
Deg. Cewek itu duduk di sana, di bangku yang sama tempat gua dan Alice sering duduk dulu, saat kita masih TK. Perlahan gua dekati, aroma shampo yang sama menguar di udara hingga hidung gua pun tidak bisa tidak bernostalgia ke masa lalu. Alice kah dia?
“Sorry… gua Keven. Lo kan yang tadi ngabarin gua Cia ga bisa dateng?” Ya, gua ke situ karena cewek itu -yang gua belum tau siapa- kirim sms ke gua, bilang kalau Cia tidak bisa datang, dan dia yang akan mewakili Cia untuk bertemu gua. Satu-satunya identitas si pengirim sms adalah inisial huruf “AW”. Well, aneh memang, karena AW adalah inisial Cia, namanya kan Alicia Wijaya. Tapi ya entah kenapa juga gua malah meng-iya-kan. Lagipula gua pikir, darimana dia tau nomor hape gua kalau bukan dari Cia, iya kan? Mungkin cewek ini temennya Cia di Aussie sana.
Eniwey, gua sudah tidak sabar ingin tahu kenapa Cia tidak jadi datang. Padahal gua ingin secepatnya bilang kalau gua juga sayang sama dia, cinta sama dia, jawaban yang mungkin dia tunggu-tunggu. Memberanikan diri, gua duduk di samping si cewek.
“Hai Kev, namaku Allysa. Kamu bisa panggil aku Al.” Cewek itu menoleh sedikit.
“Oh… Hai Al. Errr… jadi…” Gua sungkan bertanya to the point mengenai Cia. Dan Al ini pun entah bagaimana mengingatkan gua pada Cia. Baiklah gua akui, gadis ini tidak hanya mengingatkan gua pada Cia, tapi juga Alice!
“Cia tidak bisa datang.” Ucapnya pelan. Sekali lagi angin berhembus perlahan, mengibarkan rambut panjang Al, yang menguarkan wangi shampo Alice.
“Kenapa?” Tanya gua singkat.
Dan jeda yang cukup lama. Al merubah posisi duduknya, menghembuskan nafas panjang. Gua terpaku terdiam menanti sesuatu yang entah apa.
“Apakah kamu mencintai Cia, Kev?” Pertanyaan yang tidak gua duga.
“Emangnya kenapa Al?”
“Atau kamu masih mencintai Alice si cinta pertama kamu itu?” Tanya Al lagi sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan gua sebelumnya. Kalau Allysa ini temannya Cia, kenapa dia bisa tahu soal Alice segala? Sebegitu dekatkah persahabatan Cia dan Al sehingga cerita soal Alice ini pun diketahuinya?
“Alice dan Cia sama-sama menderita karenamu Al.”
“Hah? Maksud lo, Al?”
“Aku yang menyuruh Alice untuk ikut orang tuanya ke Aussie agar dia bisa jauh dari kamu. Setelah beberapa lama, akhirnya bisa juga dia melupakanmu. Aku sungguh bergembira. Tapi kemudian justru Cia membiarkan dirinya ditemukan olehmu. Mengulangi kesalahan yang sama, mencintai seorang Keven. Perjuanganku menjadi sia-sia belaka.” Kata-kata itu mengalir cepat dan penuh emosi. Al seperti bicara pada dirinya sendiri. Tapi gua bisa melihat dengan amat sangat jelas, Al marah. Dan gua-lah sumber kemarahan dia.
“Sorry Al, gua ga ngerti. Lo kenal juga sama Alice? Gua bingung, bagaimana bisa lo kenal mereka berdua?”
“Karena aku, Alice, dan Cia adalah satu orang yang sama Kev!” Jawabnya cepat. Lantas berdiri untuk kemudian menatap gua dalam amarah dan kebencian.
Hah???? Hawa dingin Bandung di sore hari biasanya tidak pernah membuat gua menggigil seperti ini. Gua shock.
“Ma….maksud lo… lo… Alice… Cia…”
“Kamu pernah dengar Shirley Ardell Mason? Lebih dikenal dengan nama Sybil, seorang wanita dengan 16 kepribadian.” Gua yakin saat ini muka gua sudah sepucat mayat. Ini bukan cerita novel kan? Ini hidup gua kan? Alice Wijaya. Alicia Wijaya, dan gua yakin betul inisial AW yang Al tulis di sms tadi pagi itu merupakan singkatan Allysa Wijaya. Oh crap.
