Sepenggal Senja di Senggigi

Halo, ini masih saya, yang tentu saja masih berada di Jakarta bagian Cakung saat ini *halah*. Pusing binti pening untuk persiapan besok, mengantar saya untuk berimajinasi, mencoba berkhayal menikmati Senggigi yang belum pernah saya pijak, tapi entah kenapa semakin menguat dalam imaji saya. Dan sekali lagi saya membuktikan, betapa menulis selalu bisa menjadi wisata hati bagi seorang saya.

Haiyaaa…kelamaan. Sok silahkan dinikmati. Ini ceritanya coba-coba ikutan proyek27, bukan FF jadi agak panjang (710 kata), kalau sedang sibuk mah skip ajah, tidak terlalu penting kok hihihihi.

Bagi yang ingin tahu info-nya dan atau berminat ikutan, sila cek di sini ya 😉

***

Menikmati senja di Senggigi adalah mimpiku yang sempurna, begitu katamu dulu padaku. Dan kini, saat mimpi itu mewujud di pangkuanmu, bolehkah aku bermimpi kau akan memaafkanku, Andini?

“Terima kasih sudah memaksaku ke sini Bram.”

“Sudah seharusnya Din.”

“Ini indah sekali. Tak ada kata yang bisa mewakili rasa saat sebentuk mimpi tak lagi hanya ada dalam imaji.”

“Aku bahagia jika kau menyukainya.”

“Walaupun, kau tak perlu melakukan ini Bram, sungguh.”

“Seharusnya aku melakukan ini sejak lama, saat kita masih…”

“Sudahlah Bram. Mari kita nikmati saja senja ini”

Aku menatap siluetmu dalam bayangan senja yang menjingga. Apakah kau tahu kau selalu secantik itu saat senja seperti ini, Andini? Aku mencoba menikmati nyanyian ombak yang diantarkan angin menyapa pasir, meraba kaki telanjangku, membuat tepi rokmu membasah. Mungkinkah ombak yang sama juga mampu menyentuh hatimu?

“Apakah maafku tak pernah bisa cukup bagimu, Andini?”

“Aku sudah lelah bertengkar denganmu Bram.

“Tapi Din…”

“Aku memaafkanmu. Dan harus berapa kali lagi aku ucapkan itu?”

“Baiklah…”

Aku merasa entah. Senja di Senggigi seharusnya tidak seperti ini. Kudengarkan lagi suara semesta di sekelilingku. Kenapa membuatku semakin sunyi? Kau masih ada di sisiku, tapi hingga kapan? Hidup tak akan pernah sama tanpamu, Din.

“Maafkan jika sikapku menyakitimu, Bram.”

“Tak mengapa, toh aku yang lebih dulu menyakitimu.”

“Aku tidak sedang membalas dendam atau sejenisnya.”

“Aku tahu Din.”

“Hanya saja, aku belum sanggup melupakannya.”

“Aku mengerti…”

Aku tahu, akulah yang menyakitimu dengan sangat. Dan aku pun mengerti, seberapa kali pun aku meminta maaf tidak akan pernah cukup menghapus perih yang telah kugores kuat di hatimu.

“Seandainya saja aku bisa memutar kembali waktu.” Desisku pelan, bergumam untuk diriku sendiri.

“Sayangnya itu tidak bisa ya Bram.” Ujarmu, juga pelan, seolah memang ditujukan untuk dirimu sendiri.

“Seandainya aku tak pernah melakukan kesalahan itu, dan tidak perlu menyakitimu seperti itu…”

“Aku sempat berpikir seperti itu juga Bram.”

“Benarkah?”

“Ya, seandainya saja kau tak mengkhianati setiaku…”

Senja yang jingga membuatku semakin merana. Apakah Senggigi tetap sudi menemaniku saat menyaksikanmu pergi?

“Aku tidak akan pernah mengulanginya lagi Din.”

“Sudahlah Bram. Yang sudah berlalu biarkan menjadi masa lalu.”

“Aku tahu aku salah. Aku menyadarinya, aku menyesalinya, aku masih dan selalu mencintaimu, aku…”

“Hentikan Bram!”

Aku membisu mematung. Menatapmu yang berjuang menahan tangis dalam sunyi, memandang rahangmu mengeras menguatkan hati. Sangat menyakitkan melihatmu tersakiti seperti itu olehku.

“Maafkan aku Din, untuk yang ke sekian kalinya…” kau menjawabnya dengan senyuman. Senyuman yang sepertinya akan kurindukan. Senyuman yang sepertinya tidak lagi menjadi milikku.

“Bram, kau lebih suka memandang pelangi, kenapa kau menemaniku menikmati senja kali ini?”

Aku hanya ingin bersamamu Din, dengan atau tanpa pelangi, senja atau bukan, aku tak lagi peduli. Dan apa maksud pertanyaanmu itu sebetulnya? Secepat itukah kau melupakan apa yang baru saja terjadi?

“Kau tidak suka aku menemanimu di sini?”

“Tidak. Hanya saja, seingatku kau tak pernah menyukai senja sebelumnya.”

“Aku berubah Din, seperti juga setiap individu yang pasti bermetamorfosa, begitu kan katamu dulu?”

