactly ! Dan karena itu adalah manusia yang memang diberi keistimewaan untuk tidak pernah puas, maka  keinginan terbesar kita tidak akan pernah selesai.”

“Ya, dan memang akan selalu ada keinginan berikutnya setelah keinginan sebelumnya telah mampu kita capai. Begitu seterusnya…”

“Karena manusia tidak akan pernah puas.”

“Yang penting selalu bersyukur.”

“Dan kesyukuran selalu membuat kita bahagia.”

“Exactly!”

“So, apa keinginan terdalammu Italic?”

“Semua hal sekaligus tak menginginkan apapun. Mungkinkah ?”

“Mungkin memang tidak perlu dipertanyakan..”

“Hahaha… Tapi, terkadang tak semua pertanyaan harus memiliki jawab.”

“Yang penting kita bahagia karena penuh syukur.”

“Dan bersyukur telah diberi kebahagian”

Bold setuju, Italic sepakat. Pertengkaran mereka hari itu selesai dengan damai.

*Photo note :

Yeah, another narsis pic he he

Berlokasi di Kawah putih, Bandung. Setelah malam sebelumnya nekat menginap beralasakan tikar dan tanpa selimut 😀



Episode Hari Ulang Tahun

“Selamat ulang tahun, Sayang.”

“Happy birthday for you too, Dear”

Bold dan Italic saling menatap, dan detik berikutnya terpingkal-pingkal hingga perut mereka sakit.

“Kenapa tadi kita tertawa ya?”

“Entahlah…aku pun sama tidak mengertinya denganmu ”

“Apakah hanya karena kita mengucapkan selamat ulang tahun pada diri kita sendiri?

“Atau moment hari ulang tahun seperti ini memang lucu dan layak untuk ditertawakan?”

“Bukankah semua orang yang terlahir ke dunia pasti memiliki hari lahir?”

“Ya, dan tak salah jika mereka merayakannya, atau sekedar mengingatnya mungkin?”

“Italic, apakah kita yang terlalu aneh?”

Italic terdiam, entah tidak setuju, entah tak mengerti.

“Anyway Bold, hari ini adalah hari lahir kita, mungkin itu yang terpenting.”

Bold ingin marah, kenapa Italic jadi mengalihkan pembicaraan seperti itu? Bukankah pertanyaannya belum terjawab? Tapi pernyataan Italic tadi memang menarik.

“Kenapa itu jadi penting untukmu Italic?”

“Karena itu tidak terjadi setiap hari Bold ! Itulah yang menjadikan setiap hari ulang tahun adalah istimewa.”

“Ah…setiap hari adalah istimewa Sayang, tak pernah ada hari yang terulang kembali. Iya kan?”

Italic terdiam, kali ini setuju. Pernyataan Bold benar adanya tanpa bisa dibantah sedikit pun.

“Lantas, menurutmu apa yang menjadikan hari ini tidak seperti biasanya wahai Bold?”

Bold terdiam, berpikir. Jawabannya haruslah pintar, sesuatu yang tidak mungkin terpikirkan oleh Italic.

“Hellooooo…anybody home? Kau perlu bantuan Sayang?”

“Kenapa sih tidak sabar? I am here!!”

“Ya…ya… aku memang harus bisa menunggumu, seperti biasanya, selamanya…”

“Kan tidak perlu sesinis itu Italic !”

“Sudahlah Bold, bilang saja kalau kau tidak sanggup menjawabnya.”

Italic kesal. Bold merah padam.

“Karena bertahun lalu, pada tanggal inilah kita terlahir di dunia.”

“Hhh….sangat klise Bold. Aku sungguh berharap jawabanmu bisa lebih baik daripada ini.”

Bold semakin geram, tapi dia pun tak punya amunisi lain untuk ‘melawan’ Italic.

“Italic, bisakah kita tidak bertengkar? Rasanya kita sudah terlalu dewasa untuk selalu berbantah seperti ini saat tak sependapat.”

Italic tertunduk, malu.

“Kau benar Bold, maafkan aku.” “

Kau tak sepenuhnya salah Italic, maafkan aku juga.”

Mereka tersenyum, dan bersiap untuk berdiskusi dengan damai.

“Well,so? Apa yang perlu kita maknai kali ini Bold?”

“Hari ini kita tepat berusia 28 tahun Italic! Itu yang harus kita coba temukan maknanya.”

“Selain fakta bahwa kita bertambah tua?”

“Ya. Selain fakta bahwa ‘jatah’ hidup kita disini semakin berkurang.”

“Kenapa hal itu jadi menakutkanku Bold?”

