Day#15 Mungkin (Takkan) Ada Lagi

Cerita sebelumnya, day#14

***

Aku Bundo Rahmi, atau setidaknya, begitulah orang-orang mengenalku.

Aku hanyalah seorang wanita biasa yang belum menjadi apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tapi katanya, setiap makhluk ciptaanNYA adalah istimewa. Kalau begitu, wajar jika aku menganggap diriku juga istimewa, bukan?

Aku tahu, aku berawal dari tiada, untuk kemudian mengada, lantas kembali tak ada.  Maka aku ingin periode ‘mengada’ku tidak sia-sia, bahkan (kalau boleh) sedikit berharap keberadaanku itu -entah bagaimana- bisa bermakna.

Lantas, kenapa aku ‘menghilang’? Perlu berlembar-lembar halaman untuk menuliskan alasannya, dan itu akan membosankan siapapun yang membaca jurnal ini kelak. Maka, aku akan menceritakannya hanya dalam sebuah paragraf singkat.

Semuanya berawal dari sebuah vonis dokter spesialis yang mengultimatum hidupku bisa bertahan tak lebih dari 6 bulan saja. Ah, tak usahlah aku ceritakan penyakitku itu apa. Tapi kata om dokter yang berkacamata tebal tapi cukup tampan itu, penyakit kronisku yang sudah menjalar kemana-mana telah membuat organ-organ vitalku melemah, maka daya tubuhku akan terus menurun, bla…bla…bla… (penjelasan medis yang membuat kepalaku pening), kalimatnya berakhir dengan mengatakan akan berhentinya detak sang jantung di tubuhku.

Begitulah, menurutnya aku akan segera menjadi mayat karena sakitku. Rupanya om dokter lupa, sejak dilahirkan pun aku adalah calon jenazah, sakit atau tertabrak, suatu hari aku akan tetap kembali pulang. Sama sepertinya, dan juga semua makhluk yang menumpang hidup di kefanaan dunia ini, hanya waktunya saja yang membedakan. Begitu ‘kan? Menurutku sih begitu..

Jadi aku menerima saja vonis itu. Tidak pernah mudah pada awalnya, sempat menyerah dan pasrah, tapi kemudian aku memilih untuk berserah. Aku ingin berteman baik dengannya -si penyakitku itu, bahkan kemudian aku berterima kasih padanya, karena dia-lah yang akan mengantarkanku padaNYA. Dan sejak itulah aku ‘menghilang’.

Di sebuah pagi yang ceria, aku berpamitan pada semua orang di kampungku, meminta maaf pada mereka, memeluk mereka satu persatu, karena mungkin takkan ada lagi kesempatan untukku bisa melakukannya pada mereka. Tidak semua orang mengerti keputusanku itu, banyak yang mempertanyakan pilihanku, dan tak sedikit yang menangisiku. Aku tahu aku tidak akan pernah menyenangkan hati semua orang.

Dan, di sinilah aku sekarang. Di sebuah pulau kecil bernama Waigeo menikmati keindahan kepulauan Raja Ampat di depanku dalam kesendirian. Tentu saja aku bisa mengajak Jurgen, atau Rantau, atau Jingga, atau Arfan, atau Sarah, atau Lindu, atau Genta, atau siapapun yang aku kenal dan atau mengenalku. Tapi sendiri pun selalu tak apa-apa jika kau menikmatinya dengan segala rasa.

Hingga detik ini, aku masih hidup. Dan kematianku yang -kalau perkiraan om dokter akurat- tersisa 2 bulan lagi itu membuatku lebih mensyukuri dan menikmati hidup. Aku tidak lagi menjadi manusia golongan ‘orang kebanyakan’ (atau kebanyakan orang?) yang menjalani hari demi hari dengan begitu-begitu saja dan biasa-biasa saja. Sejak aku ‘menghilang’, aku menjalani hidupku sepenuhnya, sungguh-sungguh, dan pejal.

Entah besok aku akan ke mana atau ada di mana. Entah lusa aku bisa menulisi buku jurnalku ini atau tidak. Entah minggu depan aku masih diperbolehkan menyapa mentari atau harus berteman kesunyian abadi. Aku akan merayakan kehidupan yang terjadi di hari ini, sekarang, detik ini.