“Ah…rupanya kau masih mengingatnya.” Lagi, kau tersenyum. Tapi aku rasa senyum itu untuk senja yang selalu kau cinta. Senyum itu terhenti saat sesosok mungil memelukmu dari belakang.

“Bundaaa….” Kau terkejut dan kemudian tertawa riang. Lantas sosok itu juga mendekatiku, untuk mendekapku dengan mesra. “Ayaaahhh…” Aku menciumnya takzim. Satu-satunya yang tersisa dari cinta kita, mungkinkah dia yang akan mewujudkan mimpiku untuk kembali padamu?

“Nak, beritahu Bunda. Kau lebih suka pelangi atau senja?” tanyamu pada sosok mungil itu, yang kini duduk di antara kita berdua, saat tangan kecilnya menggenggam tanganku, tangan yang lainnya memeluk lenganmu. Pertanyaanmu sungguh menyakiti hatiku. Apakah itu berarti tak ada lagi jalan bagiku untuk pulang padamu? Pada kita?

“Bunda, namaku ‘kan Langit, tempat di mana senja dan pelangi berada.” Ujarnya lucu. “Seperti Bunda, dan Ayah, yang akan selalu ada di diri aku. Iya ‘kanYah?” mata malaikat itu menatapku. “Aku tidak bisa memilih pelangi atau senja, karena aku adalah Langit.” Katamu lagi, lugu.

Kau mendekap Langit dengan air mata yang tak bisa lagi kau bendung, membuat Langit menatapmu tak mengerti, kemudian hanya merebahkan kepalanya ke dadamu.

“Bunda, Langit sayang Bunda.” Malaikat kecil tampan itu membelai lengan yang memelukmu lembut. “Ayah, Langit sayang Ayah.” matanya memandangku hening.

Perlahan aku memelukmu yang sedang memeluknya, mendekap kalian, untuk kemudian berdoa dalam sunyi, berharap senja ini hanyalah sepenggal episode dalam kehidupan kita bertiga. Dan akan selalu ada senja-senja lain yang bisa aku nikmati, bersamamu, bersama Langit, dengan atau tanpa pelangi.

Advertisement

Soto Koya

“Soto koya? Yang kayak gimana tuh?”

“Kamu ngga tau?”

“Ngga.”

“Enak lho.”

“Masa sih? Namanya ga keren gitu ah.”

“Keren?”

“Iya, ravioli, dimsum, raclette, sushi, poffertjes, lebih keren kan namanya?”

“Ah…nasionalismenya mana?”

“Hahahaha… aku suka juga makanan lokal kok, pecinta tahu gejrot sejati nih.”

“Hoh? Tahu gejrot? Emang enak?”

“Enaaaaakk, daripada soto koya.”

“Emang udah pernah nyicip soto koya?”

“Emang kamu udah pernah nyicip tahu gejrot?”

Kamu tertawa. Aku tertawa. Soto koya dan tahu gejrot pun ternyata bisa membuat kita bahagia. Apakah kamu tahu aku begitu bahagia menatap ekspresi tawamu itu? Apakah kamu menyadari hatiku menghangat saat mendengar tawamu yang renyah itu? Apakah kamu tahu…

“Heh, kok ngeliatin aku begitu banget sih?”

“Ga boleh ya?”

“Bayaaar.”

“Ish…komersil banget.”

“Biarin.”

“Kamu tahu ngga?”

“Ngga.”

“Euuh…makanya dengerin dulu.”

Kembali, aku tertawa, dan kemudian kamu pun tertawa, lantas semesta seolah ikut tertawa bersama kita.

“Apa? Terusin yang tadi, mau bilang apa?”

“Aku sukkka banget sama soto koya.”

“Kenapa?”

“Karena enak.”

“Selain itu?”

“Mmmm…ngga tau juga ya kenapa.”

“Kok aneh?”

“Aneh gimana?”

“Karena menurutku harus ada alasan untuk segala sesuatu.”

Ugh…rasanya aku tak punya alasan untuk menyukai soto koya, ataupun alasan untuk menyukaimu. Tapi tentu saja kau tidak akan mengerti.

“Hei, Bro. Tengkyu ya udah nemenin Maya gue.” Maya gue, oh crap.

“No problemo. Jadi kalian kencan ke mana malam ini?”

“Paling makan di manaa gituh.”

“Pastinya bukan makan soto koya.” Sahutmu kocak.

“Eh?Ada apa dengan soto koya?” Tanya Reza padamu.

“Ada deeeehh… rahasia kita ya Cal?” kedipmu padaku.

“Hah? Punya rahasia nih sama si Ical?”

Aku tertawa. Kamu tertawa. Reza –pacar sialanmu yang adalah sahabat baikku itu- tertawa. Tapi aku tetap tidak mengerti kenapa kamu lebih memilih Reza daripada soto koya. Ralat, daripada aku maksudku. Reza menggandeng tanganmu mesra, meninggalkan aku merana sendirian di kostan buluk ini.

Yeah, malam minggu selalu kelabu untuk jomblo sepertiku. Baiklah, aku akan mencari soto koya yang selalu mengerti aku.

 ***

*Note : 312 kata.