“Apa yang kau takutkan? Kematian?”

“Ya. Aku tahu kita akan mengalaminya. Tapi siapkah kita?”

“Aku tak bisa menjawabnya Italic. Dan aku pikir kita tidak perlu mencari jawabnya. BELIAU sudah menetapkannya bahkan sebelum kita terlahir.”

“Kau betul Bold, siap ataupun tidak, jika tiba saatnya, tak ada yang mampu menghalangi.”

Mereka kembali terdiam, terpekur atas tema yang tak sengaja mencuat. Kematian !!

“Mungkin itulah salah satu maknanya Italic, agar kita tak terlena atas hidup yang hanya sekejap.”

“Dan segera menyiapkan diri menyambut kematian –menuju kehidupan abadi sesungguhnya-, karena waktu sedang berdetak mundur, tanpa kita berwenang tahu, kapan detik itu terhenti.”

“Sekarang aku yang merasa takut. Apa yang sudah kita siapkan??”

“Entahlah Bold, rasanya tak akan pernah cukup.”

Kembali, mereka terdiam.

“Tapi, banyak yang mendoakan kita di hari ulang tahun kita ini Italic.”

“Tentu saja, tak hanya keluarga dan sahabat dekat, teman yang hanya sepintas kenal pun telah berdoa untuk kita Bold.”

“Itu artinya kita sedang menjalani hidup yang baik !!”

Tepat sekali, kita menyayangi sesama, sehingga mereka pun menyayangi kita !!”

“Wow…Subhanallah…”

Bold dan Italic memekik bersama dalam bahagia. Gembira… damai… bersyukur…

“Tapi Italic, seandainya hari ini adalah tanggal 12 Oktober terakhir yang bisa kita lalui, apa yang harus kita lakukan?”

“Bold, kenapa harus berandai-andai seperti itu?”

“Kenapa tidak?”

“Bukankah kita telah sepakat bahwa kita tak bisa tahu kapan kita akan kembali?”

“Aku tidak sedang membahas kematian kok.”

“Lantas?”

“Aku sedang berpikir bahwa detik ini tak akan pernah kembali pada kita. 12 Oktober 2009 tinggal beberapa menit lagi Italic !”

“Dan besok akan membuat hari ini masa lalu bagi kita.”

“Itulah… Harus ada sesuatu untuk mengenangnya.”

“Kita hanya bisa menulis Bold…”

“Ya sudah, kita menulis saja yuks..”

“Apakah itu cukup??”

“Lebih dari cukup daripada tak ada yang kita lakukan.”

“Baiklah. Tapi Bold, kita tak boleh melupakan sesuatu.”

“Sebelum menulis maksudmu?”

“Ya, sebelum menulis.”

“Apa itu?”

“Berdoa Bold !! Berdoa pada Beliau Sang Maha Segala.”

“Ah, tentu saja. Bersyukur atas semua nikmat.”

“Bertaubat untuk semua khilaf”

“Memohon kekuatan hati untuk selalu memperbaiki diri.”

“Meminta ketetapan iman agar selalu berani.”

“Dan apakah kita bisa sesuci jiwa yang pernah Beliau tiupkan ke dalam raga ini dulu saat kembali nanti?”

“Semoga… Tak ada yang tidak BELIAU berikan jika kita meminta, bukan?”

“Kita saling menguatkan ya Italic?”

“Ya Bold,kita juga harus selalu mengingatkan.”

“Semoga kita dianugerahi umur yang berkah ya.”

“Amin ya robbal’alamin. Semoga kita selalu disayangi oleh BELIAU Yang Maha Menyayangi ya.”

“Amin Allohumma Amin.”

“Happy birthday Bold. Be happy yaa..”

“Happy birthday juga Italic. Let’s be happy.”

Bold dan Italic tersenyum, bahagia. Mereka telah memutuskan, mulai hari ini dan selanjutnya, mereka ingin hidup bahagia. Selalu bergembira dengan rasa damai dalam penuh kesyukuran. Detik berdetak mundur, waktu bergulir pelan tetapi pasti. Ya Robb, bimbing, lindungi, dan sayangi mereka…

 

Rawamangun, 12 Oktober 2009

Episode Pencarian Jati Diri

“Apa yang kau tahu tentang dirimu?”

“Aku?”

“Iyaaa… ga usah banyak gaya deh. Ayo cepat jawab !”

“Hmmm… Aku pikir aku cukup cantik.”

“Hahahaha….”

Bold terpingkal terbahak.

