2 tahun memang cukup lama. Aku harus melewati 24 bulan, 96 minggu, 730 hari, 17.520 jam, 1.051.200 menit dan 63.072.000 detik. Tidak perlu repot-repot mengambil kalkulator untuk menghitung kebenaran angka-angka itu. Karena bagiku, deretan angka itu bermakna sama. Terangkum manis dalam satu kata bernama rindu, yang entah untuk alasan apa atau kenapa.
“Hi mister, do you wanna take a picture?” Seorang lelaki dengan kamera polaroid tergantung di dadanya menyentuh bahuku pelan. Aku membawa kamera -yang jauh lebih canggih tentu saja- tersimpan aman di hotelku. Kamera yang telah merekam begitu banyak lukisan indah dari ke-7 stage Tour De Singkarak 2012 yang aku baru saja aku lalui. Tapi melihat lelaki kurus yang penuh harap di depanku itu, entah kenapa aku mengangguk.
Lelaki itu sumringah, bibirnya yang merekah menyilaukan hatiku yang telah lama gulita. Mungkin aku sudah gila karena merasa jatuh cinta pada si lelaki kurus yang begitu ‘hidup’. Tapi rasanya kegilaanku diresmikan saat aku menemukan potret wanita ini. Seorang wanita sederhana yang tak sengaja terekam kameraku, sepertinya saat itu aku mengambilnya karena bosan menunggu lampu lalu lintas di seberang sana berubah menjadi hijau.
Potret itu hampir terlupakan kalau saja aku tidak mencari-cari foto “Jam Gadang” akhir Mei lalu. Wanita itu tepat di tengah-tengah zebra cross saat aku iseng membidiknya dari dalam mobil. Potret berlatar jam gadang dan lalu lintas yang blur itu tidak terlalu istimewa buatku. Tapi kemudian wanita dalam potret itu menemuiku dalam mimpi, hanya tersenyum padaku dan kemudian menghilang, begitu terus dan terus dan terus. Hingga di suatu pagi kotak surel dari bosku berisi assignment untuk meliput TDS 2012. Seolah wanita itu meminta alam untuk mendesakku kembali ke sini.
Tidak aku sadari sang fotografer siap membidikku, dia hampir berbaring beberapa langkah di depanku demi bisa memotret puncak jam gadang di belakangku. Aku mencoba tersenyum seraya membenamkan topiku lebih dalam. “Smile, mister. Smile.” seru lelaki kurus itu. Membuatku berusaha lebih keras menarik otot-otot mulutku sedikit terangkat membentuk sebuah senyuman. Sudah sebegitu lama kah aku tidak tersenyum?
“Berapa?” tanyaku. Si lelaki masih mengibas-ngibaskan foto dengan hati-hati. Sekilas aku tatap foto itu, cukup bagus, kecuali sesosok bule yang tersenyum aneh di dalamnya.
“Lima puluh ribu.” Jawabnya tersenyum, menyerahkan foto itu ke padaku. “Mister harus lebih sering tersenyum, biar tambah tampan.” katanya lagi, dengan logat khas merdu seperti alunan saluang yang mendayu. Tidak bisa tidak, aku tertawa kali ini. Tampan katanya? Lelaki kurus ini sepertinya perlu kacamata. Tapi ini kesempatan bagiku untuk bertanya padanya.
“Sudah lama di sini Da?”
“Sejak ambo lulus sekolah, 5 tahun lalu.” Aha, semoga saja lelaki kurus ini mengenalnya. Setelah menolak uang kembalian darinya aku merogoh tas kecilku untuk mengambil potret. “Mister bisa baso Minang, tidak?” Tanyanya basa basi. Mungkin uang itu adalah lembar pertamanya hari ini.
“Indak, sedikit saja. Diajari guide selama mengikuti Tour.” Si lelaki kurus tampaknya cukup puas. “Uda kenal wanita ini?” Tanyaku penuh harap.
“Itu Bundo Rahmi.” Jawabnya tanpa berpikir sesaat setelah melihat potret yang kusodorkan padanya. Membuatku tersentak tak siap, pencarianku ternyata cukup mudah. “Dia hilang mister.”
“Hilang? Diculik?” Fakta berikutnya membuatku hampir tersedak.
“Rasanya tak ada penculikan semacam itu di Bukittinggi, Mister.”
“Lantas?”
“Ambo tidak tahu, Mister.” ucapnya parau. “Suatu hari Bundo tidak datang di klinik tempatnya buka praktek. Dan sejak itu tak seorang pun pernah melihatnya lagi.” lelaki itu seolah bicara pada dirinya sendiri, lebur ke dalam kenangan. “Padahal Bundo orang yang baik, ambo pernah cabut gigi gratis sama dia.” lelaki itu tertawa sekaligus menangis. “Polisi tidak bisa menemukannya dimana pun. Bundo seperti lenyap ditelan bumi, Mister.”
Aku mendengarkannya dalam diam, dan tetap tidak mengerti. Kenapa wanita ini tiba-tiba saja muncul? Lantas mendatangiku dalam mimpi, membuatku terbang dari Frankurt ke negeri tropis ini, hanya untuk tahu kalau dia telah hilang?
Entah sejak kapan si lelaki kurus menemaniku duduk. Kursi taman ini tepat mengarah ke sana, ke scene tempat wanita -yang kini hilang- dulu sering menyeberang. Jam gadang berdentang 4 kali. Kami tetap berdialog dalam sunyi. Menatap lampu lalu lintas itu berkedip merah, untuk sesaat menguning, dan kemudian berubah hijau. Begitu berulang konstan tanpa bosan.
Lantas disanalah kami melihat Bundo Rahmi, melintasi zebra cross dengan anggun, berhenti sekian detik menoleh ke arah kami, tersenyum sesaat, untuk kemudian menghilang kala lampu hijau menyala.
Aku dan si lelaki kurus saling pandang, aku tahu dia melihat yang aku lihat, dan jam gadang kembali berdentang.
Note : 700 kata, bersambung ke day#2
***
Hedeeeeh, baru hari pertama udah geje begini hihihihi. Terima kasih untuk eMak, atas postingan TDS dan ‘diri’nya yang aku curi *ups* 😀