[Berani Cerita #07] Si Pendiam yang Aneh

“Selamat pagi, Ben.” Sapaku ceria. Ben hanya menunduk menatap lantai, membuatku harus berjongkok untuk kembali bicara padanya.

“Ayo, simpan tasmu.” Tanpa suara Ben menuruti perintahku. Menyimpan ranselnya di loker di dekat jendela, dan kemudian tetap berdiri di sana seperti memandang jalanan sibuk di bawah.

“Ben, duduk di sini yuk.” Aku sudah duduk di kursi kecil tempat kami berlatih setiap harinya. Sesi bersama Ben hanya satu jam, tapi dengan monolog seperti ini, satu jam akan lebih dari cukup untuk membuatku lelah. Walaupun sudah terbiasa, bagiku kebersamaan kami tetap luar biasa.

Ben akhirnya duduk di depanku, terpisahkan meja kecil dengan berlembar-lembar kertas HVS putih dan sekotak crayon. “Kamu sudah sarapan, Ben?” Ben tetap sunyi, kini menunduk menatap kertas putih di depannya. “Mau susu coklat?” aku menyodorkan sekotak susu coklat ke arahnya. Ben menerimanya tanpa kata.

“Kamu suka susu coklat?” Kali ini Ben mengangguk. “Kenapa tidak diminum?” Lagi-lagi Ben membisu, hanya menatap si kotak susu di depannya.

Detik berikutnya aku harus menenangkan diriku sendiri. Menganalisa kenapa dia menolak untuk berbicara memang sebuah PR besar bagiku, tapi berharap mendengar sepatah kata yang terucap dari Ben rupanya sudah menjadi keajaiban. Kapan aku bisa mendengar mukjizat itu darinya? Sekali lagi aku menatap Ben yang sedang menatap susu kotak.   Seandainya aku bisa membaca apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

“Kamu mau menggambar?” Ben mengangguk cepat, dan tak perlu menunggu instruksi berikutnya, dia mulai menggambar.

Gambar pertama adalah sebuah bulatan berwarna merah yang mendominasi hampir seluruh kertas, Ben mengisi bagian kertas yang masih putih dengan warna biru langit. Aku berasumsi dia menggambar matahari.

“Matahari ya, Ben?” Dia hanya mengangguk, dan mulai menggambar di kertas berikutnya. Bocah berusia 7 tahun itu kini menggambar sebentuk mobil dengan banyak sekali roda, tapi tanpa satu pun jendela. Lantas sebuah kolam dari batu dengan bunga teratai berwarna ungu. Lalu semacam monster bertaring hijau dengan bulu-bulu berwarna oranye. Kemudian seekor penyu yang berjalan di atas rumput. Dan entah apa lagi. Di antara aktifitasnya menggambar, aku mencoba mengajaknya berbicara. Sebuah usaha sia-sia yang tak pernah menghasilkan apa-apa.

Tapi kemudian satu jam berlalu. Ben sudah dijemput sang ibu yang terlihat sangat tua melebihi usianya. Meninggalkanku sendiri dengan gambar-gambar Ben yang masih berserakan di atas meja kecil kami. Semoga besok aku lebih beruntung, doaku dalam hati.

Gambar terakhir yang rupanya belum aku lihat adalah gedung-gedung dengan lidah api merah menyala di salah satu ujungnya. Membuatku tertegun karena pemandangan yang sama sedang aku saksikan di luar jendela. Salah satu gedung di seberang sana sedang terbakar.

Note : 405 kata, yang mau ikutan, sila mampir ke sini yaa 😉

PS : Terinspirasi dari serial TV “Touch”

Advertisement

[Berani Cerita #06] Bebas

Seandainya saja bisa, Rino ingin terlahir dan menjadi seseorang yang bukan dirinya.

Tapi tentu saja, dia hanyalah manusia yang tidak berhak memilih kehidupan. Tidak, dia tidak pernah menyalahkan kakek -yang tak pernah ditemuinya- yang dulu dituduh menjadi pembelot hingga pemerintah menembak mati beliau dengan jasad yang entah terkubur di mana. Dia pun tak pernah menyesal saat terpaksa menyandang gelar “keturunan tapol” yang selalu membuatnya berbeda. Dia hanya tidak mengerti kenapa dia menerima hukuman atas sesuatu yang tidak pernah dilakukannya.

