Photo Challenge: Careful

Biasanya sih silent post, tapi saya ingin sedikit cerewet di postingan kali ini hehehe.

Kedua foto diambil di Tanjung Benoa Mei 2011 lalu, saat saya, AM, dan teman-teman seperjalanan ngebolang ke Bali, dan mencoba berparasailing ria dia sana. Olahraga yang menantang ini harus ekstra hati-hati memang, pengamanannya berulang kali dicek, dan harus oleh para profesional ya. Kebayang lah itu kalau sampai talinya lepas karena belum terkunci sempurna, misalnya.

IMG_3621

orin

Gambar pertama saya yang memotret, lupa deh siapa, entah pak suami atau teman seperjalanan. Foto kedua adalah saya saat ‘lepas landas’, ditarik oleh speedboat dari pantai sana untuk kemudian ‘terbang’. Serem? Iyaaaaaa, serem pake banget hahahaha.

Tapi kemudian setelah di atas, terbiasa dengan ketinggian yang sebelumnya membuat lutut gemeteran dan jantung hampir melompat, ternyata bisikan hati saya saat itu adalah “kenapa nggak boleh bawa kamera sih? kan bagus banget view-nya dari atas sini?!” hahahahaha :P.

Jadi inti postingan ini apa. Rin? Errrr…nggak ada sih *plaaak* hihihihi.

Maksud saya nih, berhati-hati itu memang perlu, harus malah. Tapi terkadang terlalu berhati-hati juga membuat kita diam di tempat, nggak ke mana-mana, nggak nyobain apa-apa. Iya nggak, sih? Well, setidaknya menurut saya sih begitu ya.

Ada yang udah pernah nyobain parasailing juga kah? 🙂

Advertisement

Day#12 Memori Tentangmu

Cerita sebelumnya, day#11

***

Negeriku ini memang sangat elok rupawan. Sebuah pura -yang notabene adalah tempat untuk beribadah umat Hindu- pun sangat menarik dan cantik seperti ini. Bangga rasanya aku jadi orang Indonesia. Tapi Indonesia bangga tidak ya memiliki seorang aku? hmmm…

“Boleh saya potret, mba?” Waduh? Sejak kapan wajahku cukup menarik sebagai objek foto ya? Bule pula yang mau motret. Tapi tetap saja, si mister ini sudah menggangguku yang sedang menikmati Besakih.

“Tidak potret mereka saja?” Jawabku seraya menunjuk ke arah beberapa gadis Bali yang sedang berdoa.

“Tidak suka dipotret ya?” Yee…ditanya malah balik nanya.

“Kalau iya memangnya kenapa?”

“Kenapa sih ngga suka dipotret? Bukankah generasi kalian adalah generasi narsis yang suka sekali eksis?” Wah, si mister mengajak perang, tapi bahasa Indonesianya bagus sekali. “Maaf…maaf…saya becanda lho.” Si mister menurunkan kameranya saat melihatku mendelik sebal. “Saya ingin motret mba, karena tadi saya lihat ekspresi mba menarik sekali.” Aku tetap bergeming dalam diamku. Biarkan saja dia nyerocos sendirian. Bule sotoy bin kepo, huh. Ekspresiku yang mana yang menarik? Aya-aya wae, pikasebeleun.

Jeda yang berlangsung sekian detik rupanya membuat si mister salah tingkah, dan hendak beranjak meninggalkanku yang diam saja. Daripada sendirian begini ya tak apa lah ya berdamai dengan si mister.

“Masih mau motret aku? Ekspresi yang tadi ‘kan udah ilang.”

“Ngga usah deh, kita kenalan aja ya. Jurgen Mueller” Si mister menyodorkan tangannya yang besar.

“Lindu.” Ucapku singkat. Rupanya si mister orang Jerman. “Schön euch zu treffen“, lumayan juga aku  jadi bisa latihan bahasa Jerman.

“Senang juga bisa kenalan. Bisa bahasa Jerman?”

“Sedikit.”

“Saya lebih suka bahasa Indonesia.” Eh? Aneh. Saat aku merasa keren bisa sedikit berbahasa Jerman, si mister malah lebih suka bahasa Indonesia? Malu juga rasanya, sekaligus membuatku semakin bangga akan Indonesia.

“Kenapa? Punya pacar gadis Indonesia yaa?” Iseng aku bertanya, yang dijawab dengan si mister tertawa terbahak.

“Mmm… saya gay.” Duh, persaingan semakin ketat untuk mendapatkan pria normal akhir-akhir ini ya.

“Jadi apa yang membawamu ke Besakih?” Aku membelokkan arah, aneh sekali rasanya pertemuan pertama seperti ini sudah membahas orientasi seksual.

“Tidak ada, saya hanya mengikuti ke mana kaki melangkah.” Cieeehhh, nyastra sangat nih bule. “Dan tadi itu saya becanda lho,” sambungnya lagi.

“Becanda? Yang mana?”

“Yang soal gay.”

“Ooh…”

“Jadi saya masih straight.”

“Oh begitu. Oke.” So what? Duh, aneh sekali sih perbincangan kita ini. “Jadi… bagaimana Besakih menurutmu?” tanyaku lagi akhirnya.

“Indah. Seperti banyak sekali tempat yang indah di negeri ini. menakjubkan.” Wow, sepertinya si mister sudah mengunjungi berbagai tempat di Indonesia.

“Ada alasan tertentu kenapa suka Indonesia?”

“Konon, nenekku dari pihak Ayah adalah orang Bugis.” Tapi sepertinya tidak ada secuil pun dari penampilan mister bule yang bisa mewakili gen neneknya itu.

“Jadi sudah pernah ke Makasar?” Tuan bule hanya mengangguk. “Berhasil menemukan…yang kau cari di sana?” Aku khawatir pertanyaanku terlalu lancang.

“Terkadang kau tidak harus menemukan yang kau cari.” Si mister bersiap lagi membidikkan kameranya ke arah rombongan anak-anak SMP yang gegap gempita. “Karenasomehowkau malah dipertemukan dengan keajaiban.” Rupanya ada jiwa seorang filsuf dari seorang Jurgen Mueller.

“Semoga pertemuan kita juga termasuk keajaiban ya.”

“Tentu saja, karena tidak ada yang kebetulan. Setidaknya, memori tentangmu di benakku pasti akan selalu ada.” Ups, untuk sesaat aku merasa melayang. Ngomong-ngomong tentang keajaiban, aku jadi teringat sesuatu.

“Mister, kau tahu Bundo Rahmi?” tanyaku ragu, dan si mister hampir menjatuhkan kamera yang sedang dipegangnya.

Note : 544 kata, bersambung ke day#13

***

eeaaa…nulis ngebut emang bisa dipastikan geje tingkat dewa ha ha 😛