Tentang Resensi Buku

Maafkan nih kalau pada bosan dengan cerita saya soal resensi/review buku hihihihi.

Saya ini memang tipenya suka penasaran, kalau belum berhasil terus weeeeeh dicobain meskipun babak belur dan super capek dan kesel sendiri. Salah satu contohnya mengirimkan cerpen ke media. Per hari ini, saya sudah (dan sedang) mengirimkan naskah sekitar 30-an cerpen saya sebanyak sekitar 60-an kali ke media-media cetak di Indonesia. Iya, saya membuat semacam tabel gitulah, yang merangkum data cerpen mana saya kirim ke siapa di tanggal berapa. Alhamdulillah, dari sekian banyak cerpen dan sekian banyak percobaan, belum ada yang berhasil satu pun *ups* hahahahaha.

Kapok? Nggak tuh, ya mungkin karena saya si tukang penasaran tadi itu ya 😛 Nah, kalau bosan sih kadang-kadang iya. Jadi kan biasanya saya tunggu selama 3 bulan ya si naskah yang saya kirimkan itu. Kalau tidak ada kabar berita ya sudahlah legowo saja berarti cerpen saya belum layak muat. Maka selain menulis cerpen baru, cerpen rijek tersebut saya revisi sana sini untuk nantinya saya kirimkan ke media lain. Saat bosan melanda, saya mencoba juga mengirimkan naskah resensi buku.

Beberapa kali saya mengirimkan resensi ke media lokal (sebutlah Koran Jakarta *halah* hahahaha), dimana redakturnya sempat menguji kesabaran saya beberapa kali dalam email-email yang mampu membuat kerutan di kening saya bertambah banyak. Intinya sih, 7 kali saya mengirimkan 7 resensi buku yang berbeda, rupanya belum ada satu resensi pun yang masuk kualifikasi mereka.

Niat awal saya mungkin yang harus diperbaharui ya, karena saya mengharapkan komisi-fee-kompensasi-honor dan sejenisnya dari penulisan resensi ini, berbeda dengan menulis cerpen yang memang saya lakukan hanya karena saya ingin melakukannya. Meskipun tentu saja akan menyenangkan jika cerpen saya dimuat dan kemudian saya dibayar ya hahahaha, tapi mengertilah kan maksud saya? Karena saya sukkka menulis fiksi, enjoy melakukannya, bahkan bahagia saat berhasil menyelesaikan sebuah cerita, maka uang dari kegiatan itu menjadi bonus belaka bagi saya. Sementara menulis resensi sangat berat bagi saya, dan saya berharap saya bisa menerima ‘sesuatu’ dari kegiatan yang tidak terlalu saya sukai itu.

Terlepas dari persoalan di atas, saya percaya, resensi buku yang saya tulis cukup bagus, yah setidaknya sejajar lah dengan resensi-resensi yang selama ini saya baca di media. Jadi saya pun mengirimkan resensi-resensi -yang dirijek KorJak itu- ke media lain, yang saya tahu mereka tidak memberikan honor apapun untuk resensi yang dimuat. Demi membuktikan (pada diri saya sendiri sebetulnya), bahwa resensi yang saya tulis itu cukup layak kok untuk dikonsumsi.

Mungkin Tuhan kasihan sama saya ya, karena resensi yang saya kirimkan ke Tribun KalTim (coba….jauh aja itu resensi terbang dari Bekasi ke KalTim! ha ha) langsung diterima dalam percobaan pertama hihihihi. Tulisan saya tidak banyak diedit (malah sepintas saya rasa ngga diedit sama sekali deh, susah cari perbedaannya dengan tulisan asli saya hehe), kecuali untuk judulnya, dimana saya pasrah sajalah ya, wong saya memang tidak pintar membuat judul kok :P. Dan ya, tidak ada honor jika temans mengirimkan resensi ke sana hehehe.

Resensi Interlude

Tapi Alhamdulillah, rasa penasaran saya terobati sudah dengan resensi Interlude di atas, setidaknya tulisan saya nggak jelek-jelek amat kan ya menurut redaksi Tribun KalTim? :D. Semoga saja nanti ada cerpen saya juga yang layak muat di media ya, Aamiin 🙂

PS : Terima kasih untuk mbak Hairi Yanti yang sudah memotretkan sang koran dan mencolek saya di facebook *ketjup*