Kesal dengan pemikirannya sendiri, Rino menendang sebutir kerikil kuat-kuat. Sesaat si kerikil melambung untuk kemudian terjatuh beberapa meter di depannya, membuat Rino berpikir dirinya sekilas mirip dengan si kerikil, tak bisa memiliki keinginan sendiri, selalu terlempar kemana pun kehidupan menendangnya tanpa bisa melawan.

Lantas Rino kembali melangkah dengan hati yang lebih siap, apapun yang akan terjadi, terjadilah. Toh seperti juga kerikil tadi, yang tetap ada walaupun selalu terinjak, Rino menolak untuk menyerah begitu saja. Bukan pertama kalinya dia menerima ancaman, semoga saja setelah dari rumah yang akan dikunjunginya ini, nyawanya masih melekat bersamanya.

Tak perlu waktu lama, Rino akhirnya sampai di rumah bergaya Jawa kuno yang cukup besar. Halamannya luas dengan beberapa pohon beringin. Tampaknya rumah ini adalah rumah turun-temurun.

Tok, tok! Rino mengetuk pintu.

Tak lama pintu dibuka. Rino terkejut melihat sosok yang berada di hadapannya.

“Ibu…” Detik berikutnya Rino memeluk wanita kurus di depannya itu sepenuh jiwa. Seolah tak ada lagi waktu yang tersisa bagi mereka berdua, Rino enggan melepaskan pelukannya. Jika bukan terpaksa, dia tidak mungkin meninggalkan wanita ini sendiri, tapi kebersamaan mereka akan selalu mengundang kecurigaan yang tak beralasan dari para aparat yang terlanjur keparat. Rino hanya ingin ibu -dan dirinya- selamat. Itu saja.

“Iya…ibu juga kangen, Rino.” seolah bisa membaca perasaan Rino, wanita kurus itu berkata. “Kamu menghilang terlalu lama. Kita berdua tersiksa terlalu lama. Ibu sudah tidak sanggup lagi, nak. Ibu sudah tua. Ibu ingin bebas.”

“Apa maksud Ibu?” Rino melepaskan pelukannya dan menatap sang Ibu gundah. Banyak cara yang sudah mereka coba lakukan untuk terlepas jerat dari dosa masa lalu yang pernah dilakukan kakek. Teringat ancaman yang diterimanya melalui SMS untuk datang ke rumah ini, jantung Rino mulai berdegup kencang, matanya waspada memperhatikan setiap sudut rumah, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemari ibu.

“Tidak ada siapa-siapa di sini, nak.” Rino kembali menatap ibunya, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi di sini. “SMS itu Ibu sendiri yang kirimkan. Maafkan ibu, ibu hanya…” Rino menggelengkan kepalanya berkali-kali, masih tidak mengerti apa maksud ibunya. Lantas memapah ibunya menuju kursi rotan yang lapuk termakan usia. Saat itulah dia melihat sebuah tabung kecil berisi pil-pil putih yang tinggal separuh.

“Bu…”

“Dulu ibu tidak ada di samping ayahmu saat dia tidak ada, nak.”

“Bu…Ibuuu.” Rino mulai panik, tidak tahu apa yang harus dilakukan saat sang ibu di pelukannya semakin terkulai. Pil itu? Jadi maksud Ibu?

“Ibu ingin mati di pelukanmu, Rino….”

“Ibuuuuuu.”

Note : 472 kata

Temans yang ingin ikutan ber-FF ria, sila main ke sini yaa 😉

PromptChallenge Quiz : Rim

Setahun lalu. 

“Rim…”

“Hmm?”

“Aku ingin jadi orang kaya. Biar hidup kita ga susah terus kayak sekarang. Biar Mbah Mis ga usah jualan lagi. Biar…”

“Sudahlah Net…” Rim memotong khayalan Net cepat. Tentu saja dia memiliki impian yang sama, tapi terkadang harapan yang tak mungkin hanya menyisakan sakit hati. “Sana kamu sekolah.” ujar Rim lagi seraya menyiapkan sayuran rebus ke meja pajang. Warung gado-gado dan rujak Mbah Mis sudah harus siap sebelum dia bekerja menjadi buruh pabrik di kota tetangga.

“Kenapa Rim?” Mbah Mis muncul tepat setelah Net pergi. “Dia perlu uang untuk beli buku lagi?”

“Ngga kok Mbah, cuma ngobrol biasa aja.” Rim memilih berbohong, tak perlu memberi tambahan beban bagi nenek yang telah menjadi ibu dan ayah bagi Rim dan Net itu. “Mbah kapan mau berhenti jualan? Gaji Rim InsyaALLAH cukup Mbah…” Kembali, Rim membujuk Mbah Mis.

