Fe

Putih. Hening. Luas.

Di mana aku?

“Hai, Fe.”

Aku menoleh, rupanya aku tidak sendirian, sesosok malaikat (?) tersenyum ke arahku.

“Hai,” jawabku ragu.

“Kau tahu sedang berada di mana?”

“Tidak.”

Sosok itu hanya mengangguk-angguk, senyumnya hilang, matanya terlihat sendu.

“Jadi? Dimana aku?”

“Kau sedang berada di ruang tunggu.”

“Ruang tunggu?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa aku berada di ruang tunggu?”

“Sebentar lagi kau masuk surga, aku akan menemanimu menunggu.”

“Surga? Kapan aku mati?”

“Baru saja.”

“Tapi… Tapi aku bahkan belum benar-benar hidup.”

“Begitulah. Aku tahu. Aku ikut menyesal.”

“Kenapa? Bukankah seharusnya aku masih bergelung hangat di dalam rahim ibuku yang nyaman?”

Sosok itu bergeming. Membuat ruangan putih luas ini bertambah hening.

“Siapa yang mengirimku ke sini?”

“Kurasa sebaiknya kau tidak perlu tahu tentang dia. Percayalah, kurasa betul-betul jangan.”

“Jadi? Jadi bukan Tuhan yang…”

“Sudahlah, itu tidak penting lagi. Mari, namamu sudah dipanggil.”

Aku bungkam, lantas berjalan di belakang sosok itu meski enggan. Tapi aku tahu, sosok itu tahu bahwa aku sudah tahu, perempuan yang seharusnya aku panggil ibu yang mengirimku ke sini. Tak apalah, mungkin kelak aku bisa menemui perempuan itu di neraka jika Tuhan mengizinkan.

***

*Note : 186 kata, FF geje ini ditulis khusus untuk MFF Prompt #54: Rahasia

*Note (lagi) : Fe dalam judul dan cerita adalah untuk ‘fetus’ (janin)

 

Advertisement

[Berani Cerita #29] Mencari Mempelai

Percobaan pertama, entah beberapa tahun yang lalu.

“Sorry…aku tidak bisa.”

“Tapi kenapa? Apakah karena aku perokok?”

“Itu hanya salah satu sebab.”

“Tapi itu hanya sekedar hobi. Aku akan punya banyak buku kalau hobiku membaca, kalau hobiku fotografi aku akan punya kamera bagus. Nah, hobiku merokok, apa bedanya dengan hobi-hobi yang baru saja aku sebut tadi?”

“Kakekku meninggal karena kanker paru-paru.”

“Apa hubungannya denganku?”

“Pokoknya aku tidak bisa menerima pinanganmu. Kita putus.”

Bah! Bilang saja kalau memang tidak cinta, tidak perlu berputar seperti itu segala. Sepuntung rokok tak berdosa aku lempar jauh-jauh.

***

Percobaan kedua, beberapa tahun berikutnya.

“Jadi?”

“Jadi aku bersedia menjadi istrimu dengan syarat kau berhenti merokok.”

“Seharusnya cinta itu tak bersyarat apapun. Kalau begitu artinya kamu tidak betul-betul mencintaiku.”

“Aku ragu kamu betul-betul mencintai dirimu sendiri atau tidak.”

“Maksudnya?”

“Ya itu…nikotin dan teman-temannya yang sering kamu isap berkali-kali dalam sehari itu, bukankah pertanda kamu tidak sayang dirimu sendiri?”

“Apa-apaan itu? Kita putus.”

Bah! Seharusnya pasangan itu saling menerima dengan utuh, bukan? Perempuan itu memang tidak pantas untukku. Aku menatap sepuntung rokok yang masih berasap di antara jemariku, lantas menginjaknya perlahan.

***

Percobaan berikutnya, beberapa tahun berikutnya lagi.

“Maaf, aku ingin punya anak banyak.”

So?

“Sperma seorang perokok konon tidak bagus.”

“Teori darimana? Bapakku perokok, kamu tahu aku anak ke berapa?”

“Ya, kamu anak ke sebelas dan adikmu masih ada 3.”