Ketagihan nge-FF, dengan judul request yumin yang entah kenapa rupanya ngidam soto koya hihihihi

Episode empat belas : Harapan

Rindang

Sekali lagi aku menikmati parasnya yang menawan. Aku tahu, tidak seharusnya aku begitu, tapi… Ah, sudahlah, hidup memang tak selalu berjalan seperti yang aku inginkan, bukan?

“Kak, ini undangan untuk Kak Den. Aku nikah minggu depan dengan Faridh..” Ucapku perlahan, bergetar tangan ini menyerahkan undangan berwarna emas itu. Semoga Kak Den tak melihat kegugupanku.

“Oh? Selamat ya Ndang!!” Pekiknya gembira, dan spontan memelukku. Duh, seandainya saja aku bisa merasakan pelukan kak Den yang seperti ini selamanya. Aku segera melepaskan diri dari pelukannya, dengan berat hati. Kesal hatiku membayangkan gadis jenius itu yang akan selalu Kak Den peluk.

“Kakak bisa datang kan?” Tanyaku penuh harap, walaupun aku tidak tahu kuatkah hatiku kelak melihatnya di hari pernikahanku. Dan dengan segera aku menyesali pertanyaanku itu saat dia mengangguk mantap dengan senyum yang pernah membuatku merindunya sepenuh jiwa. Sedetik yang lalu aku sungguh berharap dia tidak akan datang, ada acara atau apa lah.

“Faridh pria yang baik untukmu Ndang, aku yakin dia bisa membuatmu bahagia selalu.” Ujarnya tulus, “Berbahagialah dengannya Ndang..” ucapnya sekali lagi.

Ya, seharusnya aku bahagia, aku tahu Faridh memang lelaki yang baik untukku. Bukan dia, bukan Kak Den. Aku tersenyum, kini lebih tulus. Ya, aku akan berbahagia dengan Faridh. Seperti juga Kak Den akan bahagia bersama Dimi. Lagipula, bukankah aku sendiri yang harus memutuskan apakah aku bahagia atau tidak? Dengan atau tanpa Kak Den. Aku harus bahagia.

Semoga…

Bagas

Terlihat jelas di kepalaku kenangan itu. Dimi kecil yang berlari-lari mengejar layanganku yang terlepas. Berteriak-teriak kegirangan “Mas Bagaaaas, aku dapet niiih layangannya. Horreeee…” sorakan bahagia itu masih menggema di telingaku. Ah…gadis kecilku. Seandainya aku bisa segera tahu kau pun berharap akan cintaku waktu itu, mungkin dulu kita sempat..

“Pak Lik mengerti Gas, dan tidak perlu merasa bersalah seperti itu,” Tangan Ayah-nya Dimi menepuk pundakku perlahan, menghentikanku bernostalgia tentang Dimi. Mengembalikan diriku ke detik ini, saat dimana aku harus memilih.

“Saya mencintai Dimi Pak Lik, sungguh..” Lelaki setengah baya itu tersenyum, getir. “Tapi…” Aku tak kuasa mengucapkan kalimat itu hingga titik. Bisa aku dengar tarikan nafas berat lelaki separuh baya di sebelahku.

“Tak usah kau teruskan Gas. Jika Pak Lik ada di posisimu, mungkin Pak Lik juga akan melakukan hal yang sama,” ucapnya pelan. Aku terdiam tak setuju, tapi juga tetap tak bisa menyangkal. Aku mencintai Dimi, tapi sepertinya cintaku tidak sebesar aku mencintai diriku sendiri. Egois kah aku? Mungkin memang begitu. Entahlah..

“Maafkan Bagas Pak Lik…” akhirnya aku bisa mengucapkan kalimat itu. “Seandainya saja….” aku tetap tak sanggup menyelesaikan kalimatku, mengutuki diriku sendiri yang pengecut.

“Pergilah, Gas… Dimi akan mengerti,” Lelaki separuh baya itu tersenyum, seolah ingin menguatkanku. Dan aku merasa menjadi seorang pecundang sejati. Meninggalkan gadis yang kucintai seperti itu, hanya karena dia… “Terima kasih sudah pernah mencintai Dimi, Gas..” pikiranku kembali terhenti mendengar suara itu. Dan aku semakin merasa sangat bersalah.

“Baiklah Pak Lik, saya pergi..” Akhirnya aku mengalah pada egoku, meninggalkan Dimi -gadis kecil yang sejak lama aku cintai- saat seharusnya aku berada di sisinya, menguatkannya, mendoakannya. Karena aku memilih mengejar mimpiku sendiri, dan Dimi tak bisa menemaniku dengan keadaannya sekarang. Semoga, Dimi tidak mengingatku sebagai seorang yang kejam seperti ini.

Aku meninggalkan rumah sederhana itu dalam rasa yang entah.

Denova

Mami, bang Damian, kak Diana, bahkan ayahnya Dimi menganggapku gila. Tapi katanya, kalau tidak gila maka itu bukan cinta, iya kan? Dan aku mencintai Dimi. Titik.

Aku tahu mas Bagas menyerah. Aku tidak menyalahkan dia, aku hanya tahu bahwa cintanya pada Dimi tak sebesar cintaku. Entah aku harus merasa senang atau kecewa akan kenyataan itu. Dimi melukis burung cenderawasih yang indah itu untuknya, mencintainya dalam diam sekian lama, dan kemudian balasan dia untuk Dimi adalah meninggalkannya begitu saja? Tapi setidaknya sekarang Dimi milikku sendiri.