“Mbah masih kuat, Rim.” jawabnya seraya cekatan memotong bengkuang. “Lagipula Mbah kepengen liat si Net kuliah tahun depan, biar dia bisa kerja kantoran, ngga capek kayak kamu…”

Rim hanya mampu tertunduk mendengar jawaban Mbah Mis. Tapi hatinya berjanji, dia yang akan membiayai kuliah Net, dan Mbah Mis tak perlu lagi mencari uang di hari tuanya.

***

Hari ini, beberapa saat menjelang shubuh.

“Mbah… ” Net menelan ludah dengan susah payah, tapi tetap tak bisa meneruskan kalimat yang ingin diucapkannya, hanya mengguncang-guncang bahu Mbah Mis pelan.

“Ada apa Net? Kenapa? Itu apa?” Mbah Mis akhirnya terbangun, dan heran melihat sebuah buntalan kecil yang dipegang Net.

“Ini… ini mayat bayi Rim, mbah.”

“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya. Kini Mbah Mis telah sadar secara purna. Terduduk tegak kemudian mengambil buntalan -yang ternyata mayat bayi- dari tangan Net.

Bayi itu laki-laki, mungil sekali, hampir sebesar pepaya setengah matang yang sering Mbah Mis kupas untuk jualan. Wajar jika tadi dia  menyangka mayat bayi yang dibalut kain seadanya ini adalah sekedar buntalan yang entah isinya apa.

“Mana Rim??” suara Mbah Mis bergetar, Net tahu neneknya ini marah besar.

“Rim di kamar Mbah…” jelas Net takut-takut, “Tapi… tapi dia tidak salah…”

“Tidak salah bagaimana? Mana mungkin hamil kalau tidak berzinah?” Mbah Mis tak bisa menunda murkanya, “Kapan Mbah mengajarinya begitu? Apa yang harus Mbah katakan pada orang tua kalian? Rim sudah…” Mbah Mis tersedu, menemani Net yang telah sejak tadi terisak. “Kenapa Net? Kenapa Rim tidak jadi gadis yang baik?”

“Mbah salah paham… Rim ngga salah Mbah…” terbata-bata Net membela kakaknya. Tapi Mbah Mis sudah beranjak ke luar kamar, mengibaskan tangan Net yang memegang tangannya.

“Riiiim…” teriakan Mbah Mis menggema di rumah kecil itu. Dia merasa tertipu oleh Rim yang telah berhasil menyembunyikan kehamilannya, juga kecewa kenapa cucunya bisa demikian.

“Rim ga salah Mbah, dia cuma menjual rahimnya untuk biaya kuliahku, dia tidak berzinah Mbah. Itu bayi pesanan, harusnya Rim…” Penjelasan Net tak lagi bisa didengar Mbah Mis, dia terpaku melihat Rim yang tak lagi bernyawa terbaring di samping bergepok-gepok uang.

Sayup, adzan shubuh berkumandang khidmat.

***

Note : 497 kata

[BeraniCerita #2] Jalan Berkabut

Anisa

Suara klakson bertubi-tubi menghentikan lamunanku seketika. Halte itu kosong, hanya aku yang duduk di sana satu jam terakhir, mengabaikan kopaja-metromini-angkot-taksi yang berseliweran. Maka saat Juke putih itu mengklakson, aku tak menyangka ternyata dialamatkan untukku.

“Nis…” kaca jendela mobil terbuka sepenuhnya, ternyata Joshua.  “Cepeten naik.” Klakson-klakson lain mulai menyalak, aku tak punya pilihan lain.

“Ganti mobil lagi Jo?”

“He-eh.” Jawabnya pendek, khas seorang Joshua.

Jeda yang canggung. Bagi Jo, berganti mobil semudah berganti kaos kaki. Sementara aku? Seharusnya tadi aku tak perlu naik..

-o-

Joshua

“Lo kenapa?”

“Kenapa apanya Jo?”

“Lagi ada masalah?” 

“Gue seperti buku terbuka yang mudah dibaca buat lo ya?” Pertanyaan retorik yang tak perlu jawaban. Aku hanya  diam menunggu, menanti lampu merah berkedip hijau, menanti Anisa bercerita. “Gue dipecat Jo…”

Detik berikutnya Anisa terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, sekuat tenaga menahan diri hingga tubuhnya terguncang. Tak ada yang bisa aku lakukan, selain menyodorkan berlembar-lembar tissue ke arahnya.

-o-

Anisa

Entah kali ke berapa aku menangis seperti ini di depan Jo.