See?

“Tapi tetap aja, aku tidak bisa jadi istrimu.”

“Tidak bisa atau tidak mau?”

“Apa bedanya, hasilnya sama saja. Hubungan kita cukup sampai di sini.”

Bah! Apakah sudah tidak ada lagi perempuan-perempuan waras yang tidak sok anti rokok di bumi ini? Aku menatap sepuntung rokok yang sudah tergeletak di dekat kakiku, kita ini sudah satu paket, dimana perempuan yang bisa menerima kita berdua? Tanyaku padanya.

***

Percobaan ke sekian, beberapa bulan yang lalu.

“Kenapa kamu tidak berhenti merokok?”

“Kenapa tidak?”

“Benda itu bisa membuatmu mati muda.”

“Kamu bisa jamin aku bisa hidup lama tanpanya?”

“Ya tentu saja tidak, tapi-”

“Ya sudah, tidak perlu dibahas. Jadi kamu mau tidak menerima pinanganku?”

“Maaf. Jawabannya adalah tidak. Aku tidak suka lelaki beraroma tembakau.”

“Baiklah. Semoga kamu menemukan lelaki beraroma entah apa yang kamu suka.”

Bah! perempuan itu tak tahu rupanya ada teknologi bernama parfum yang bisa memilih aroma apapun yang kita mau. Manisnya isapan terakhir masih terasa di ujung lidah, sepuntung rokok yang masih hangat aku endus dekat-dekat. Mungkin tidak ada perempuan yang bisa aku jadikan mempelai.

***

Hari ini, detik ini, saat aku akhirnya menemukan belahan jiwaku.

“Wah? Mau dinikahkan di sini saja?”

“Iya, Pak Penghulu.”

“Mana pengantin perempuannya? Saya nikahkan lewat skype atau bagaimana.”

“Tidak, Pak Penghulu.”

“Lantas?”

“Ini Pak Penghulu, di sebelah saya, mempelai perempuan ada di sebalah saya.”

“Apa? Kau ingin menikah dengan sekotak puntung rokok?”

“Iya, Pak Penghulu.”

“Gila!”

Aku tersenyum bahagia, memandang entah berapa banyak puntung rokok yang sengaja aku kumpulkan, aku memang tergila-gila pada mereka. Hanya mereka yang bisa mengerti lelaki seperti aku.

Note : 475 kata, sila klik bannernya untuk ikut Berani Cerita, maafkan cerita geje yang absurd inih hehehehehe

[Berani Cerita #20] Obsesi

“Mas, ada kaset Chrisye, ngga?”

“Hah? Kaset?” aku tergeragap dari kantuk yang terusir segera begitu perempuan itu datang. Dan lebih terkejut saat mendengar pertanyaan perempuan itu. Kaset? Helloooow…

“Iya, yang album Badai Pasti Berlalu. Keluaran tahun 1977 itu lho.” katanya lagi.

Kutaksir usia perempuan itu baru 30an. Mata kecilnya sayu, hidungnya bangir, rambutnya legam, tubuhnya semampai. Cukup cantik sebetulnya, tapi sayang katrok, ucapku dalam hati.

“Hari gini udah ngga ada yang jual kaset, mbak.” jawabku menahan tawa, “Nih, ada CDnya kalo mbak mau.”

“Mas ngga dengar ya? Kaset, mas, kaset, bukan yang kayak gini.” CD yang kusodorkan ditepisnya hingga terjatuh. Gila nih cewek, rutukku kesal. Tapi sebelum aku mengomel panjang lebar, perempuan itu berlari keluar toko berurai air mata. Bah!

***

“Cari CD apa, mbak” tanyaku pada seorang perempuan bergaun biru laut yang tengah mencari-cari di rak ‘Lagu 90-an’. Perempuan itu menoleh, aku merasa mengenalnya, tapi siapa ya? Hmm.

“Halo mas, saya lagi nyari kaset KLa Project nih, mas. Yang album pertama. Ada?” Aha, ternyata si perempuan gila!