“Den, mau Abang jemput jam berapa nanti?” Bang Damian mencolek bahuku, lalu tersenyum jahil melihatku melamun. Aku tahu, walaupun dia menganggap keputusanku gila, dia akan tetap mendukungku, apalagi Dimi adalah mantan bosnya dulu. Bahkan sekarang dia yang melanjutkan penelitian-penelitian penting itu. Bang Dam berambisi menyelesaikan penelitian itu sebaik-baiknya. Demi Dimi, begitu katanya.

“Ga usah Bang, nanti Den naik metromini aja,” jawabku, “atau naik taksi” ralatku cepat, sebelum bang Dam meledekku lagi. Masa iya sih penulis novel best seller masih naik metromini? Begitu ejeknya tempo hari. Bang Dam tidak tahu, justru naik metromini membuatku memiliki banyak ide untuk aku tuliskan menjadi novel.

“Salam untuk Dimi ya Den,” Ujar bang Dam akhirnya, sesaat setelah menurunkan aku di halte, lantas melambaikan tangan memacu mobilnya menjauh. Aku hanya mengangguk diam, berpikir mungkin kah salam itu aku sampaikan pada Dimi?

Ah, halte kenangan ini. Memoriku kembali ke tahun-tahun yang indah itu, saat aku berjumpa Dimi pertama kali, momen kebersamaan kami yang singkat tapi berkesan, dan membuatku jatuh cinta padanya tanpa aku sadari. Aku harus mengajak Dimi ke sini besok-besok. Kenangan seindah itu pasti akan terpatri juga di ingatannya, kan?

Rumah itu sepi, seperti biasanya. Aku bisa keluar masuk sesuka hatiku di rumah ini sejak Dimi pulang. Ayahnya Dimi memberiku semua kunci, bahkan menyiapkan sebuah kamar di atas untukku jika aku ingin menginap. Aku bisa mendengar Dimi dan Bi Asih sedang bercengkrama di taman belakang saat kupandangi lagi deretan piala dan plakat di ruang tamu itu. Dimitri Evarelia, gadis jenius yang memikat hatiku.

Aku memandang Bi Asih dan Dimi dari kejauhan, tepatnya mematung bersandar di pintu belakang yang menuju ke taman kecil nan asri itu. Masih seperti dulu, Dimi suka sekali memain-mainkan ujung rambut ikalnya, menatap satu per satu foto yang bertebaran di pangkuannya, dan serius berpikir. Tersenyum aku melihatnya.

Tahun-tahun berlalu, dan aku merasa tetap kagum padanya. Gadis jenius yang misterius itu telah mematahkan logikaku. Aku akan mencintainya, selalu, selamanya.

Semoga Dimi pun merasakan cinta yang sama, walaupun kini dia telah jauh berbeda. Tapi bagiku, dialah bidadari yang akan kupilih menemaniku di surga kelak.

Dimitri

“Bi, ini siapa?” Tanyaku pada Bi Asih yang membawakanku secangkir susu coklat.

“Itu mas Bagas neng, dulu neng Dimi sering main layangan sama dia,” kulihat Bi Asih menyusut ujung matanya dengan serbet yang tersampir di pundaknya, “waktu kecil dulu. Neng ga ingat ya?” Aku menggeleng lemah. Menatap foto seorang anak lelaki tinggi dengan anak perempuan kecil berambut ikal yang membawa sebuah layangan. Kata Bi Asih anak perempuan kecil itu aku.

“Kalo ini siapa Bi?” Tanyaku lagi menunjukkan sebuah foto wanita cantik bermata indah. Dan lagi-lagi kulihat Bi Asih menggigit bibirnya menahan tangis.

“Itu Ibunya neng Dimi…” kali ini Bi Asih memijat-mijat bahuku lembut, aku tahu dia hanya bersembunyi dariku, tak ingin aku tahu dia sebetulnya menangis.

“Ibu?” Tanyaku kosong.

“Bibi juga tidak tahu, ibunya neng Dini meninggal, waktu melahirkan neng Dimi dulu…” Jelas Bi Asih tanpa kuminta. Aku mencerna informasi itu dalam diam.

“Hai Dim, sudah diminum obatnya?” Sapa lelaki tampan itu dan kemudian mencium keningku lembut. Denova. Tak ada satu lembar pun fotonya di pangkuanku. Tapi lelaki itu yang selalu menemaniku. Dari pagi hingga siang, atau dari siang menuju senja, atau dari sore hingga malam menjemput, atau sehari semalam penuh. Dan tetap saja, aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Yang aku tahu, aku merasa bahagia saat dia ada.

“Sudah mas, tadi Bibi sudah minta neng Dimi minum obat,” Bi Asih yang menjawab, “Permisi mas, neng Dimi, Bibi ke dalam dulu, mau cuci baju” pamit Bi Asih, dan cepat berlalu tanpa menunggu aku atau lelaki itu menjawabnya.