“Lo pasti bisa dapet kerjaan lain Nis.”

“Lo ngga kepengen tau kenapa gue dipecat Jo?”

“Gue yakin itu bukan salah lo.” Hanya Jo yang mempercayaiku seperti itu.

Kami berhenti di lampu merah ke sekian, Jo kini menatapku yang sedang memandangnya, “Lo harus yakin lo pasti bisa dapet kerja lagi, lo masih bisa ngirimin uang ke nyokap buat biaya sekolah adek-adek lo, lo masih bisa nabung buat nerusin kuliah kayak impian lo. Lo pasti bisa Nis!”

Aku tahu, mungkin itu nasehat klise, tapi Jo tulus, dia selalu ada saat aku membutuhkannya, dia seperti tiang tempatku bersandar, dia adalah bahu untuk aku tangisi. Seandainya saja dia…

-0-

Joshua

“Tengkyu Jo…” ucapnya setelah sekian detik berlalu dalam sunyi.

Aku tersenyum sekilas, lega rasanya bisa membuat gadis ini kembali sedikit ceria, seperti seharusnya. “Stel radio ya…” ucapnya riang, musik selalu membuatnya gembira. Aku hanya mengangguk. Aku akan mengizinkan dia melakukan apapun yang dia inginkan.

“Lo ga pulang ke Surabaya?” di antara suara Buble melagukan ‘Home’, dia bertanya.

“Ngapain?”

“Besok kan imlek..” Ah, pertanyaan retorik berikutnya. Maka aku hanya terdiam. Aku ingin pulang padamu Nis, rasanya ingin aku mengucap kalimat itu. Aku tahu dia pun merasakan hal yang sama denganku, aku yakin dia pun bersedia menjadi rumah bagiku, aku…

-o-

Anisa

“Males…” ucap Jo akhirnya. Seperti yang sudah kuduga.

“Sampai kapan lo begitu Jo?” Lelaki itu hanya mengedikkan bahu, tak peduli. “Seenggaknya lo masih punya ayah Jo…” ucapku hati-hati.

“Dia udah mati bagi gue, persis saat nyokap gue kehilangan nyawa karena perbuatannya Nis.” Jo mengulang cerita yang telah aku hafal, suaranya bergetar, tatapan matanya murka. Detik-detik seperti itu selalu membuatku ingin memeluknya, membelai rambutnya, menenangkan jiwanya, me…

“Udah maghrib Nis, kita berhenti di mesjid depan ya?” ucap Jo kembali, datar. Aku hanya bisa mengangguk, seraya mengenyahkan anganku tentang Jo.

Selanjutnya adalah hening yang janggal, sang waktu berlarian mencuri kata-kata. Jalan terlalu berkabut bagiku dan Jo. Mungkin kami tetap bisa bersisian, tapi tak bisa berada di satu jalan yang sama.

***

Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma.

Note : 485 kata

[BeraniCerita#1] Sekali Ini Saja

Hai, masih inget gue ‘kan? Gue Harris, selingkuhannya Tio dan kemudian nge-gebetin si El itu lho.

Kenapa gue masih saja menceritakan kehidupan pribadi gue di blog ini setelah kejutan yang mengejutkan itu. Karena setelah gue pikir-pikir, mungkin seharusnya gue berterima kasih sama si Orin karena telah berbaik hati menampung curhatan geje seorang gue yang notabene bukanlah siapa-siapa ini.

Malah, gue sempat mengajukan proposal sama dia (si Orin maksud gue), untuk membuat page khusus soal curhatan gue. Tapi yaa lo tahu sendiri lah, dia itu kadang seenak udelnya sendiri, tidak suka diatur-atur, jadi doain saja proposal gue disetujui. Errr… prolog  gue terlalu panjang ya, maafkan.

Tadinya gue ingin bercerita kenapa gue bisa ‘sakit’ seperti ini, tapi rasanya gue belum siap berbagi, jadi mari kita simpan cerita itu untuk kapan-kapan ya. Yang perlu lo tahu adalah, gue tahu betul kalau gue salah, gue tahu apa yang gue lakukan ini tidak dibenarkan oleh agama, oleh negara, oleh masyarakat, oleh hukum alam, oleh apapun.

Gue mengerti, saat Tuhan menciptakan siang dan malam, hitam dan putih, manis dan pahit, hidup dan mati, dan sebagainya dan seterusnya, maka gue juga akan mencintai seorang wanita, seperti seharusnya. Tapi…

“Hai Bro, lo jadi kencan sama si Ara?” Ish…si Ronald mengganggu kontemplasi gue. Tidak perlu lah gue ceritakan siapa si Ronald, dia hanya tokoh figuran tidak penting yang numpang sekelebat lewat di hidup gue.