-Raja Ampat, sebuah senja di penghujung Juni 2012-

Note : 489 kata, tamat *yeaayy* 🙂

***

Maafkan jika endingnya tidak sesuai harapan ya. Dan terima kasih banyak untuk teman-teman yang telah bersedia membaca cerita geje saya *menjura*

Episode Bundo Rahmi (dianggap) selesai ya temans ^^

Advertisement

Day#14 Langit Pun Tersenyum

Cerita sebelumnya, day#13

***

Wakatobi memang surga bawah laut yang mempesona. Tak menyesal aku hampir menghabiskan tabunganku untuk pergi ke sini. Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko yang menawan ini sudah membuat hatiku tertawan. Walaupun, tetap saja tak sempurna karena tak ada Genta yang sudah aku rindukan bahkan sejak aku meninggalkannya bersama Ibu di bandara. Apakah anak itu menikmati perjalanannya ke Barito?

Aku lanjutkan snorkelingku dengan semua cerita di kepalaku, yang akan aku kisahkan pada Genta nanti. Tentang terumbu karang indah di kepulauan eksotis ini, dengan semua nama-nama latinnya yang terdengar merdu. Acropora formosa, A hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus dan entah apa lagi. Juga tentang berbagai ikan hias warna warni yang menari-nari merayakan kehidupan. Cephalopholus argus, naso unicornis, Balistoides viridae-scen, Cheilinus undulatus dan teman-temannya. Tak ada ikan gabus yang bisa aku racik menjadi adonan pempek. Haha, seketika aku merindukan kampung halamanku.

Pantai, laut, dan semua derivasinya selalu mengingatkanku akan Lara, wanita terindah yang menghadiahkan seorang Genta untukku. Wanita yang aku kenal di pantai Pangandaran bertahun lalu, untuk kemudian hilang entah di lautan mana. Bercengkerama dengan samudera selalu membuatku merasa dekat dengannya, berbincang dan bercanda, mendekapnya mesra. Tapi rupanya manusia -khususnya aku- tidak didesain untuk bisa hidup hanya dengan kenangan. Kecewa dengan pikiranku sendiri, aku menyudahi snorkelingku setelah satu jam berlalu.

Aku melangkah menuju hotelku setelah mengembalikan peralatan snorkeling. Wakatobi cukup ramai di bulan Juni, konon karena bulan depan ombak setinggi gunung sudah mulai datang hingga sekitar September nanti. Harus aku beri tahu Genta -kalau dia sudah besar nanti- untuk memperhatikan hal-hal semacam ini saat ingin berwisata.

Masih banyak waktu sebelum aku kembali pulang ke Palembang. Aku ingin menikmati Wakatobi sebentar lagi. Menikmati airnya yang biru kehijauan, menikmati deburan ombaknya yang mendayu, menikmati semilir angin laut yang menyapaku ramah. Dulu, di pantai yang lain, aku pernah menikmati ini semua dengan Lara.

Di kejauhan, kulihat seorang perempuan yang tak biasa. Di antara paradiver dan wisatawan berbusana pantai, rok panjangnya melambai dimainkan angin, dan rambutnya tertutup sebentuk kain berwarna…merah. Saat itu juga muncul kepingan-kepingan adegan di kepalaku. Seorang wanita yang memesan semangkuk tekwan. Secarik potret yang tiba-tiba saja diberikan wanita itu padaku. Bundo Rahmi -si wanita yang “ada di dalam potret- yang mendatangiku dalam mimpi. Gadis berkerudung merah yang kutemui di danau Toba. Pertemuan berikutnya dengan Lindu -nama gadis itu- di pantai Pangandaran. Khayalanku tentang Lindu yang akan Genta panggil ‘ibu’ setelah Lara. Semua puzzle itu masih berserakan di otakku.

“Hai…” wanita berkerudung merah itu kini ada di depanku. “Sepertinya saya pernah melihat anda.” Aku masih bergeming menatapnya. Ya, aku pun seperti mengenal wanita itu, entah di mana.

“Anda pernah pergi ke Seberang Ilir? Sungai Musi, Jembatan Ampera?” aku mulai menduga-duga.

“Ah ya, anda adalah si abang tekwan yang ramah melayani saya!”

“Dan anda adalah wanita yang memberi saya sehelai potret bergambar Bundo Rahmi!” seruku takjub, “Tapi saat itu anda belum berhijab seperti ini…” lanjutku. Dia tersenyum, jilbab merahnya terlihat kontras dengan pipi berwarna gading miliknya. Cantik.