“Ngga ada, mbak.” jawabku ketus.  Lantas aku khawatir si perempuan gila ini berlari keluar sambil menangis seperti tempo hari, tapi ternyata tidak, dia hanya menatapku dengan pandangan bertanya.

“Serius?”

“Seratus rius, mbak.”

“Kamu pikir saya gila yah?”

“Lhoh?”

“Memang lelaki itu ngga ada satu pun yang bisa ngehargain perempuan!” Detik berikutnya dia menamparku! Pipi kiriku terasa panas, sepanas hatiku yang tidak terima dengan perlakukan si perempuan gila itu padaku.

Aku mulai menjambak rambut panjangnya, perempuan itu menjerit, lantas mencakar lenganku. Aku hendak mencekiknya saat tersadar, kalau aku demikian, aku akan sama gilanya dengan si perempuan. Maka aku mundur, melepaskan diri dari perempuan itu. Dia juga terdiam, menatapku beberapa detik tanpa berkedip.

“Sayang, pulang yuk.” seorang lelaki datang, langsung memeluk pinggang si perempuan.

“Aku lagi nyari kaset KLa yang pertama mas.”

“Iya, nanti mas yang cari.”

“Janji?”

“Janji.”

Lantas si perempuan gila, dan lelaki -yang sama gilanya- keluar dari pintu toko, meninggalkanku yang masih tetap menatap mereka hingga tak terlihat.

***

Beberapa pekan ini cukup ‘aman’, si perempuan gila yang mencari kaset tidak datang lagi. Tapi entah kenapa, kegilaannya justru mengusikku. Kenapa dia begitu terobsesi pada kaset? Aku mengingat kapan terakhir kalinya aku mendengarkan lagu dari sebuah kaset dalam tape recorder, rasanya sudah terlalu lama untuk diingat.

Maka aku beranjak ke gudang, tempat kaset-kaset lama yang tak sempat terjual masih disimpan. Kuambil secara acak, kaset Dewa 19, entah album ke berapa, aku masukkan ke dalam tape recorder berdebu di pojok ruangan. Lagu Kangen menyapa, suara Ari Lasso bergema, pita kaset yang berkemerisik menimbulkan sensasi tersendiri di telingaku. Aku terdiam di sana hingga berjam-jam. Hingga berlagu-lagu. Hingga berkaset-kaset.

Sepertinya aku resmi tertular kegilaan si perempuan gila.

Note : 438 kata. Absurd sekali cerita ini ya hahahaha *abaikan*. Yang ingin ikutan bercerita, sila klik bannernya yaa 😉

Doa Senja

Anak perempuan itu duduk diam saat aku mendekatinya. Walaupun baru beberapa hari aku mengenalnya, tapi aku bisa segera tahu, saat sendiri, dia selalu murung, seringkali bersedih, bahkan tak jarang menangis. Tapi saat bersama teman-temannya yang lain, senyuman tak pernah pergi dari bibirnya. Seolah semesta harus mengenalnya sebagai seorang gadis kecil yang ceria. Kecuali pada saat-saat seperti ini, saat dia terduduk sendiri di sudut taman menatap matahari yang hampir tenggelam.

“Hai.” sapaku pelan, nyaris berbisik. Anak perempuan itu tergeragap, mungkin memang terkejut, membuatku sedikit menyesal mengganggunya. Tapi aku tidak punya pilihan lain, aku harus berbincang dengannya, sekarang.

“Hai…” ujarnya, juga pelan.

“Boleh aku duduk di sini bersamamu?” anak perempuan itu mengangguk, lantas memberi satu ruang kosong di sisinya untukku.

“Kamu suka senja?” tanyanya setelah jeda yang sedikit lama. Giliran aku yang menjawab tanya itu dengan sebuah anggukan. “Aku memiliki sebuah doa khusus saat senja seperti ini.”

“Oh ya?” aku sudah tahu apa pintanya di setiap senja seperti ini.

“Kamu mau mendengarnya?” tanyanya lagi, aku mengangguk cepat, aku ingin mendengar doa itu langsung dari bibirnya, “aku berdoa untuk kedua orang tuaku yang tidak aku ketahui siapa atau di mana. Aku rindu pada mereka berdua, maka aku berdoa, semoga kelak, entah kapan, aku bisa bertemu mereka, dan bahagia bersama.” pipinya seketika gerimis.