“Iya… sono dah lo ga usah ganggu gue.” jawab gue asal, yang berhasil mengusir Ronal dalam definisi yang sebenarnya setelah dia tertawa. Oke, dia menertawakan gue tepatnya, lengkap dengan ciye-ciye yang sumpah tidak penting itu.

Ara? Kalau yang ini harus kudu wajib gue ceritain. For your information dia ini kaum hawa ya, dan sejauh ini, dia nih satu-satunya cewek yang gue suka. ‘Suka’ di sini artinya persis seperti yang lo kira, gue naksir sama dia! Entah koprol berapa kali gue saat menyadari hal itu, sekali ini saja, gue suka sama seseorang yang seharusnya. Wajar dong ya kalau gue hepi berat.

Lo tahu Titi Sjuman? Nah, buat gue, si Ara ini sebelas dua belas sama dia, minus keterampilan nge-drum tentunya ya. Fisiknya aseli mirip, jadi tidak perlu lah ya gue jelaskan lebih detil, walaupun menjadikan gue seperti Wong Aksan sama sekali bukanlah rencana gue. Dan kabarnya mereka akan bercerai kan ya? Titi Sjuman sama Wong Aksan itu maksud gue. Ah… abaikan. Yang penting, malam ini, gue akan nekat nembak si Ara buat jadi pacar gue. Setelah 2 kali nonton bareng dan 3 kali mau diajak dinner, gue pikir itu cukup sebagai proses pedekate.

“Hai Ris, udah lama?”

“Ngga apa-apa, Ra.” Yeah, gue memang suka ngga nyambung saking groginya kalau di depan Ara.

“Ada yang mau gue omongin nih Ris.”

“Oh? Kok sama sih? Gue juga.”

“Apa?”

“Lo dulu aja…”

“Oh gitu… Wiken besok lo ada acara ngga?” Eh? si Ara mau ngeduluin ngajak gue nge-date nih? Kalah jantan dong gue.

“Belom sih…”

“Anterin gue fitting baju ya, Ris. Bulan depan kan gue mau merit sama si Aryo..” Appaahh?

***

Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma.

Note : 492 kata

PS : Yang mau ikutan sila klik banner di sebelah kanan yaa

Cuti Sakit Hati

Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat ibu melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Senyumnya sehangat mentari seperti biasanya. Pulang padanya, bagiku memang seperti meminum vitamin penyegar jiwa. Cuti beberapa hari dan berlibur di rumah masa kecilku selalu bisa menjadi obat mujarab pengusir penat.

“Padahal tadi ada Bapak, sayang Bapak harus tahlilan di rumah Pak Arif, jadi tidak bisa menunggu kamu.” Oh? Jadi rupanya tadi Ibu berdiri di halaman untuk mengantar Bapak pergi? Bukan menungguku datang? Aku mendudukkan diriku di kursi dengan tangan terkepal.

“Bu…kenapa sih Ibu tidak cerai saja dengan Bapak?” Tanyaku spontan. Aku tidak membenci Bapak, tapi sikapnya yang-menurutku- menyakiti Ibu membuatku murka.

“Hush…ngomong apa kamu. Pamali ah cerai-cerai begitu.” Ibu ikut duduk di sampingku, tetap tersenyum walaupun sambil mencubit lenganku, seolah-olah aku masih anak kecil yang lupa cuci tangan sebelum makan.

“Ibu memangnya tidak sakit hati Bapak nikah lagi?” Ibu diam saja, melangkah meninggalkanku menuju dapur. Tentu saja aku merasa bersalah, dan sangat tahu kalau ibu marah. Tapi rasa penasaranku lebih besar, entah sudah berapa kali aku bertanya, dan selalu menerima diam yang sama. Aku bertekad kali ini ini Ibu akan bercerita.

“Bapak kan sangat tidak adil Bu. Istri mudanya dibuatkan rumah yang lebih besar. Rumah Ibu masih begini saja dari aku kecil. Bapak ke sini kalau lagi sakit, lagi susah, lagi perlu dihibur. Coba kalau lagi gembira, lagi dapet rezeki, pernah gitu inget sama ibu?” Tatapan ibu membuatku segera berhenti.