“Den, siapa kamu?” Tanyaku ragu setelah jeda yang sunyi. Aku tahu lelaki itu bernama Denova. Aku tahu dia adik bang Damian, yang katanya dulu pernah menjadi asistenku. Aku tahu Den mencintaiku, begitu yang Bi Asih bilang padaku. Tapi, ‘siapa’ dia sesungguhnya?

Lelaki itu tersenyum, senyum yang entah kenapa menenangkanku. Mungkin seharusnya aku tak perlu bertanya. Dia pasti seseorang di masa laluku, seperti Ayah, seperti Bi Asih, seperti mas Bagas, seperti semua orang yang ada di foto itu, dan tetap aku tak bisa mengenalinya, aku tidak mengingat secuil informasi pun dari mereka. Argh, kenapa aku tidak langsung mati saja di kecelakaan sialan itu? Bukankah itu lebih baik daripada hidup tanpa kaki kanan yang tak berfungsi, dan ingatan yang menghilang seperti ini???

“Dim, jangan berhenti berharap,” lelaki itu kini memelukku hangat, membelai kepalaku lembut, membuatku menangis entah karena apa. “Suatu hari nanti kaki itu akan kembali bisa berlari mengejar layang-layang, suatu hari nanti kau akan mengingat semua hal yang pernah kau ingat”. Aku merasa damai di pelukannya, tangannya sibuk menghapus air mataku.

“Tapi Den…” pelukan lelaki itu semakin erat. Aku tidak tahu apakah dulu aku mencintai lelaki ini atau tidak, tapi aku tidak keberatan mencintainya mulai detik ini, hingga selamanya mungkin? Tiba-tiba saja aku merasa begitu hidup. Mungkin tak apa-apa aku hidup di atas kursi roda selamanya, mungkin tak apa-apa juga aku tak bisa mengingat satu pun memori di otakku, asalkan ada dia, Den, lelaki yang -sepertinya- aku cintai. Hei, apakah ini berarti dulu pun aku mencintainya?

“Kita nikmati saja senja yang syahdu ini ya Dim,” bisiknya di telingaku sendu. Aku menjawabnya dengan menyandarkan kepalaku di dadanya. Berharap senja tak segera hilang ditelan malam, menikmati setiap detikku dengan Den, lelaki yang sepertinya telah mengisi semua memori otakku.

***

“Cerita ini diikutkan Giveaway Suka-suka Dunia Pagi-nya Amela :)”

Belajar Menulis Fiksi

Entah di tulisan yang mana, ada sahabat yang berkomentar kurang lebih “Balik lagi ke sini belum ada postingan baru” di postingan tersebut. Bu Irma sang Bintang Timur pun pernah 3 kali berkomentar di postingan yang sama karena saya belum juga up date. Dan yang terbaru, adalah komen Mamin berikut :

Duh terharu deh, ternyata ada yaa yang menunggu-nunggu saya updet nulis, uhuk. Terima kasih banyak ya Temans 😉

Sebetulnya saat wiken saya memang jarang ber-internet ria di rumah, alasannya basi sih, mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju-menyeterika-mengepel dan sebagainya dan seterusnya itu, dan atau sibuk berleyeh-leyeh di hari libur. Tapi wiken yang baru saja berlalu sedikit berbeda, karena saya memiliki aktivitas yang sama sekali baru (belum pernah saya lakukan sebelumnya), dan kegiatan itu -walaupun sangat melelahkan- begitu menyenangkan bagi saya.

Aktivitas apa sih? Begini ceritanya.

Entah kapan, saya membaca sebuah pengumuman tentang diadakannya -semacam- pelatihan menulis di Facebook. Syarat untuk mendaftarkan diri hanyalah dengan mengirimkan sebuah cerpen fiksi ke sana. Maka pada tanggal 7 Oktober, terkirimlah cerpen saya yang berjudul Lelaki dalam Cermin itu. Kenapa si cerpen itu yang saya kirimkan? Tidak ada alasan khusus, hanya memang cerpen itu belum pernah saya coba kirimkan ke media, saat beberapa lainnya sempat saya kirim dan berakhir entah dimana he he.

Ekspektasi saya memang nothing to lose, trigger terbesar saya melakukan hal tersebut murni karena ingin mencoba hal-hal yang baru. Ndilalah, rupanya cerpen saya itu terpilih sebagai salah satu pemenang, dan berhak menjadi peserta Kelas Creative Writing gratis bersama Maggie Tiojakin bersama 4 orang pendaftar lainnya. Wah??

Sejujurnya, saya tidak tahu siapa itu Maggie Tiojakin sebelumnya. Saat mengetahui saya merupakan salah satu pemenang, barulah saya tanya pada mbah Gugel siapa itu Maggie dan ada apa dengan Fiksi Lotus? Jawaban yang saya terima cukup mencengangkan, karena Maggie rupanya  seorang penulis ‘besar’, dalam arti sebenarnya dan definisi konotatifnya *hehehe…sorry lho Mag, becanda* hihihihi.