Detik demi detik berlalu saat kemudian anak perempuan itu berkata lagi, “Di sore seperti ini, aku juga berdoa supaya kelak, teman-temanku di panti asuhan ini, bisa memiliki orang tua asuh, seperti teman-teman kami yang lebih beruntung telah bersama keluarga-keluarga baru mereka.” Anak perempuan itu tersenyum dalam tangis tanpa isaknya. Sebuah doa yang mulia, bahkan untuk anak sekecil dia. Aku mengerti kenapa Tuhan begitu menyayangi gadis kecil ini.

“Apakah kamu pikir Tuhan mendengar doaku?”

“Tentu saja.”

“Benarkah?”

“Benar. Bahkan, Tuhan begitu menyayangimu, hingga menyuruhku menjemputmu.”

“Oh?” anak perempuanku itu menatapku beberapa detik tanpa berkedip. Aku hanya tersenyum menatap wajah tanpa dosanya. Di surga nanti, Senja tak perlu lagi menangis. Dia akan menjadi gadis kecil ceria yang bahagia, seperti seharusnya.

***

Note : 327 kata

Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Si Sulung

Joni

First sight love?

Bagiku itu adalah bualan semata, akal-akalan entah pujangga siapa yang mungkin telah gila karena cinta pandangan pertama yang tak pernah ada. Atau rekayasa pembuat film drama yang kehabisan ide cerita. Maka aku tak pernah percaya pada cinta semacam itu, hingga detik ini, saat aku melihat sesosok makhluk Tuhan -yang konon bernama Joni- yang sedang duduk di lobby.

Tubuhnya tinggi langsing pejal walaupun tak berotot, mengingatkanku akan sosok Jhonny Depp yang selalu membuatku menelan ludah dengan susah payah saat melihat gambar dirinya.

Matanya seperti mata kucing, kecil, tajam, sedikit menyeramkan sekaligus manja seperti memohon disayang. Dengan alis tebal yang hampir saling bertemu menambah kegagahannya.

Rambutnya sedikit mencuat ke atas, seperti model rambut milik Chef Juna, yang seolah angkuh menantang meminta dielus disentuh.

Bibirnya? Aku tidak bisa menceritakan detailnya tanpa membayangkan bibir itu me…. Oke stop! Sepertinya aku sudah mulai gila. Tapi akhirnya aku mengakui, bahwa cinta pandangan pertama betul-betul ada dan tak pernah mengada-ada.

“Bu, Pak Joni sudah saya minta menunggu di ruang meeting depan.” Sekali lagi Mayang asistenku mengingatkan. Rupanya aku terlalu sibuk terpesona pada si Joni hingga lupa detik demi detik terus berlarian.

“Dia dari perusahaan apa, May?”

“Errr…maaf, Bu. Saya lupa tanya.” jawab Mayang salah tingkah, merasa bersalah. Biasanya aku akan marah, dan mengomel panjang lebar jika dia melupakan detail sepenting itu, bagaimana aku bisa menghadapi tamu jika aku belum tahu siapa dia, dari mana, dan untuk kepentingan apa menemuiku.

Tapi aku tahu, kali ini Mayang melakukan kesalahan fatal itu karena dia -seperti juga aku- terpukau pada pesona lelaki itu. Belum apa-apa aku sudah merasa cemburu. Maka aku mengibaskan tangan menyuruhnya pergi.

Aku beranjak, mematut diri pada pantulan lemari-lemari kaca berisi banyak dokumen, melangkah menemui Joni dengan hati berdebar. Kemudian membuka pintu ruang meeting perlahan seraya menyiapkan senyuman terbaik yang aku miliki.

Lelaki itu sigap berdiri saat aku masuk, tersenyum ramah yang berhasil membuat jantungku pikuk bersorak sorai. Dari jarak beberapa langkah, wangi CK beraroma musk menguar dari dirinya. Ya Tuhan, sungguh aku mencintai lelaki tampan yang harum seperti dia!

