“Selamat pagi, Ben.” Sapaku ceria. Ben hanya menunduk menatap lantai, membuatku harus berjongkok untuk kembali bicara padanya.
“Ayo, simpan tasmu.” Tanpa suara Ben menuruti perintahku. Menyimpan ranselnya di loker di dekat jendela, dan kemudian tetap berdiri di sana seperti memandang jalanan sibuk di bawah.
“Ben, duduk di sini yuk.” Aku sudah duduk di kursi kecil tempat kami berlatih setiap harinya. Sesi bersama Ben hanya satu jam, tapi dengan monolog seperti ini, satu jam akan lebih dari cukup untuk membuatku lelah. Walaupun sudah terbiasa, bagiku kebersamaan kami tetap luar biasa.
Ben akhirnya duduk di depanku, terpisahkan meja kecil dengan berlembar-lembar kertas HVS putih dan sekotak crayon. “Kamu sudah sarapan, Ben?” Ben tetap sunyi, kini menunduk menatap kertas putih di depannya. “Mau susu coklat?” aku menyodorkan sekotak susu coklat ke arahnya. Ben menerimanya tanpa kata.
“Kamu suka susu coklat?” Kali ini Ben mengangguk. “Kenapa tidak diminum?” Lagi-lagi Ben membisu, hanya menatap si kotak susu di depannya.
Detik berikutnya aku harus menenangkan diriku sendiri. Menganalisa kenapa dia menolak untuk berbicara memang sebuah PR besar bagiku, tapi berharap mendengar sepatah kata yang terucap dari Ben rupanya sudah menjadi keajaiban. Kapan aku bisa mendengar mukjizat itu darinya? Sekali lagi aku menatap Ben yang sedang menatap susu kotak. Seandainya aku bisa membaca apa yang sedang dipikirkannya saat ini.
“Kamu mau menggambar?” Ben mengangguk cepat, dan tak perlu menunggu instruksi berikutnya, dia mulai menggambar.
Gambar pertama adalah sebuah bulatan berwarna merah yang mendominasi hampir seluruh kertas, Ben mengisi bagian kertas yang masih putih dengan warna biru langit. Aku berasumsi dia menggambar matahari.
“Matahari ya, Ben?” Dia hanya mengangguk, dan mulai menggambar di kertas berikutnya. Bocah berusia 7 tahun itu kini menggambar sebentuk mobil dengan banyak sekali roda, tapi tanpa satu pun jendela. Lantas sebuah kolam dari batu dengan bunga teratai berwarna ungu. Lalu semacam monster bertaring hijau dengan bulu-bulu berwarna oranye. Kemudian seekor penyu yang berjalan di atas rumput. Dan entah apa lagi. Di antara aktifitasnya menggambar, aku mencoba mengajaknya berbicara. Sebuah usaha sia-sia yang tak pernah menghasilkan apa-apa.
Tapi kemudian satu jam berlalu. Ben sudah dijemput sang ibu yang terlihat sangat tua melebihi usianya. Meninggalkanku sendiri dengan gambar-gambar Ben yang masih berserakan di atas meja kecil kami. Semoga besok aku lebih beruntung, doaku dalam hati.
Gambar terakhir yang rupanya belum aku lihat adalah gedung-gedung dengan lidah api merah menyala di salah satu ujungnya. Membuatku tertegun karena pemandangan yang sama sedang aku saksikan di luar jendela. Salah satu gedung di seberang sana sedang terbakar.
Note : 405 kata, yang mau ikutan, sila mampir ke sini yaa 😉
PS : Terinspirasi dari serial TV “Touch”