“Ya, saya berubah, semoga menjadi lebih baik,” ujarnya seraya memperbaiki jilbabnya yang baik-baik saja. “Tidak bisa dipercaya ya, kita dipertemukan kembali di sini.” Aku mengangguk mengiyakan. “Saya Sarah” sambungnya lagi.

“Saya Arfan,” jawabku singkat, tak ada tangan yang menjulur untuk aku jabat. Kami hanya saling bertukar senyum. “Dik Sarah sendirian saja ke sini?” Hati kecilku berharap dia memang datang sendiri.

“Tidak, bertiga dengan teman kantor, kami sedang ada pekerjaan di Buton.”

“Ooh…”

“Bang Arfan sendiri saja?”

“Iya.” perbincangan ini canggung buatku. Sarah bukan Lindu, dan keduanya tidak sama dengan Lara. Tapi aku merasakan debar yang sama. “Hei Genta, tolonglah Ayah” rutukku dalam hati.

“Bang Arfan, anda terlihat…bingung.” aku tertawa, terus tertawa karena tebakannya begitu benar. Beberapa detik berikutnya dia pun ikut tertawa, menertawakanku yang sedang tertawa.

“Sarah, apakah kau percaya akan cinta?” Tanyaku setelah tawa kami mereda.

“Kau sedang jatuh cinta bang Arfan?”

“Mungkin.” Aku sungguh-sungguh tidak tahu, “Entahlah.”

“Saya pernah mencintai seorang pria yang mempermalukan saya bang, dia tidak datang di hari pernikahan kami,” hatiku perih mendengarnya, “tapi saya masih percaya akan cinta.” Sarah menatap mataku sekian detik, dan kemudian tersenyum. Menulariku untuk juga ikut tersenyum. Entah kenapa aku merasa yang dimaksudkan Bundo Rahmi dalam mimpiku adalah Sarah.

“Saya pun masih percaya akan cinta, Sarah.” Ucapku perlahan, dan langit pun seolah tersenyum.

Note : 695 kata, bersambung ke day#15

***

#eeaaa… jadi cinta-cintaan ginih sih? qiqiqiqi

Day#13 Aku Tak Mengerti

Cerita sebelumnya, day#12

***

Hei, udah nyampe Makasar? Jangan lupa beliin aku kopi asli Toraja itu lho ya. Have fun di sana 😉

SMS dari Lindu itu aku baca berulang-ulang, dan berulang-ulang, entah sudah berapa kali. Belum lagi saat bibir ini menyunggingkan senyum yang tak kumengerti kenapa setiap membaca SMS itu kembali. Padahal, hingga detik ini pun, belum juga aku bisa membalas SMS manis itu dengan kata-kata indah yang -semoga- bisa juga membuatnya tersenyum. Kawan, apakah ini yang disebut jatuh cinta?

“Nah, sudah sampai kita.” Abang tukang becak berhenti di depan Museum kota Makassar, menghentikan lamunan sekaligus senyumanku akan seorang Lindu. Wanita yang kukenal di Bandung tanpa sengaja, Bundo Rahmi -walaupun saat itu hanya berupa lukisan pensil- yang mempertemukan kami.

Oh ya, aku sedang menjadi kurir seperti biasa, dan lagi-lagi, aku diantar ke gedung tua saat ingin berwisata di kota yang kudatangi. Aneh. “Selamat menikmati…” Si abang tersenyum saat aku memberinya uang. Mmm…apakah aku harus memanggilnya dengan sebutan ‘daeng’ ya?

“Makasih ya.” akhirnya aku memilih menyapa si abang tanpa embel-embel apapun, dan si abang segera berlalu dari depanku tanpa kata. Meninggalkanku di depan gedung tua 2 lantai bergaya eropa di abad ke-17, entah kenapa aku jadi membayangkan Lindu dengan pakaian mengembung dan berpayung seperti noni Belanda zaman baheula. Tanpa sebab yang jelas, aku tersenyum, lagi. “Bundo, pernahkah Bundo jatuh cinta sepertiku?” tanyaku dalam hati pada Bundo Rahmi yang entah ada di mana.

Iya, nanti dibeliin kopi Toraja. Aku lagi di Museum Kota Makassar nih, seandainya kamu juga di sini..