“Makanya, segera menikah. Udah hampir 30 kok masih lajang saja.” Kini aku yang diam. Seandainya menikah itu bisa sendirian, sudah sejak lama aku menjadi istri bagi diriku sendiri, ingin aku ucapkan itu pada Ibu.

“Bu… Maaf…” Lagi, aku menyerah. Aku mengusap-ucap punggung ibu pelan. Lantas memeluknya dari belakang. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar, mungkin menahan tangis.

“Namanya juga manusia, ya pastilah ibu juga sakit hati.” Aku memilih diam, menunggu Ibu bercerita. “Tapi kan bercerai itu sebaiknya dihindari, tidak disukai Tuhan. Ibu cuma ingin jadi hamba yang baik, apa itu salah?”

“Menurutku Tuhan lebih tidak suka lagi Ibu tersakiti oleh Bapak.” Aku kaget dengan yang aku dengar dari mulutku sendiri. Detik berikutnya aku berharap Ibu tidak tersinggung dengan ucapanku, dan memeluknya lebih erat.

“Kamu pulang ke Jakarta lagi kapan?” Pertanyaan Ibu yang tiba-tiba berbelok mengagetkanku.

“Lusa Bu, cutiku tinggal sedikit.”

“Ibu nanti ikut kamu ke Jakarta ya. Ibu mau cuti juga ah, biar ngga sakit hati terus sama Bapak.” Hah? Aku hanya memeluk Ibu yang mendekapku dengan senyumnya yang masih sehangat mentari.

*Note : 400 kata

PS : Hedeeehhh… teu pararuguh pisan ceritanya 😛

#FFHore : Semangkuk Bakso Tahu

Jalanan lengang. Rupanya semua orang pergi berdemo. Mereka berjuang berteriak mengiba agar BBM tak perlu dinaikkan katanya. Siapa pula yang peduli? Siapa yang akan mendengarkan? Setidaknya, aku tidak peduli dan tidak ingin mendengarkan.

“Djarum-nya satu bang.” seorang sopir angkot memanggilku.

“Sewa lancar bang?” tanyaku basa basi. Yang hanya dia jawab dengan dengusan sebal. Membuatku berlalu setelah menerima recehan yang sebelumnya berserak di dashboard. Aku juga tak peduli padanya. Biarkan saja angkotnya sepi penumpang, yang penting satu batang rokokku terjual.

“Bang, nuker donk.” Kali ini seorang anak SMA jangkung berkacamata menjawil bahuku seraya menyodorkan selembar uang biru bergambar Ngurah Rai. Kali ini aku yang menjawab -dan menolak- si abege dengan dengusan tak suka. Kalau saja aku punya uang semacam itu, meski hanya satu lembar, maka tak perlu aku berbohong pada Bapak yang sedang sakit, bahwa mang Iyan -si penjual bakso tahu- tidak jualan kemarin.

Rahangku mengeras saat menatap anak lelaki bercelana abu-abu ketat yang beranjak menjauh itu, betapa senang hidupnya, yang bisa menikmati bermangkuk-mangkuk bakso tahu mang Iyan dengan mudah. Sementara aku? Kepingan uang logam di tas pinggangku rasanya belum seberapa. Apakah nanti malam aku juga harus kembali berbohong mang Iyan tak jualan? Jika membawa Bapak ke dokter adalah mukjizat bagiku, apakah juga perlu keajaiban untuk sekedar membelikannya semangkuk bakso tahu?

“Bang, aqua gelasnya satu.” seorang wanita muda bermandi peluh memanggilku dari halte. Aku menghampirinya gontai. Tambahan keping lima ratus perak darinya masih jauh dari anganku atas semangkuk bakso tahu untuk Bapak.

“Tissue ada bang?” tanyanya lagi. Aku sodorkan sebungkus tissue padanya. “Permen juga deh.” katanya lagi. Siang yang terik ini terasa sedikit lebih sejuk buatku kini. Selembar lima ribuan kini pindah ke tanganku. “Kembaliannya buat abang aja,” kembali si wanita muda berkata. Oh, ternyata Tuhan memang ada!

Tersenyum aku berlalu tanpa kata dari hadapan si wanita muda. Tak perlu menunggu sampai malam. Uang ini akan segera aku tukarkan untuk semangkuk bakso tahu mang Iyan yang diidamkan Bapak. Tergambar di kepalaku betapa bapak akan menikmati setiap suapnya nanti.

Saat beberapa langkah lagi kakiku sampai di warung bakso tahu mang Iyan, Asep -tetangga rumah petakku- berlari tergopoh menghampiriku.

Kunaon Sep?” tanyaku cepat.