“Apa? Kau bilang kau cukup cantik? Apa yang membuat kau bisa berfikir kau orang yang cukup cantik, ha?”

Italic terdiam, sedikit tersinggung karena Bold sudah menertawakannya.

“Apa maksudmu? Tentu saja aku cantik, banyak yang bilang kalau aku memang cantik.”

“Hhh…, rupanya kau sudah gila!”

“Gila? Jelaskan kenapa ‘aku sudah gila’!”

“Begini, hanya karena kau seorang wanita, jangan menganggap kalau kau sudah pasti cantik.

Italic hanya terdiam menunggu Bold meneruskan ocehannya.

“Tidakkah kau bercermin? Wajahmu penuh dengan jerawat-jerawat yang bisa membuat orang-orang enggan bertatapan denganmu lama-lama. Lantas, lihat tubuhmu!! Jangan berpikir cantik jika kau memiliki tubuh yang gendut dan sama sekali tidak tinggi itu.”

“Wah… ternyata pikiranmu terlalu sempit.”

Kini giliran Bold yang terdiam, merasa tersinggung.

“Kau sangat Phisick Oriented. Kau pikir kecantikan hanyalah wajah yang cantik dan tubuh yang indah? Aku ragu kau pernah mendengar tentang Inner Beauty.”

“Kalau kau merasa lebih tahu, jangan banyak cincong, jelaskan saja padaku!”

“Secara pisik mungkin aku jauh dari sempurna, tapi aku rasa, aku memiliki kecantikan hati yang mungkin tak bisa kau lihat dari luar.”

“Apa itu?”

“Aku bukan orang yang sombong.”

“Dengan berkata seperti itu pun kau sudah menjadi orang yang sombong!”

“Aku suka menolong orang lain yang memerlukan bantuan.

“Aku sangsi kau tidak menginginkan balasan dari setiap tindakanmu itu.”

“Aku cukup ramah, selalu tersenyum pada semua orang”

“Ahh..Hanya untuk mengharapkan pujian saja.”

“Aku selalu berkata jujur.”

“Karena kau tidak ingin orang lain membohongimu.”

Apa maksudmu Bold? Kenapa kau selalu membantah apa yg aku katakan?”

“Apa maksudmu? Hh, tak adakah kalimat tanya yang lain? Sudah dua kali kau mengucapkannya.”

Italic hanya diam, merasa sangat marah sehingga tak dapat berkata-kata.

“Kau sama sekali tidak cantik, sayang. Secara lahir maupun batin. Pikirkanlah kata yang lain.”

“Baiklah, aku mungkin belum bisa menjadi cantik seutuhnya, tapi setidaknya aku sudah mencoba untuk menjadi seperti itu. Dan kau salah sama sekali tentang ketidaktulusan itu sayang!”

“Benarkah?”

“Ya…maksudku, mungkin benar ada sebagian kecil dari tindakanku menginginkan balasan, tapi 99% yang aku lakukan adalah tindakan yang tulus, ikhlas, dan kau harus tahu itu.”

“Baiklah, aku pikir juga kau tidak salah, aku yakin semua yang terlahir ke dunia pada awalnya adalah baik, tidak terkecuali dirimu. Lantas apa kata lain yang bisa menggambarkan tentang dirimu? Sudahkah kau pikirkan?”

“Entahlah…, aku ragu.”

“Katakan saja!”

“Mmm… Aku rasa aku pintar?”

“Oh…please… jangan hanya karena IP-mu selalu diatas rata-rata lantas kau begitu saja dengan PDnya mengklaim bahwa kau pintar.”

Lagi, Bold menyatakan ketidaksetujuan.

“Itulah kenapa aku merasa ragu. Aku tahu kepintaran tidak bisa diukur dari nilai akademik semata. “

“Hmm…”

“Tapi aku merasa aku bisa dengan segera mengatasi keadaan, bukankah dengan begitu aku pintar beradaptasi?”

Bold hanya terdiam seolah acuh tak acuh.

“Aku juga bisa memahami dan menjaga perasaan orang lain. Sehingga tidak seenaknya bicara atau bertindak. Tidakkah aku pintar?”

“Ya, kau pun pintar berbohong, menipu dengan mulut manismu hanya demi kepentinganmu sendiri. Kau gunakan kepintaranmu hanya untuk membodohi orang lain.”

“Cukup!!! Kau sama sekali tidak berhak mengatakan itu padaku, lupakah kau kalau aku adalah kau sendiri? Lantas apa yang kau pikirkan –dengan otak jeniusmu itu- tentang kau sendiri, ha?”

“Kau jangan berpikir untuk mencoba melawanku, Sayang.”