“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”

“Pagi Bu Aline, saya Joni, Bu. Saya ditugaskan Pak Alex menggantikan Pak Jati untuk hari ini.”

“Pak Jati?”

“Iya Bu. Jadi untuk sementara saya yang menjadi supir Mister Yamada menggantikan Pak Jati.”

What???

***

Ditulis untuk #ProyekCinta-nya @Bintangberkisah

Hari Kelima

Sepertinya Tuhan sedang bahagia saat mencipta seorang Kapten Bhirawa, karena bagiku, dia adalah lelaki yang sempurna. Tatapan matanya, langkah tegapnya, dada bidangnya, senyum manisnya, semua dan segala yang melekat pada dirinya, membuatku terpesona. Tak perlu lama untuk terpikat pada lelaki seperti dia, aku jatuh cinta pada hari kelima.

Hari pertama, aku baru tahu keberadaannya saat makan malam menjelang. Rupanya selama ini lelaki tampan itu tinggal di Surabaya, dan baru kembali pulang setelah 3 tahun menetap di sana. Pantas saja aku hampir tidak tahu tentangnya selain namanya yang kerap diperbincangkan itu. Hari kedua, aku sudah tahu makanan kesukaannya, pepes tahu-sayur bayam-ikan bawal goreng, menu sederhana yang bisa aku buat dengan mudah. Hari ketiga, aku takjub karena suaranya seindah surga. Sore itu dia memetik gitar di serambi belakang, kunikmati senandungnya sembunyi-sembunyi dengan gempita hati.

Hari ke-empat, aku tahu dia masih lajang. Betapa mengejutkan sekaligus membahagiakan fakta tersebut bagiku. Bagaimana mungkin lelaki serupawan dia belum memiliki belahan jiwa? Aku merasa bungah tak terkira, dan membuatku sedikit nekat untuk jatuh cinta padanya. Maka tepat di hari ini, hari kelima saat aku tak bisa mendustai hatiku yang telah mendamba dirinya, aku mencari cara bagaimana aku harus memberitahunya. Aku berniat menulis sepucuk surat cinta yang bisa aku tinggalkan di atas bantalnya. Tapi…

“Narti, kamu nyetrika dari tadi kok belum beres juga? Ayo cepat, Bhirawa sudah mau berangkat tuh.” Entah sejak kapan majikanku itu berdiri di sana, berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk kemeja biru laut putranya yang sedang aku rapikan. Duh, aku lupa kalau kastaku sudra dan tak pantas bersanding dengan sesosok Bhirawa yang seorang perwira.

Cerita  ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest:Senandung Cinta

[Berani Cerita #14] Catty

Di antara semua makhluk yang diciptakan Tuhan di dunia ini, gue paling benci sama yang namanya kucing! Iya, kucing, binatang berbulu dengan mata tajam berkumis tiga helai yang katanya imut bin unyu itu entah kenapa selalu menjadi musuh bebuyutan gue. Tangan gue pernah dicakar kucing, kaki gue pernah dikencingin kucing, ikan asin  gue pernah diembat kucing, kaos kaki gue pernah dipake tidur kucing. Nah, wajar ‘kan kalau gue benci makhluk bernama kucing itu setengah hidup?

Alasan lainnya adalah, gue sangat tidak suka suara meong-meongnya yang seringkali mengganggu ketentraman hidup gue. Tapi anehnya, gue bisa mengerti maksud si kucing dengan bahasa meong-meongnya itu, gue bisa tahu kapan dia ingin makan atau bercinta. Kalau si Harry Potter bisa parseltongue alias mengerti bahasa ular, berarti gue bisa bahasa apa nih mengerti omongan si kucing? Ah, abaikan!

Kenapa gue tetiba galau begini perihal si kucing? Adalah karena sekarang, detik ini, gue lagi naksir cewek cantik semlohai bernama Catty! Jangan dipikir dia bule dengan rambut pirang bermata biru ya, dia asli Wonogiri kok, nama aslinya sih Katrinah, tapi dia-nya kepengen dipanggil Catty ya tidak apa-apa juga bukan?