“Kang Ujang… Bapak pupusnembe pisan..” jawab Asep perlahan.

***

Note :  359 kata

* kunaon = kenapa

** pupus = meninggal dunia

*** nembe pisan = baru saja

Hadiah Istimewa Untuk Budhe

“Kenapa Beib? Sepertinya ada yang dipikirkan.”

“Hari ini Budhe ulang tahun.”

“Oh ya? Biasanya kalian makan nasi tumpeng untuk makan malam ‘kan?”

“Iya.”

“Budhemu itu hebat ya. Merawatmu sejak kau kecil sekali.”

“Iya, Budhe seperti ibu sekaligus ayah buatku, bisa dibilang Budhe adalah segalanya, sudah pernah ku bilang Budhe tidak mau menikah karena aku ‘kan?”

“Alasan yang tidak bisa aku mengerti.”

“Aku juga, tapi aku pikir karena Budhe juga mencintai ayahku.”

“Ah… yang benar saja.”

“Konon anak kembar cenderung begitu.”

“Oh ya, mana hadiahmu untuk Budhe.”

“Ada, tapi bukan yang Budhe inginkan.

“Maksudnya?”

“Aku belum bisa memberikan yang Budhe minta kali ini.”

“Memangnya apa itu?”

“Budhe ingin… ah, nanti kau tanya sendiri lah ke Budhe ya.”

Dan Budhe memang sudah berdiri di depan pintu menyambut kami. Rupanya suara mobil mas Fajar sudah mulai terdengar khas bagi Budhe,

“Selamat ulang tahun Budhe, semoga panjang umur, sehat dan bahagia selalu.” Ucap mas Fajar tulus, aku pun mengucapkan hal yang sama, seraya berdoa pashmina yang sudah aku masukkan ke dalam kotak berpita cantik itu bisa menggantikan keinginan Budhe untuk melihatku segera menikah.

“Budhe, sebelum kita makan tumpeng, boleh saya mengatakan sesuatu?” tanya kekasihku itu lagi saat kami memasuki ruang tamu.”

“Monggo, kalau begitu kita duduk di sini dulu.” Jawab Budhe untuk menunggu apa yang ingin diucapkan mas Fajar. Apa ya yang akan mas Fajar sampaikan ke Budhe? Aku sendiri tidak tahu.

“Budhe…izinkan saya menikahi Rani, Budhe.” Suara mas Fajar terdengar entah di telingaku, benarkah? Bahagiaku tak terkira.

“Nak Fajar, Rani, ini adalah hadiah teristimewa yang pernah Budhe terima.” Ucap Budhe, tak kalah bahagia memelukku erat, yang sedang menatap mas Fajar dengan hati membuncah.

*Note : 271 kata

Artikel ini dikutsertakan dalam Kontes Menulis Cerita Mini

Amerta

Namaku Amerta. Aku tidak tahu siapa atau kenapa aku dinamai demikian. Tapi nama itu lah yang semua orang serukan saat memanggilku, tanpa ada satu pun yang bertanya padaku, apakah aku menyukai nama itu atau tidak. Dan aku tidak pernah merasa namaku itu luar biasa, hingga saat aku bertemu dengannya. Dia, lelaki malaikat yang memberitahukanku tentang surga.

“Kau pernah berpikir tidak, kenapa Tuhan menciptakan Hawa?”

“Untuk menemani Adam di surga, bukan?”

“Hmm… Mungkin saja.”

“Mungkin saja? Menurutmu tidak begitu?”

“Menurutku sedikit berbeda.”

“Bagaimana?”

“Karena surga tak bermakna tanpa kehadiran Hawa.”

“Wow.”

“Iya, seperti aku yang tak ingin berada di surga, jika di sana tak ada dirimu.”

“Ah, itu gombal.”

“Terserah apa katamu. Tapi bagiku dirimu abadi.”

“Maksudnya?”

“Seperti arti namamu. Amerta.”

“Memangnya apa arti namaku?”

“Kau tak pernah tahu arti namamu?”

“Tak ada yang memberitahuku.”

“Dan kau tidak mencari tahu?”

“Untuk apa? Toh aku bukan siapa-siapa.”

“Hei, kau adalah segalanya bagiku.”

“Benarkah?”

“Ya. Amerta-ku. Amerta yang tidak dapat mati. Amerta yang abadi. Amerta yang tidak terlupakan.”

“Itukah arti namaku?”

“Benar sekali. Indah bukan?”

“Entahlah…”

“Kenapa? Kau tidak menyukainya?”