“Ha, rupanya kau pengecut yang tidak punya nyali. Yang hanya banyak bicara tanpa ada bukti yang jelas, ternyata kau sudah terkontaminasi para pemimpin di negeri amburadul ini.”

“Aha… aku tahu, aku tahu bagaimana diriku.”

“Oh ya?? Terangkan padaku!”

“Aku memiliki jiwa kepemimpinan yang besar.”

“Bullshit!”

“Tentu saja, aku bisa memimpin dengan baik, kenapa kau tidak percaya, aku bisa menjadi pemimpin yang hebat.”

“Really?? Dan kau tahu akibat ‘sindrom kepemimpinan’ yang menjadikanmu besar kepala itu? “

“Apa?”

“Kau menjadi seorang diktator yang sangat otoriter. Kau menjadi pribadi egois, selalu merasa dirimu-lah yang paling benar, semua keinginanmu harus selalu terpenuhi. Bahkan kau seperti raja lalim yang menyuruh-nyuruh seenak perut orang-orang disekelilingmu. Kau menjadi orang yang sangat tidak penyabar. Kau perfeksionis yang gila, yang tidak menginginkan adanya setitik noda, walau kau sudah tahu persis kalau kita sendiri terlahir karena sebuah dosa, dan pasti akan mati dengan berjuta bahkan bertrilyun dosa. Mungkin kau seorang pemimpin, tapi pemimpin yang tirani.”

“Aku tidak merasa seperti itu. Dimana letak kediktatoranku itu? Kapan keegoisanku itu muncul, ha?”

“Tentu saja kau tidak merasa begitu, bodoh. Apa kau pernah melihat seorang koruptor menunjukkan berkarung-karung uangnya disimpan? Atau seorang pembunuh yang mengaku kapan dia menghabisi korbannya?”

Bold hanya terdiam.

“Dan satu lagi, apakah kau pernah berpikir, sedikit saja, sudahkah kau menjadi pemimpin yang baik bagi dirimu sendiri?“

“Tapi kau sama sekali tidak berhak menghakimi aku, bukankah aku adalah kau, dan kau adalah aku?”

“Ya, memang, kau benar. Maafkan aku kalau begitu. Tapi kaulah yang memulai pertengkaran konyol ini.”

“Konyol katamu? Tidakkah kau ingin mengetahui siapa diri kita sebenarnya? Seperti apa dan bagaimana aku dan kau sesungguhnya, ha?”

“Lantas apakah kita sudah menemukan jawabannya?”

Bold terdiam, Italic pun terdiam kemudian. Marah, lelah, dan bingung. Mereka tak ingin ada pertengkaran lagi.

“Kau tahu, kau tidak berhak menghakimi aku, begitupun aku tidak bisa menilai dirimu.”

“Ya, karena terdakwa dan hakim harus selalu duduk di dua kursi yang berbeda.”

“Benar. Lantas siapakah yang berhak mengadili kita?”

“Mereka.”

“Mereka? Mereka siapa?”

“Orang-orang disekeliling kita, orang-orang yang mengenal kita.”

“Maksudmu siapa? Orang tua? Saudara? Teman? Siapa?”

“Mereka semua, sahabat, kekasih, bahkan rival dan musuh kita.”

“Apa kau yakin mereka bisa menghakimi kita dengan adil?”

“Entahlah…”

“Bukankah seorang sahabat hanya akan menilai sisi positif dari diri kita?”

“Kau benar, dan seorang rival akan selalu mengingat kesalahan terkecil kita.”

“Mungkin jika mereka bisa jujur pada diri mereka sendiri. Tanpa ada doktrin apa pun, tanpa intervensi dari manapun.”

“Ya, hanya jika mereka jujur. Hanya jika mereka bisa melihat tidak hanya dengan mata tetapi dengan hati. Bisa menyibak baju yang menyelimuti, bisa menghancurkan topeng yang terpasang.”

“Bisakah kita berharap banyak dari mereka?”

“Aku harap begitu.”

“Tapi apakah mereka mengenal kita dengan cukup baik?”

“Mungkin ya, mungkin tidak. Kita berdua tidak akan tahu. Karena bahkan kita sendiri tidak mengenal diri kita sendiri.”

“Ya, hanya mereka sendiri yang tahu seberapa banyak mereka mengenal kita.”

“Kapan akan kita mulai?”

“Sekarang?”

“Ya, secepatnya.”

Mereka terdiam. Harapan membuncah. Akankah impian mereka terjawab?

Selesai.

Jatinangor, 12 Juli ‘03