Jadi begini, dalam proses pedekate gue dalam target menjadikan si neng Catty ini bersedia menjadi pacar gue yang ke sekian, gue melakukan sedikit riset tentang dirinya. Sejauh ini yang gue tahu cukup banyak. Misalnya, dia suka warna orange dan biru, dia suka bakso tanpa kecap dan vetsin, dia suka ngemil Lays dan bukan Chitato, dia lebih suka Vin Diesel daripada Brad Pitt. Yang terakhir ini membuat gue suka cita bahagia karena kepala gue botak, sebelas dua belas kan ya sama Om Vin Diesel?

Nah, fakta berikutnya tentang Catty adalah, kabarnya dia penyuka kucing. Tapi tentu saja gue tidak bisa percaya begitu saja sebelum gue membuktikan sendiri kebenarannya. Maka sekarang ini gue sedang berada di depan rumah calon pacar gue itu. Baiklah, masih di balik pohon di seberang rumahnya sih, karena dari tadi Bapaknya si Catty yang berkumis baplang bolak balik entah melakukan apa di halaman. Gue khawatir disangka mau maling jemuran kalau langsung bertamu ke sana, jadi gue akan mengamati dari jauh saja dulu. Sejauh ini, tidak terdeteksi keberadaan seekor kucing pun di rumah itu.

Tapi kemudian gadis pujaan hati gue itu keluar. Hanya dengan bercelana pendek dan kaos gombrong bergambar Doraemon saja, dia terlihat bersinar, satu level lah sama Selena Gomez. Lantas dia duduk di kursi yang ada di teras, untuk kemudian anteng asyik memotong kuku. Duh, gue dengan rela bersedia memotong kuku-kuku tangan dan kakinya kalau dia jadi pacar gue kelak. Dan tak lama, muncullah 3 ekor kucing, gue katakan sekali lagi dengan lebih jelas, 3 EKOR KUCING keluar dari rumah lantas meringkuk malas di dekat kaki-kaki Catty.

Omaigat! Sepertinya gue harus mengurungkan niat menjadikan si Catty sebagai pacar gue.

Note : 452 kata

PS : Sila diklik bannernya untuk ikutan bercerita yaa 😉

[Berani Cerita #09] Si Lelaki Paruh Baya

“Hari ini panas ya, bang.” Seorang lelaki paruh baya menyapa saat kakiku menjejak lantai mesjid. Jakarta sepanas neraka seperti biasanya, maka basa-basinya hanya membuatku sebal.

“Iya, Pak.” Jawabku singkat. Buku-buku yang aku bawa tak satu pun berhasil terjual, para penumpang bus hari ini rupanya sedang bokek semua, membuatku berpikir keras bagaimana memberi istriku sejumlah uang untuk keperluan besok. Jadi aku tidak memerlukan percakapan yang tak perlu dengan si lelaki paruh baya di depanku. Setelah tersenyum sekilas aku berlalu dengan cepat.

Ashar masih lama, dan air yang lumayan dingin untuk mencuci muka berdebuku tadi, kini membuat mataku meredup. Aku merebahkan diri berbantalkan buku-buku yang seharusnya bisa aku jual sejak tadi. Tapi si lelaki paruh baya lagi-lagi mendekat.

“Jualan buku, bang?” Menurut lo? Ingin aku berseru demikian padanya, tapi aku hanya menganggukkan kepala, malas. Kalau saja dia masih seusia denganku, sudah dari tadi aku mengusirnya. Lagipula sepertinya dia bukan merbot mesjid atau semacamnya, tidak memakai baju koko, tanpa peci, bahkan bercelana jeans sepertiku. Jangan-jangan… refleks aku meraba saku belakang sebelah kiri, untunglah, dompetku masih ada. Uang tak seberapa yang ada di dalamnya tidak boleh sampai berpindah tangan.

“Kerja di mana Pak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, berusaha tetap fokus dengan sekitarku, siapa tahu si lelaki paruh baya ini menghipnotisku dan kemudian mengambil semua hartaku. Aku seringkali menjadi saksi bisu para pencuri hipnotis itu beraksi, dan tidak ingin menjadi salah satu korban.