Singkat cerita, untuk pertama kalinya, saya belajar menulis teman-teman! Yipppiiieee…

Saya belum pernah belajar bagaimana cara atau teknis menulis, untuk artikel biasa sekalipun, jadi terbayang kan betapa sulitnya saya tiba-tiba harus belajar menulis fiksi??? Aseli membuat saya berkeringat dingin dan mulas :p

Hmmm…belum banyak yang bisa saya ceritakan tentang pelatihan itu, karena ternyata banyak sekali hal-hal baru yang saya pelajari, yang belum pernah saya ketahui sebelumnya, kepala saya -literally- sangat penuh! Tapi itu sangat sangat sangat menyenangkan. Sekaligus juga mendebarkan, karena ternyata menulis -yang sebelumnya saya anggap ‘biasa’ saja- memiliki tanggung jawab, nilai, bahkan kekuatan besar yang tak terlihat. Ehem, berlebihan sepertinya ya, tapi setidaknya demikianlah yang sedang saya rasakan.

Semoga di kemudian hari saya bisa menulis -terutama fiksi- lebih baik lagi. Wish me luck Pals 😉

Have a great Monday^^

First Love ~ Allysa

Deg. Cewek itu duduk di sana, di bangku yang sama tempat gua dan Alice sering duduk dulu, saat kita masih TK. Perlahan gua dekati, aroma shampo yang sama menguar di udara hingga hidung gua pun tidak bisa tidak bernostalgia ke masa lalu. Alice kah dia?

“Sorry… gua Keven. Lo kan yang tadi ngabarin gua Cia ga bisa dateng?” Ya, gua ke situ karena cewek itu -yang gua belum tau siapa- kirim sms ke gua, bilang kalau Cia tidak bisa datang, dan dia yang akan mewakili Cia untuk bertemu gua. Satu-satunya identitas si pengirim sms adalah inisial huruf “AW”. Well, aneh memang, karena AW adalah inisial Cia, namanya kan Alicia Wijaya. Tapi ya entah kenapa juga gua malah meng-iya-kan. Lagipula gua pikir, darimana dia tau nomor hape gua kalau bukan dari Cia, iya kan? Mungkin cewek ini temennya Cia di Aussie sana.

Eniwey, gua sudah tidak sabar ingin tahu kenapa Cia tidak jadi datang. Padahal gua ingin secepatnya bilang kalau gua juga sayang sama dia, cinta sama dia, jawaban yang mungkin dia tunggu-tunggu. Memberanikan diri, gua duduk di samping si cewek.

“Hai Kev, namaku Allysa. Kamu bisa panggil aku Al.” Cewek itu menoleh sedikit.

“Oh… Hai Al. Errr… jadi…” Gua sungkan bertanya to the point mengenai Cia. Dan Al ini pun entah bagaimana mengingatkan gua pada Cia. Baiklah gua akui, gadis ini tidak hanya mengingatkan gua pada Cia, tapi juga Alice!

“Cia tidak bisa datang.” Ucapnya pelan. Sekali lagi angin berhembus perlahan, mengibarkan rambut panjang Al, yang menguarkan wangi shampo Alice.

“Kenapa?” Tanya gua singkat.

Dan jeda yang cukup lama. Al merubah posisi duduknya, menghembuskan nafas panjang. Gua terpaku terdiam menanti sesuatu yang entah apa.

“Apakah kamu mencintai Cia, Kev?” Pertanyaan yang tidak gua duga.

“Emangnya kenapa Al?”

“Atau kamu masih mencintai Alice si cinta pertama kamu itu?” Tanya Al lagi sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan gua sebelumnya. Kalau Allysa ini temannya Cia, kenapa dia bisa tahu soal Alice segala? Sebegitu dekatkah persahabatan Cia dan Al sehingga cerita soal Alice ini pun diketahuinya?

“Alice dan Cia sama-sama menderita karenamu Al.”

“Hah? Maksud lo, Al?”

“Aku yang menyuruh Alice untuk ikut orang tuanya ke Aussie agar dia bisa jauh dari kamu. Setelah beberapa lama, akhirnya bisa juga dia melupakanmu. Aku sungguh bergembira. Tapi kemudian justru Cia membiarkan dirinya ditemukan olehmu. Mengulangi kesalahan yang sama, mencintai seorang Keven. Perjuanganku menjadi sia-sia belaka.” Kata-kata itu mengalir cepat dan penuh emosi. Al seperti bicara pada dirinya sendiri. Tapi gua bisa melihat dengan amat sangat jelas, Al marah. Dan gua-lah sumber kemarahan dia.

“Sorry Al, gua ga ngerti. Lo kenal juga sama Alice? Gua bingung, bagaimana bisa lo kenal mereka berdua?”

“Karena aku, Alice, dan Cia adalah satu orang yang sama Kev!” Jawabnya cepat. Lantas berdiri untuk kemudian menatap gua dalam amarah dan kebencian.

Hah???? Hawa dingin Bandung di sore hari biasanya tidak pernah membuat gua menggigil seperti ini. Gua shock.

“Ma….maksud lo…  lo… Alice… Cia…”

“Kamu pernah dengar Shirley Ardell Mason? Lebih dikenal dengan nama Sybil, seorang wanita dengan 16 kepribadian.” Gua yakin saat ini muka gua sudah sepucat mayat. Ini bukan cerita novel kan? Ini hidup gua kan? Alice Wijaya. Alicia Wijaya, dan gua yakin betul inisial AW yang Al tulis di sms tadi pagi itu merupakan singkatan Allysa Wijaya. Oh crap.