“Atau kamu lebih mengenal si Billy alias William Stanley Milligan, Kev? Yeah…dia memang lebih hebat. Lelaki itu memiliki 24 kepribadian dalam dirinya.” Ya Tuhaaan…apa yang sebetulnya sedang terjadi? Gua ga percaya ini. Gua berharap gua cuma sedang bermimpi buruk dan akan segera terbangun.

Gua akui, duduk diam di hadapan seorang wanita yang dipenuhi amarah sangatlah menakutkan. Tapi fakta yang sedang dijelaskan Al ke gua sekarang ini jauh lebih menyeramkan. Gua akhirnya bisa mengingat dengan jelas foto yang Cia kirimkan ke gua dulu, dia mirip Alice, entah apanya. Walaupun saat itu gua yakin mereka berdua adalah dua manusia yang berbeda satu sama lain. Dan sekarang, saat gua seolah terhipnotis di depan Allysa, melihat mukanya yang sedang murka gua juga merasa dia mirip dengan Alice, dan Cia sekaligus.
Tapi, gua menyadari satu hal, bahwa Alice, Cia, dan Al memang berbeda. Alica dan Cia memanggil gua dengan sebutan ‘Ven’, bukan ‘Kev’ seperti Al. Alice dan Cia juga selalu ber gua-elo saat kami berkomunikasi, tapi Al ber-aku kamu, sangat formal. Alice dan Cia cantik feminin, sepertinya Al cenderung maskulin. Alice selalu ceria, Cia sangat manis, sementara Al…
“Kev, dengarkan aku. Kamu tidak perlu membanding-bandingkan aku dengan Alice ataupun Cia!!!” Hah? Gua seperti maling jemuran yang kepergok si tuan rumah. Al berbisik, tapi suara pelan penuh tekanan itu justru membuat jantung gua berdenyut lebih cepat.
“Al…” Gua ingin berdiri menyamakan posisi dengan Al yang dengan gagahnya menjulang di depan gua. Tapi kaki gua seolah tertanam ke tanah, tenaga gua lenyap mengasap, bahkan lidah dan mulut gua enggan bersuara. Bagaimana caranya gua mengkonfirmasi asumsi gua tentang Alice-Cia-Al?
“Iya, dugaan kamu benar Kev.” Duh, apakah Al memang bisa membaca pikiran gua?
“Jadi elo…”
“Ya. Alter ego, the other I, kepribadian ganda, multiple personality disorder, apalah…terserah kamu menyebutnya apa Kev.”
“Kenapa?” Karena setahu gua Sybil begitu akibat penganiayaan ibunya sejak kecil, begitu juga Billy yang selalu disiksa ayah tirinya. Tapi kenapa Alice-Cia-Al begitu? Apa pemicunya??
“Kamu tidak pernah betul-betul memahami kami Kev…” suara Al melunak, “Tapi aku tidak perlu menjelaskannya padamu.”kini suara itu kembali dipenuhi amarah, “Aku tidak ingin jatuh cinta, pada siapa pun. Aku tidak akan membiarkan Alice atau Cia untuk jatuh cinta. Aku tidak ingin kecewa, sakit hati, atau berduka karena mencintai. Aku benci kamu Kev!”
“Tapi Al…” gua menelan ludah dengan susah payah. Al mulai menangis. Bukan…bukan menangis, gua hanya melihat ada air mata di pipinya, dia tidak sedang menangis, hanya meneteskan air mata. Apa yang harus gua katakan padanya? Gua dulu pernah mencintai Alice dengan sepenuh hati. Dan sebelum kesini gua akui gua telah jatuh cinta pada Cia. Tapi mungkinkah gua bisa mencintai mereka berdua? Ralat, mereka bertiga sekaligus??
“Aku tidak ingin melakukan ini Kev, tapi aku harus. Demi Alice. Demi Cia. Demi diriku sendiri. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Semoga kamu berbahagia Kev.” Entah kapan pistol itu ada di tangan Allysa. Gua hanya merasakan moncongnya menempel keras di kening gua beberapa saat.
Dan kemudian panas menghampiri.
Lantas gelap.
Lalu dingin.
Dan hening.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba “First Love ~ Create Your Own Ending” yg diadakan oleh Emotional Flutter dan Sequin Sakura