“Kamu suka jualan?” Pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan lain. Dia tersenyum ramah, seolah aku adalah seorang teman yang lama tak bersua.

“Tidak ada pilihan lain, Pak. Saya baru saja dipecat, jualan buku begini lumayan untuk menafkahi keluarga.” Jawabku akhirnya jujur. Semoga dia merasa kasihan padaku, dan tidak jadi berbuat jahat padaku.

“Ooh…begitu. Mau kerja di tempat saya?” Aku menatap si lelaki paruh baya dengan tatapan siaga, walaupun miskin aku tidak mau melakukan semua hal yang tidak baik, “Saya punya percetakan kecil, kalau kamu mau, kamu bisa bekerja di sana. Yaa…bantu-bantu apa lah, nanti saya gaji bulanan.”

“Oh?” Sepertinya si lelaki paruh baya adalah jelmaan malaikat yang dikirimkan Tuhan padaku.

Note : 335 kata. Yang mau ikutan sila cek di sini ya, temans 😉

PS : Mulai deh, judulnya ngga banget >_< errr…ceritanya juga geje -seperti biasa- sih, ya sudahlah yaa *mlipir*

Prompt #10: Putri Shioban

Shioban berlari lintang pukang. Dua orang preman yang mengejar di belakangnya seperti sepasang malaikat maut yang hendak merampas hidupnya. Tapi tas pinggang kumal berisi uang tak seberapa dan gitar kecil ini adalah nyawanya, Shioban akan melakukan apapun untuk melindunginya. Dia sudah bukan gadis kecil lagi yang hanya bisa menyerahkan jerih payahnya ke setiap preman saat diminta.

Shioban berbelok ke rumah tua yang sepertinya tak berpenghuni. Dia tidak takut hantu, pengejarnya itu lebih menyeramkan daripada setan manapun. Shioban butuh tempat untuk bersembunyi. Sebuah semak belukar di sisi kiri rumah menarik perhatiannya. Alih-alih masuk ke rumah, Shioban menerabas tanaman tak terurus itu dan menemukan dunia yang sama sekali berbeda. Di sana tak ada warna!

Berkali-kali Shioban harus mengucek matanya, tapi dia yakin dirinya sedang tidak bermimpi. Dunia di balik semak ini seperti film zaman dulu yang minim warna, hanya gradasi antara putih, abu-abu dan hitam. Shioban ingin kembali ke dunia warna yang dikenalinya, tapi langkah kaki para preman pengejar yang masih penasaran tertangkap telinganya, membuatnya mengurungkan niat dan melangkah ke dunia yang aneh di depannya. Mungkin di sini dia tidak perlu berurusan dengan preman atau menjadi anak jalanan lagi.

Shioban memegang erat tas pinggang kumal dan gitar kecilnya, dia tahu tidak mungkin preman-preman itu mengejarnya ke sini. Tapi sesosok makhluk -sepertinya jin- di kejauhan tetap membuatnya terancam. Tapi mungkin kereta kuda yang sedang dijaga si jin akan mengantarnya pada hidup yang sama sekali baru.

Perlahan Shioban mendekati mereka, saat tiba-tiba saja jin berkepala botak dengan trisula di tangan itu berkata.

“Kereta kuda hanya untuk para ratu dan penyihir.” 

“Memangnya apa yang akan kamu lakukan jika aku menginginkannya?” kata Shioban sambil mendelik ke arah jin penjaga. Entah kenapa tampang si jin tidak membuatnya takut, mungkin karena Shioban sudah terbiasa dengan para preman terminal yang lebih sangar.

“Putri?” Si jin kini menatap lekat ke arah Shioban. Membuatnya jengah dan mundur selangkah.

“Apa katamu?”