SMS itu akhirnya aku kirimkan juga, diiringi degup jantung yang melompat-lompat. Memberikan sensasi aneh yang tidak mampu aku namai apa. Beginikah rasanya mencinta, kawan?

Mauuuu… Ada apa aja di sana Tau? Ih pasti seru deh wisata museum kek gituh *ngiri*

SMSku langsung dibalas! Ini membuatku terperanjat, apakah Lindu begitu menantikan SMS dariku? Hatiku menghangat, pipiku memerah. “Heh anak Bukik, belum tentu dia merasakan hal yang sama padamu.” Aku mengingatkan diriku sendiri. Ya tentu saja, seorang kurir sepertiku, manalah pantas bersanding dengan wanita pekerja kantoran sepertinya. Tapi, bukankah cinta tak pernah salah?

Mungkin sebaiknya aku tidak membalas SMS Lindu, setidaknya tidak sekarang. Aku ingin menikmati sang museum yang berdiri gagah di depanku ini dulu.

Meriam kecoklatan menyambutku di halaman depan. Langkah berikutnya aku seperti kembali ke masa Belanda, maksudku, aku merasa berada di zaman itu karena bangunan khas kolonial ini, dengan dinding tebal dan jendela-jendela besar yang menjulang. Selanjutnya ada koleksi batu-batu yang ditemukan di Benteng Somba Opu. Kemudian berbagai keramik Cina dan Jepang yang dibawa para pelaut Makassar. Lantas kepingan-kepingan uang bergambar Ratu Wilhelmina. Juga perjanjian Bungaya antara VOC dan Sultan Hasanuddin. Tapi detik berikutnya pikiranku kembali pada Lindu. Aku mulai mengerti kenapa cinta bisa membuat seseorang gila.

Lindu, aku rindu padamu..

SMS terkirim, dan aku tak berani menduga apa balasnya.

Note : 455 kata, bersambung ke day#14

***

Maafkan temans, saya sedang jatuh cinta (lagi) mihihihihi

Day#12 Memori Tentangmu

Cerita sebelumnya, day#11

***

Negeriku ini memang sangat elok rupawan. Sebuah pura -yang notabene adalah tempat untuk beribadah umat Hindu- pun sangat menarik dan cantik seperti ini. Bangga rasanya aku jadi orang Indonesia. Tapi Indonesia bangga tidak ya memiliki seorang aku? hmmm…

“Boleh saya potret, mba?” Waduh? Sejak kapan wajahku cukup menarik sebagai objek foto ya? Bule pula yang mau motret. Tapi tetap saja, si mister ini sudah menggangguku yang sedang menikmati Besakih.

“Tidak potret mereka saja?” Jawabku seraya menunjuk ke arah beberapa gadis Bali yang sedang berdoa.

“Tidak suka dipotret ya?” Yee…ditanya malah balik nanya.

“Kalau iya memangnya kenapa?”

“Kenapa sih ngga suka dipotret? Bukankah generasi kalian adalah generasi narsis yang suka sekali eksis?” Wah, si mister mengajak perang, tapi bahasa Indonesianya bagus sekali. “Maaf…maaf…saya becanda lho.” Si mister menurunkan kameranya saat melihatku mendelik sebal. “Saya ingin motret mba, karena tadi saya lihat ekspresi mba menarik sekali.” Aku tetap bergeming dalam diamku. Biarkan saja dia nyerocos sendirian. Bule sotoy bin kepo, huh. Ekspresiku yang mana yang menarik? Aya-aya wae, pikasebeleun.

Jeda yang berlangsung sekian detik rupanya membuat si mister salah tingkah, dan hendak beranjak meninggalkanku yang diam saja. Daripada sendirian begini ya tak apa lah ya berdamai dengan si mister.

“Masih mau motret aku? Ekspresi yang tadi ‘kan udah ilang.”

“Ngga usah deh, kita kenalan aja ya. Jurgen Mueller” Si mister menyodorkan tangannya yang besar.

“Lindu.” Ucapku singkat. Rupanya si mister orang Jerman. “Schön euch zu treffen“, lumayan juga aku  jadi bisa latihan bahasa Jerman.

“Senang juga bisa kenalan. Bisa bahasa Jerman?”

“Sedikit.”

“Saya lebih suka bahasa Indonesia.” Eh? Aneh. Saat aku merasa keren bisa sedikit berbahasa Jerman, si mister malah lebih suka bahasa Indonesia? Malu juga rasanya, sekaligus membuatku semakin bangga akan Indonesia.

