Percobaan pertama, entah beberapa tahun yang lalu.
“Sorry…aku tidak bisa.”
“Tapi kenapa? Apakah karena aku perokok?”
“Itu hanya salah satu sebab.”
“Tapi itu hanya sekedar hobi. Aku akan punya banyak buku kalau hobiku membaca, kalau hobiku fotografi aku akan punya kamera bagus. Nah, hobiku merokok, apa bedanya dengan hobi-hobi yang baru saja aku sebut tadi?”
“Kakekku meninggal karena kanker paru-paru.”
“Apa hubungannya denganku?”
“Pokoknya aku tidak bisa menerima pinanganmu. Kita putus.”
Bah! Bilang saja kalau memang tidak cinta, tidak perlu berputar seperti itu segala. Sepuntung rokok tak berdosa aku lempar jauh-jauh.
***
Percobaan kedua, beberapa tahun berikutnya.
“Jadi?”
“Jadi aku bersedia menjadi istrimu dengan syarat kau berhenti merokok.”
“Seharusnya cinta itu tak bersyarat apapun. Kalau begitu artinya kamu tidak betul-betul mencintaiku.”
“Aku ragu kamu betul-betul mencintai dirimu sendiri atau tidak.”
“Maksudnya?”
“Ya itu…nikotin dan teman-temannya yang sering kamu isap berkali-kali dalam sehari itu, bukankah pertanda kamu tidak sayang dirimu sendiri?”
“Apa-apaan itu? Kita putus.”
Bah! Seharusnya pasangan itu saling menerima dengan utuh, bukan? Perempuan itu memang tidak pantas untukku. Aku menatap sepuntung rokok yang masih berasap di antara jemariku, lantas menginjaknya perlahan.
***
Percobaan berikutnya, beberapa tahun berikutnya lagi.
“Maaf, aku ingin punya anak banyak.”
“So?”
“Sperma seorang perokok konon tidak bagus.”
“Teori darimana? Bapakku perokok, kamu tahu aku anak ke berapa?”
“Ya, kamu anak ke sebelas dan adikmu masih ada 3.”
“See?”
“Tapi tetap aja, aku tidak bisa jadi istrimu.”
“Tidak bisa atau tidak mau?”
“Apa bedanya, hasilnya sama saja. Hubungan kita cukup sampai di sini.”
Bah! Apakah sudah tidak ada lagi perempuan-perempuan waras yang tidak sok anti rokok di bumi ini? Aku menatap sepuntung rokok yang sudah tergeletak di dekat kakiku, kita ini sudah satu paket, dimana perempuan yang bisa menerima kita berdua? Tanyaku padanya.
***
Percobaan ke sekian, beberapa bulan yang lalu.
“Kenapa kamu tidak berhenti merokok?”
“Kenapa tidak?”
“Benda itu bisa membuatmu mati muda.”
“Kamu bisa jamin aku bisa hidup lama tanpanya?”
“Ya tentu saja tidak, tapi-”
“Ya sudah, tidak perlu dibahas. Jadi kamu mau tidak menerima pinanganku?”
“Maaf. Jawabannya adalah tidak. Aku tidak suka lelaki beraroma tembakau.”
“Baiklah. Semoga kamu menemukan lelaki beraroma entah apa yang kamu suka.”
Bah! perempuan itu tak tahu rupanya ada teknologi bernama parfum yang bisa memilih aroma apapun yang kita mau. Manisnya isapan terakhir masih terasa di ujung lidah, sepuntung rokok yang masih hangat aku endus dekat-dekat. Mungkin tidak ada perempuan yang bisa aku jadikan mempelai.
***
Hari ini, detik ini, saat aku akhirnya menemukan belahan jiwaku.
“Wah? Mau dinikahkan di sini saja?”
“Iya, Pak Penghulu.”
“Mana pengantin perempuannya? Saya nikahkan lewat skype atau bagaimana.”
“Tidak, Pak Penghulu.”
“Lantas?”
“Ini Pak Penghulu, di sebelah saya, mempelai perempuan ada di sebalah saya.”
“Apa? Kau ingin menikah dengan sekotak puntung rokok?”
“Iya, Pak Penghulu.”
“Gila!”
Aku tersenyum bahagia, memandang entah berapa banyak puntung rokok yang sengaja aku kumpulkan, aku memang tergila-gila pada mereka. Hanya mereka yang bisa mengerti lelaki seperti aku.

Note : 475 kata, sila klik bannernya untuk ikut Berani Cerita, maafkan cerita geje yang absurd inih hehehehehe