“Atau kamu lebih mengenal si Billy alias William Stanley Milligan, Kev? Yeah…dia memang lebih hebat. Lelaki itu memiliki 24 kepribadian dalam dirinya.” Ya Tuhaaan…apa yang sebetulnya sedang terjadi? Gua ga percaya ini. Gua berharap gua cuma sedang bermimpi buruk dan akan segera terbangun.

Gua akui, duduk diam di hadapan seorang wanita yang dipenuhi amarah sangatlah menakutkan. Tapi fakta yang sedang dijelaskan Al ke gua sekarang ini jauh lebih menyeramkan. Gua akhirnya bisa mengingat dengan jelas foto yang Cia kirimkan ke gua dulu, dia mirip Alice, entah apanya. Walaupun saat itu gua yakin mereka berdua adalah dua manusia yang berbeda satu sama lain. Dan sekarang, saat gua seolah terhipnotis di depan Allysa, melihat mukanya yang sedang murka gua juga merasa dia mirip dengan Alice, dan Cia sekaligus.

Tapi, gua menyadari satu hal, bahwa Alice, Cia, dan Al memang berbeda. Alica dan Cia memanggil gua dengan sebutan ‘Ven’, bukan ‘Kev’ seperti Al. Alice dan Cia juga selalu ber gua-elo saat kami berkomunikasi, tapi Al ber-aku kamu, sangat formal. Alice dan Cia cantik feminin, sepertinya Al cenderung maskulin. Alice selalu ceria, Cia sangat manis, sementara Al…

“Kev, dengarkan aku. Kamu tidak perlu membanding-bandingkan aku dengan Alice ataupun Cia!!!” Hah? Gua seperti maling jemuran yang kepergok si tuan rumah. Al berbisik, tapi suara pelan penuh tekanan itu justru membuat jantung gua berdenyut lebih cepat.

“Al…” Gua ingin berdiri menyamakan posisi dengan Al yang dengan gagahnya menjulang di depan gua. Tapi kaki gua seolah tertanam ke tanah, tenaga gua lenyap mengasap, bahkan lidah dan mulut gua enggan bersuara. Bagaimana caranya gua mengkonfirmasi asumsi gua tentang Alice-Cia-Al?

“Iya, dugaan kamu benar Kev.” Duh, apakah Al memang bisa membaca pikiran gua?

“Jadi elo…”

“Ya. Alter ego, the other I, kepribadian ganda, multiple personality disorder, apalah…terserah kamu menyebutnya apa Kev.”

“Kenapa?” Karena setahu gua Sybil begitu akibat penganiayaan ibunya sejak kecil, begitu juga Billy yang selalu disiksa ayah tirinya. Tapi kenapa Alice-Cia-Al begitu? Apa pemicunya??

“Kamu tidak pernah betul-betul memahami kami Kev…” suara Al melunak, “Tapi aku tidak perlu menjelaskannya padamu.”kini suara itu kembali dipenuhi amarah, “Aku tidak ingin jatuh cinta, pada siapa pun. Aku tidak akan membiarkan Alice atau Cia untuk jatuh cinta. Aku tidak ingin kecewa, sakit hati, atau berduka karena mencintai. Aku benci kamu Kev!”

“Tapi Al…” gua menelan ludah dengan susah payah. Al mulai menangis. Bukan…bukan menangis, gua hanya melihat ada air mata di pipinya, dia tidak sedang menangis, hanya meneteskan air mata. Apa yang harus gua katakan padanya? Gua dulu pernah mencintai Alice dengan sepenuh hati. Dan sebelum kesini gua akui gua telah jatuh cinta pada Cia. Tapi mungkinkah gua bisa mencintai mereka berdua? Ralat, mereka bertiga sekaligus??

“Aku tidak ingin melakukan ini Kev, tapi aku harus. Demi Alice. Demi Cia. Demi diriku sendiri. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Semoga kamu berbahagia Kev.” Entah kapan pistol itu ada di tangan Allysa. Gua hanya merasakan moncongnya menempel keras di kening gua beberapa saat.

Dan kemudian panas menghampiri.

Lantas gelap.

Lalu dingin.

Dan hening.

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba “First Love ~ Create Your Own Ending” yg diadakan oleh Emotional Flutter dan Sequin Sakura

Puisi Teka Teki

Hidup itu seperti teka teki
begitu katamu selalu

Kenapa? tanyaku suatu hari
lantas kau menjawabnya panjang lebar

Karena hidup seperti menebak makna,
padahal hanya sedikit petunjuk yang kau terima
maka saat itulah ke-manusia-anmu diuji
sanggupkah mengurai arti dari sebuah pertanda

Karena hidup tidak melulu mendatar dan atau selalu menurun
tetapi saling bersinggungan, berpapasan, terkadang bersisian
itu artinya kau tak bisa salah menebak langkah
pilihan yang keliru akan menutup jalanmu yang lain
walaupun tetap akan ada jalan baru yang berbeda
Tuhan memang Maha Pemurah bukan?