“Kenapa? Punya pacar gadis Indonesia yaa?” Iseng aku bertanya, yang dijawab dengan si mister tertawa terbahak.

“Mmm… saya gay.” Duh, persaingan semakin ketat untuk mendapatkan pria normal akhir-akhir ini ya.

“Jadi apa yang membawamu ke Besakih?” Aku membelokkan arah, aneh sekali rasanya pertemuan pertama seperti ini sudah membahas orientasi seksual.

“Tidak ada, saya hanya mengikuti ke mana kaki melangkah.” Cieeehhh, nyastra sangat nih bule. “Dan tadi itu saya becanda lho,” sambungnya lagi.

“Becanda? Yang mana?”

“Yang soal gay.”

“Ooh…”

“Jadi saya masih straight.”

“Oh begitu. Oke.” So what? Duh, aneh sekali sih perbincangan kita ini. “Jadi… bagaimana Besakih menurutmu?” tanyaku lagi akhirnya.

“Indah. Seperti banyak sekali tempat yang indah di negeri ini. menakjubkan.” Wow, sepertinya si mister sudah mengunjungi berbagai tempat di Indonesia.

“Ada alasan tertentu kenapa suka Indonesia?”

“Konon, nenekku dari pihak Ayah adalah orang Bugis.” Tapi sepertinya tidak ada secuil pun dari penampilan mister bule yang bisa mewakili gen neneknya itu.

“Jadi sudah pernah ke Makasar?” Tuan bule hanya mengangguk. “Berhasil menemukan…yang kau cari di sana?” Aku khawatir pertanyaanku terlalu lancang.

“Terkadang kau tidak harus menemukan yang kau cari.” Si mister bersiap lagi membidikkan kameranya ke arah rombongan anak-anak SMP yang gegap gempita. “Karenasomehowkau malah dipertemukan dengan keajaiban.” Rupanya ada jiwa seorang filsuf dari seorang Jurgen Mueller.

“Semoga pertemuan kita juga termasuk keajaiban ya.”

“Tentu saja, karena tidak ada yang kebetulan. Setidaknya, memori tentangmu di benakku pasti akan selalu ada.” Ups, untuk sesaat aku merasa melayang. Ngomong-ngomong tentang keajaiban, aku jadi teringat sesuatu.

“Mister, kau tahu Bundo Rahmi?” tanyaku ragu, dan si mister hampir menjatuhkan kamera yang sedang dipegangnya.

Note : 544 kata, bersambung ke day#13

***

eeaaa…nulis ngebut emang bisa dipastikan geje tingkat dewa ha ha 😛

Day#11 Sasirangan

Cerita sebelumnya, day#10

***

“Waduh!”

“Kenapa Nyai?” Kutatap wajah nenekku itu yang tiba-tiba terlihat pucat.

“Dompet Nyai ketinggalan di toko sasirangan tadi, Nak.”

“Wahhh… Kita harus ke sana lagi ya Nyai?”

“Tapi Genta tunggu di sini aja, biar Nyai bisa lebih cepat.” Aku mengangguk cepat, lagipula buatku sedikit membosankan melihat berwarna warni kain sasirangan di sana, pemandangan banyak jukung yang terapung-apung di depanku lebih mengasyikkan. Aku lihat Nyai terburu-buru berbicara pada seorang wanita, pasti ‘menitipkan’ aku, aku tersenyum seraya melambai ke arahnya yang cepat-cepat menjauh.

“Genta, mau ikut naik jukung tidak?” tante itu mengajakku seraya membuka tali ikatan jukungnya. Aku takut, tante itu adalah orang asing bagiku, kata ayah aku tidak boleh bicara dengan orang asing. “Ngga usah takut, Bundo udah bilang sama Nyai kok tadi.” tante itu tersenyum, membuatku nyaman. Akhirnya aku mengangguk.

“Mmm… tante mau belanja atau jualan?” tanyaku takut-takut. Aku lihat di jukung kami ada beberapa kain sasirangan yang masih terlipat berbungkus plastik, 2 buah melon, dan seikat bayam. Terlalu sedikit untuk dijual sepertinya.

“Bundo, panggil saja Bundo ya Nak.” tante itu, eh Bundo tersenyum lagi. “Kita jalan-jalan saja, biar kamu ngga bosan.”

“Bundo tinggal di sini?”