“Tapi untuk apa hidup selamanya? Kenapa harus tidak terlupakan? Bagaimana aku bisa menikmati hidup jika aku tidak bisa mati?”

“Ah…kau telah melupakan surga, rumah kelahiranmu. Tempat di mana semuanya tak pernah mati, abadi dan tak terlupakan.”

“Surga? Tempat yang sama saat Adam dan Hawa diciptakan itu?”

“Tempat semua berasal dan kembali.”

“Maukah kau mengajakku kesana?”

“Ke surga?”

“Iya.”

Lantas kau hanya tersenyum dan sesaat kemudian menghilang. Meninggalkanku yang tak dapat mati, abadi, dan tidak terlupakan. Untuk apa amerta-ku itu jika tanpamu?

Sekali lagi aku tatap dirimu yang kini hanyalah sebentuk abu pengisi botol kecil dalam genggamanku. Wahai lelakiku, izinkan aku menjadi debu sepertimu, dan segera kita akan berjumpa disana. Di surga. Tempat semua berasal dan kembali. Dan aku pun menari bersama api yang memelukku, hangat.

*Note : 301 kata

***

Cerita di atas hanya sekedar fiksi belaka. Ditulis dalam rangka meramaikan Kontes Flashfiction Ambrosia yang diselenggarakan Dunia Pagi dan Lulabi Penghitam Langit.

Soto Koya

“Soto koya? Yang kayak gimana tuh?”

“Kamu ngga tau?”

“Ngga.”

“Enak lho.”

“Masa sih? Namanya ga keren gitu ah.”

“Keren?”

“Iya, ravioli, dimsum, raclette, sushi, poffertjes, lebih keren kan namanya?”

“Ah…nasionalismenya mana?”

“Hahahaha… aku suka juga makanan lokal kok, pecinta tahu gejrot sejati nih.”

“Hoh? Tahu gejrot? Emang enak?”

“Enaaaaakk, daripada soto koya.”

“Emang udah pernah nyicip soto koya?”

“Emang kamu udah pernah nyicip tahu gejrot?”

Kamu tertawa. Aku tertawa. Soto koya dan tahu gejrot pun ternyata bisa membuat kita bahagia. Apakah kamu tahu aku begitu bahagia menatap ekspresi tawamu itu? Apakah kamu menyadari hatiku menghangat saat mendengar tawamu yang renyah itu? Apakah kamu tahu…

“Heh, kok ngeliatin aku begitu banget sih?”

“Ga boleh ya?”

“Bayaaar.”

“Ish…komersil banget.”

“Biarin.”

“Kamu tahu ngga?”

“Ngga.”

“Euuh…makanya dengerin dulu.”

Kembali, aku tertawa, dan kemudian kamu pun tertawa, lantas semesta seolah ikut tertawa bersama kita.

“Apa? Terusin yang tadi, mau bilang apa?”

“Aku sukkka banget sama soto koya.”

“Kenapa?”

“Karena enak.”

“Selain itu?”

“Mmmm…ngga tau juga ya kenapa.”

“Kok aneh?”

“Aneh gimana?”

“Karena menurutku harus ada alasan untuk segala sesuatu.”

Ugh…rasanya aku tak punya alasan untuk menyukai soto koya, ataupun alasan untuk menyukaimu. Tapi tentu saja kau tidak akan mengerti.

“Hei, Bro. Tengkyu ya udah nemenin Maya gue.” Maya gue, oh crap.

“No problemo. Jadi kalian kencan ke mana malam ini?”

“Paling makan di manaa gituh.”

“Pastinya bukan makan soto koya.” Sahutmu kocak.

“Eh?Ada apa dengan soto koya?” Tanya Reza padamu.

“Ada deeeehh… rahasia kita ya Cal?” kedipmu padaku.

“Hah? Punya rahasia nih sama si Ical?”

Aku tertawa. Kamu tertawa. Reza –pacar sialanmu yang adalah sahabat baikku itu- tertawa. Tapi aku tetap tidak mengerti kenapa kamu lebih memilih Reza daripada soto koya. Ralat, daripada aku maksudku. Reza menggandeng tanganmu mesra, meninggalkan aku merana sendirian di kostan buluk ini.

Yeah, malam minggu selalu kelabu untuk jomblo sepertiku. Baiklah, aku akan mencari soto koya yang selalu mengerti aku.

 ***

*Note : 312 kata.

Ketagihan nge-FF, dengan judul request yumin yang entah kenapa rupanya ngidam soto koya hihihihi