Karena hidup begitu indah
membuatmu berpikir, termenung, sekaligus terhibur
kau bisa bertanya jika kau tak tahu
bahkan kau bisa meminta jika kau mau

Jawabanmu membuatku terpaku
tapi aku tidak suka teka teki, ratapku
Apakah kau menyukai hidup? tanyamu
aku menggangguk dalam diam

Lantas kau tersenyum dan berbisik lembut
“Tak mengapa, karena kau adalah teka teki-ku, dan aku menyukaimu”

Dan kau adalah hidup-ku, begitu bisikku padamu syahdu

***

Puisi yang aneh ya hihihi…

Well, yang penting ikut memeriahkan acara teki teki berhadiah novel-nya mba Fanny.  Semoga berkenan ya mba 😉

Sebuah Doa Sunyi

Di suatu senja yang muram.

“Kenapa kau termenung begitu kawan?”

“Aku merasa sedih…”

“Sedih? Karena senja yang muram ini kah?”

“Tidak, aku selalu menjadi pecinta senja. Tidakkah kau tahu banyak keajaiban terjadi saat malam belum benar-benar datang sementara siang sudah hampir menghilang?”

“Ya, dan kau sudah menceritakan kisah ajaib itu padaku, entah berapa ratus kali, aku tak ingin mendengarnya lagi. Setidaknya tidak sekarang.”

Jeda yang membingungkan.

“Jadi, apa yang membuatmu sedih.”

“Bumi yang kita pijak ini penuh darah dan air mata. Udara yang kita hirup dengan bebas ini dulu beraroma kematian. Kau tentu tahu itu bukan?”

“Ya, aku menjadi satu dari sekian banyak saksi saat itu terjadi. Tapi apa hubungannya dengan kesedihanmu?”

“Tidakkah kau sadari tak ada lagi yang peduli akan perjuangan dan pengorbanan itu?”

“Maksudmu? Bukankah mereka itu masih upacara bendera saat 17 Agustus? Hari pahlawan masih diperingati setiap tanggal 10 Nopember, kau juga pasti tahu ada patung Jenderal Sudirman yang sangat besar di jalan sana kan?”

“Ah…itu cara yang sangat dangkal. Kosong. Tidak ada esensinya.”

“Aku masih tidak mengerti.”

“Kau lihat para pejabat di gedung megah itu? Mereka menodai perjuangan sekian ribu nyawa untuk kemerdekaan bangsa ini dengan korupsi, korupsi, dan korupsi!!!”

“Hmm…”

“Lihat mereka, para pemuda di jalanan itu. Kakek-nenek mereka dulu mungkin terpisah karena perang, menderita berbulan-bulan kekurangan makan, harus berjuang dengan fasilitas seadanya, untuk kemudian gugur dan dimakamkan tanpa nisan. Tapi apa yang mereka lakukan sebagai balasan untuk itu semua? Dugem? Narkoba? Hidup yang hedonis? Tak berguna!”

“Hei…kenapa se-apatis itu kawan? Tidak semuanya begitu lho.”

“Oh ya???”

“Lihat anak kecil itu, dia menghiasi sepeda roda tiganya dengan bendera merah putih dari kertas, bahkan dia memakai kaos berlambang burung Garuda. Bagimu mungkin terlihat sebagai simbol belaka, tapi bukankah dia diajarkan untuk segera paham bahwa Sang Saka dan Garuda itu yang harus dia bela kelak?”

“Hmm…”

“Lihat sekumpulan anak muda itu. Mereka tidak hanya bisa berdemo membawa spanduk dan berteriak-teriak dengan toa ke sana ke mari, tetapi mereka juga berkarya, juara olimpiade Fisika mengalahkan negara-negara lain, berhasil membuat robot canggih, bahkan menjadi enterpreneur yang mampu membuka lapangan kerja. Tidakkah itu bisa diartikan mereka selalu mencintai tanah kelahirannya?”

“Maafkan, sepertinya aku telah memakai kacamata kuda yang salah, memandang semuanya sama belaka, padahal selalu ada yang berbeda di setiap masa.”

“Tak mengapa teman, karena aku juga melihatnya. Banyak sekali kebobrokan di sana sini. Tak akan cukup waktu kita memperbincangkannya, bahkan hingga senja kembali menjelang esok hari,karena  daftarnya terlalu panjang.”

“Betul kawan, tak berguna juga mengeluh dan memaki sepertiku tadi. Tapi apa yang bisa kita lakukan?”

“Berdoa, kita selalu bisa berdoa. Untuk kemerdekaan tanah yang kita pijak ini, untuk kebebasan udara yang kita hirup ini. Doa sederhana yang tulus akan didengarNYA.”

“Tapi aku hanyalah sebatang pohon tua, dan kau hanyalah seekor burung pipit yang juga renta. Akankah Tuhan mendengar doa kita berdua?”

“Kenapa tidak? Bukankah kita pun adalah makhukNYA? Doa sunyi kita mungkin tak terdengar mereka, tapi Tuhan Yang Maha akan selalu mengerti.”

“Kau benar! Mari kita berdoa untuk INDONESIA yang lebih baik.”

“Aamiin…”

Gemintang berkerlip, rembulan muncul perlahan, malam datang dengan sempurna.

***

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan oleh Trio Mba Nia, Teh Lidya, Pakde Abdul Cholik.

Sponsored By :