“Ngga.”

“Kok ada di sini?”

“Genta juga tidak tinggal di sini kan? Trus kenapa ada di sini, hayo?”

“Iya juga ya Bundo.” Aku dan Bundo tertawa-tawa, lucu sekali pertanyaanku tadi memang ya. “Bundo mau belanja apa?”

“Genta mau beli apa?” Aku diam, mengamati jukung-jukung yang kami lewati. Ada penjual ayam. Ada penjual sayur-sayuran (banyak yang aku tidak tahu namanya he he). Ada penjual kelapa-kelapa yang masih ada batoknya. Ada penjual buah-buahan (pisang, pepaya, dan jeruk). Ada juga jukung besar (kalau ngga salah Nyai bilang itu perahu klotok) seperti restoran dengan plang bertuliskan “tatamba lapar”. Sungai Barito ini sama tapi berbeda dengan Sungai Musi di kampungku. Jukung yang kunaiki juga sepertinya mirip dengan ketek. “Genta mau makan soto banjar?” Aku menggeleng cepat, tadi aku makan sop dengan ketupat bersama Nyai.

“Itu apa Bundo?” Aku menunjuk ke arah sebuah kue berbentuk bintang besar.

“Ooh..bingka. Terbuat dari kentang. Genta mau coba?” Aku mengangguk. Dan Bundo membelinya untukku. Kuenya enak!

“Bundo pulangnya ke mana?” Kami kembali ke dermaga, dari kejauhan aku bisa lihat Nyai melambai-lambaikan tangannya memanggil kami.

“Bundo bisa pulang ke mana saja, nak.”

“Bunda punya rumah banyak ya?” Bundo tertawa mendengar pertanyaanku, padahal menurutku pertanyaan itu tidak lucu. Aku pikir Bundo ini sedikit aneh deh.

“Rumah adalah tempat dimana hatimu merasa bahagia, Nak.” Aku menatap Bundo lama-lama. Maksudnya apa sih? Aku tidak mengerti.

Nyai membantuku keluar dari jukung. Bundo dan Nyai berbincang-bincang, aku menikmati kue bingkaku dalam diam. Bertanya-tanya dalam hati apakah Nyai tahu rumah Bundo di mana.

“Nah, ini untuk Genta.” Bundo memberiku sebuah ikat kepala kecil dari sasirangan berwarna merah. Bagus sekali.

“Terima kasih Bundo.” kataku senang. Bundo memelukku erat.

“Jadikan jagat raya ini sebagai rumahmu ya, Nak” bisiknya di telingaku. Aku menatap matanya lagi, dia tersenyum, hangat. Dan aku masih tidak mengerti.

“Sampa jumpa lagi Bundo Rahmi.” Nyai berpamitan dan menggenggam tanganku menjauhi pasar terapung.

Note : 491 kata, bersambung ke day#12

***

hedehhh…susah ternyata jadi anak kecil 😛

Day#10 Aku Kembali

Cerita sebelumnya, day#9

***

Ternyata Surabaya adalah kota yang sangat panas. Dan di tempat inilah aku akan kembali melakukan hal yang gila.

Bukan, kali ini bukan mimpi ibu yang membawaku ke sini. Aku sendiri tidak yakin apakah benar perempuan yang membonceng Jingga -si gadis yang ingin melompat dari jembatan Ampera tempo hari- itu Bundo Rahmi atau bukan. Potret itu pun sudah aku berikan pada si abang tempat aku makan tekwan di dekat mesjid agung. Kemudian ibu tidak lagi bermimpi tentang Bundo Rahmi, syukurlah. Episode kegilaan Bundo Rahmi aku anggap selesai.

Hingga sebuah perintah bos untuk mengikuti seminar di Surabaya datang menghampiri. Dan rupanya episode gila masih berlanjut. Kembali aku mencari, kali ini untuk sekeping memori yang pernah menyakiti hati.

Jancuk!” umpatan seorang lelaki membuyarkan lamunanku, entah apa yang terjadi padanya barusan, tapi dia -dan sepedanya- tergeletak di jalanan aspal beberapa meter di depanku. Beberapa pesepeda yang melintas berhenti dan membantunya berdiri, berbasa basi entah apa, dan si lelaki yang baru saja terjatuh kembali mengayuh sepedanya menjauh.

