Halo, ini masih saya, yang tentu saja masih berada di Jakarta bagian Cakung saat ini *halah*. Pusing binti pening untuk persiapan besok, mengantar saya untuk berimajinasi, mencoba berkhayal menikmati Senggigi yang belum pernah saya pijak, tapi entah kenapa semakin menguat dalam imaji saya. Dan sekali lagi saya membuktikan, betapa menulis selalu bisa menjadi wisata hati bagi seorang saya.
Haiyaaa…kelamaan. Sok silahkan dinikmati. Ini ceritanya coba-coba ikutan proyek27, bukan FF jadi agak panjang (710 kata), kalau sedang sibuk mah skip ajah, tidak terlalu penting kok hihihihi.
Bagi yang ingin tahu info-nya dan atau berminat ikutan, sila cek di sini ya 😉
***
Menikmati senja di Senggigi adalah mimpiku yang sempurna, begitu katamu dulu padaku. Dan kini, saat mimpi itu mewujud di pangkuanmu, bolehkah aku bermimpi kau akan memaafkanku, Andini?
“Terima kasih sudah memaksaku ke sini Bram.”
“Sudah seharusnya Din.”
“Ini indah sekali. Tak ada kata yang bisa mewakili rasa saat sebentuk mimpi tak lagi hanya ada dalam imaji.”
“Aku bahagia jika kau menyukainya.”
“Walaupun, kau tak perlu melakukan ini Bram, sungguh.”
“Seharusnya aku melakukan ini sejak lama, saat kita masih…”
“Sudahlah Bram. Mari kita nikmati saja senja ini”
Aku menatap siluetmu dalam bayangan senja yang menjingga. Apakah kau tahu kau selalu secantik itu saat senja seperti ini, Andini? Aku mencoba menikmati nyanyian ombak yang diantarkan angin menyapa pasir, meraba kaki telanjangku, membuat tepi rokmu membasah. Mungkinkah ombak yang sama juga mampu menyentuh hatimu?
“Apakah maafku tak pernah bisa cukup bagimu, Andini?”
“Aku sudah lelah bertengkar denganmu Bram.
“Tapi Din…”
“Aku memaafkanmu. Dan harus berapa kali lagi aku ucapkan itu?”
“Baiklah…”
Aku merasa entah. Senja di Senggigi seharusnya tidak seperti ini. Kudengarkan lagi suara semesta di sekelilingku. Kenapa membuatku semakin sunyi? Kau masih ada di sisiku, tapi hingga kapan? Hidup tak akan pernah sama tanpamu, Din.
“Maafkan jika sikapku menyakitimu, Bram.”
“Tak mengapa, toh aku yang lebih dulu menyakitimu.”
“Aku tidak sedang membalas dendam atau sejenisnya.”
“Aku tahu Din.”
“Hanya saja, aku belum sanggup melupakannya.”
“Aku mengerti…”
Aku tahu, akulah yang menyakitimu dengan sangat. Dan aku pun mengerti, seberapa kali pun aku meminta maaf tidak akan pernah cukup menghapus perih yang telah kugores kuat di hatimu.
“Seandainya saja aku bisa memutar kembali waktu.” Desisku pelan, bergumam untuk diriku sendiri.
“Sayangnya itu tidak bisa ya Bram.” Ujarmu, juga pelan, seolah memang ditujukan untuk dirimu sendiri.
“Seandainya aku tak pernah melakukan kesalahan itu, dan tidak perlu menyakitimu seperti itu…”
“Aku sempat berpikir seperti itu juga Bram.”
“Benarkah?”
“Ya, seandainya saja kau tak mengkhianati setiaku…”
Senja yang jingga membuatku semakin merana. Apakah Senggigi tetap sudi menemaniku saat menyaksikanmu pergi?
“Aku tidak akan pernah mengulanginya lagi Din.”
“Sudahlah Bram. Yang sudah berlalu biarkan menjadi masa lalu.”
“Aku tahu aku salah. Aku menyadarinya, aku menyesalinya, aku masih dan selalu mencintaimu, aku…”
“Hentikan Bram!”
Aku membisu mematung. Menatapmu yang berjuang menahan tangis dalam sunyi, memandang rahangmu mengeras menguatkan hati. Sangat menyakitkan melihatmu tersakiti seperti itu olehku.
“Maafkan aku Din, untuk yang ke sekian kalinya…” kau menjawabnya dengan senyuman. Senyuman yang sepertinya akan kurindukan. Senyuman yang sepertinya tidak lagi menjadi milikku.
“Bram, kau lebih suka memandang pelangi, kenapa kau menemaniku menikmati senja kali ini?”
Aku hanya ingin bersamamu Din, dengan atau tanpa pelangi, senja atau bukan, aku tak lagi peduli. Dan apa maksud pertanyaanmu itu sebetulnya? Secepat itukah kau melupakan apa yang baru saja terjadi?
“Kau tidak suka aku menemanimu di sini?”
“Tidak. Hanya saja, seingatku kau tak pernah menyukai senja sebelumnya.”
“Aku berubah Din, seperti juga setiap individu yang pasti bermetamorfosa, begitu kan katamu dulu?”
“Ah…rupanya kau masih mengingatnya.” Lagi, kau tersenyum. Tapi aku rasa senyum itu untuk senja yang selalu kau cinta. Senyum itu terhenti saat sesosok mungil memelukmu dari belakang.
“Bundaaa….” Kau terkejut dan kemudian tertawa riang. Lantas sosok itu juga mendekatiku, untuk mendekapku dengan mesra. “Ayaaahhh…” Aku menciumnya takzim. Satu-satunya yang tersisa dari cinta kita, mungkinkah dia yang akan mewujudkan mimpiku untuk kembali padamu?
“Nak, beritahu Bunda. Kau lebih suka pelangi atau senja?” tanyamu pada sosok mungil itu, yang kini duduk di antara kita berdua, saat tangan kecilnya menggenggam tanganku, tangan yang lainnya memeluk lenganmu. Pertanyaanmu sungguh menyakiti hatiku. Apakah itu berarti tak ada lagi jalan bagiku untuk pulang padamu? Pada kita?
“Bunda, namaku ‘kan Langit, tempat di mana senja dan pelangi berada.” Ujarnya lucu. “Seperti Bunda, dan Ayah, yang akan selalu ada di diri aku. Iya ‘kanYah?” mata malaikat itu menatapku. “Aku tidak bisa memilih pelangi atau senja, karena aku adalah Langit.” Katamu lagi, lugu.
Kau mendekap Langit dengan air mata yang tak bisa lagi kau bendung, membuat Langit menatapmu tak mengerti, kemudian hanya merebahkan kepalanya ke dadamu.
“Bunda, Langit sayang Bunda.” Malaikat kecil tampan itu membelai lengan yang memelukmu lembut. “Ayah, Langit sayang Ayah.” matanya memandangku hening.
Perlahan aku memelukmu yang sedang memeluknya, mendekap kalian, untuk kemudian berdoa dalam sunyi, berharap senja ini hanyalah sepenggal episode dalam kehidupan kita bertiga. Dan akan selalu ada senja-senja lain yang bisa aku nikmati, bersamamu, bersama Langit, dengan atau tanpa pelangi.