“Maaf hamba tidak mengenali putri tadi. Silakan naik. Akan hamba antar tuan putri ke istana Pelangi,” si jin kini bersikap penuh hormat, membuat Shioban duduk di atas kereta kuda tanpa kata, “Ratu Hening dan Raja Abadi begitu berduka saat putri tiba-tiba menghilang.” Jin penjaga kembali bercerita. Shioban hanya diam tidak mengerti. Istana Pelangi? Ratu Hening? Raja Abadi? Bah!

“Jadi?”

“Semua warna menghilang saat putri pergi.” Oh? Itulah kenapa semuanya serba hitam putih, Shioban mulai mengerti. Dia menatap pohon, rumput, bunga, jalanan berbatu, hingga awan dan langit yang bagaikan lukisan pensil semata. Di negeri ajaib ini dia adalah seorang putri? Hmm…

Matanya mulai terbiasa, saat dia menemukan keanehan yang lain. Tak ada suara yang tertangkap telinganya. Tak ada ringkikan kuda, tak ada gesekan roda kereta, tak ada semilir angin. Hening yang sunyi. Senyap yang diam. Dan Shioban akan berada dalam dunia dua warna tanpa suara seperti ini untuk selamanya? Seketika dia merindukan gempita warna dan hiruk pikuk ibu kota, termasuk dua orang preman yang tadi mengejarnya.

“Tidak, putri tidak boleh kembali ke sana.” si Jin seolah bisa membaca pikiran Shioban, “Hanya Putri Melodi yang bisa membuat negeri ini kembali berwarna dan berirama.”

Note : 500 kata.

PS : eyampun susyah yaa ternyata nulis fan-fiction beginih. No wonder J.K Rowling jadi penulis yang kaya raya *deduksi yang ngaco* :P. Menjura hormat untuk C.S Lewis, J.R.R Tolkien dan para fan-fiction writers.

PS (lagi) : terinspirasi dari cerita (film lebih tepatnya, karena saya belum baca novelnya) The Chronicles of Narnia-The Lion, the Witch and The Wardrobe.

Love is You

2013-04-18 11.11.45

“Kok kacamatanya enggak dipakai?”

“Tidak perlu sebingkai kacamata untuk menikmati ketampananmu.”

“Ah…dasar pujangga.”

Si perempuan tergelak, si lelaki sedikit merengut, malu.

“Harusnya ‘kan yang ngegombal itu cowok. Kita malah terbalik begini.”

“Oh ya? Aku malah suka kamu tidak suka ngegombal.”

“Kenapa? Bukannya cewek suka digombalin?”

“Mungkin saja. Tapi biasanya yang pintar ngegombal itu sudah sering latihan dengan banyak perempuan. Dan aku merasa terhormat menjadi perempuanmu yang jarang digombalin.”

“Aaahh…melteeeeed.”

Si lelaki kini tertawa, si perempuan tertular dan ikut tertawa bersamanya.

“Kamu tahu tidak?”

“Apa?”

“Konon, Adam perlu waktu 40 tahun lamanya untuk bertemu Hawa saat mereka diturunkan ke bumi.”

“Wah?”

“Untunglah Tuhan berbaik hati mempertemukan kita tidak selama itu.”

“Tapi, rasanya aku bersedia menunggu lebih lama daripada itu untukmu.”

“Waahhh…akhirnya bisa ngegombal juga kamu.”

Lagi-lagi mereka tergelak berdua. Hingga kemudian si lelaki terdiam tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Pssttt…Dengerin deh.”

“Apa? Ada apa sih?”

“Ituuu…lagu di radio.”

“Oooh? Lagunya siapa sih itu?”

“Cherrybelle! Love is youuuuuu…”

Si lelaki bersenandung riang. Si perempuan menatapnya takjub hingga tak sanggup berkata-kata.

QUIZ MONDAY FLASHFICTION #2 – Sekilas Sekitarmu

Note: 163 kata

***

PS : Dibuat khusus untuk akang matahari yang sedang berulang tahun. Seorang lelaki sederhana dengan cinta sederhana yang membuat segalanya mendekati sempurna. Yes, love is you, Luv *kiss…kiss…* #eeaaa… 😛

PS (lagi) : Iyaaa…ci akang matahari beneran suka Cherrybelle! *tepok jidat* qiqiqiqiqi