Dan aku bisa melanjutkan lamunanku yang terputus. Aku ingin mencarinya. Mencari dia, lelaki yang pernah aku cinta. Mungkin untuk memuaskan rasa ingin tahuku, kenapa dia sampai tak datang di hari pernikahan kami 10 tahun lalu, lantas menghilang seolah mengasap. Walaupun rasanya jawaban apapun tidak bisa mengobati luka yang terlanjur ada.

Seingatku, lelaki itu pernah berkata, rumah orang tuanya tidak seberapa jauh dari area Kota Tua ini. Maka pencarianku mungkin tidak terlalu gila. Tapi itu bisa menunggu.

Aku ingin menikmati bangunan-bangunan tua di sekelilingku. Hanya sepeda yang berlalu lalang di jalanan ini, sepertinya setiap minggu pagi seperti iniarea ini khusus digunakan bagi para pesepeda. Entahlah, tapi ini menyenangkan, karena membuatku seolah betul-betul kembali ke zaman dulu, periode di mana sepeda adalah transportasi yang paling banyak dipakai, tidak perlu bensin, tidak perlu polusi, tidak perlu kebisingan.

“Boleh ikut duduk di sini ya mba?” seorang wanita menyapa, menggeletakkan sepedanya begitu saja dan minum seolah tak pernah melihat air selama seminggu.

“Surabaya panas ya.” ucapku padanya. Dia mengangguk cepat.

“Saya tinggal di Bandung, berkali-kali ke Surabaya tetap ga nahan sama panasnya. hedehhh..” dia mengipasi badannya dengan handuk merah yang sebelumnya tergantung di leher. “Mau keliling naik sepeda mba?” dia menawarkan sepedanya, yang aku tolak dengan cepat, aku tidak perlu tambahan keringat.

“Mba tahu Jalan Jagalan?” Tanyaku tiba-tiba. Dia mengernyitkan kening, seperti mengingat-ingat. Aku menyesal telah bertanya.

“Saya pernah makan Bakso jagalan yang terkenal itu, tapi sebelah mana ya, malam-malam waktu ke situ, diantar pula, lupa deh jalan ke sana gimana,” dia tergelak, menulariku untuk juga ikut terbahak. Ada-ada saja.

“Memangnya mau apa ke sana mba?” Aku terdiam mendengar pertanyaannya, “Barangkali saya bisa bantu.” sambungnya lagi, “Om saya orang Surabaya, biar diantar sama dia nanti.” Aku ragu. Bukan ragu pada si wanita yang telah berbaik hati padaku ini, tapi ragu akan pencarian gilaku.

“Ngga usah, makasih.” kataku sungkan. “Bukan apa-apa kok.”

“Kalau apa-apa juga ngga apa-apa lho mba,” ujarnya lagi dengan mimik yang lucu, dan detik berikutnya kami kembali tergelak kompak. Menyenangkan sekali bertemu dengannya.

“Aku Sarah,” kataku mengulurkan tangan, berinisiatif berkenalan.

“Aku Lindu,” jawabnya ramah seraya menjabat tanganku erat. “We are officially friend, now.” ujarnya lagi. Tawanya yang renyah membuatku lupa akan pencarian gilaku. “Jadi gimana?”

“Apanya?”

“Itu… Jagalan.”

“Hmm…”

“He-eh, jadi mau ke sana?”

“Ngga ah, yang berlalu biarin aja deh jadi masa lalu.”

“Cieee…gayaaaa” ejeknya lucu, seolah tahu apa yang ingin aku cari di sana. Lagi-lagi kami tergelak. Aku kembali bisa tertawa selepas ini bersamanya. Aku merasa Lindu adalah sahabat lama yang kutemukan kembali. Hei, apakah mungkin kami memang bersahabat baik di kehidupan sebelumnya? Aku tambah yakin tak ada ‘kebetulan’ di dunia ini. Pertemuanku dengan Lindu telah diatur semesta. Aku tersenyum bahagia, luka itu akan tetap ada, tapi aku memilih melupakannya saja.

Lindu menepuk bahuku pelan, “Sarah, tahu Bundo Rahmi ngga?” Hah??

Note : 620 kata, bersambung ke day#11

Day#9 Genggaman Tangan

Cerita sebelumnya, day#8

***

Untuk Rantau,

Apa kabar, Da? Masih setia pada jam gadang yang selalu berdentang setiap jam? Atau sudah berkeliling ke surga-surga berbeda yang ingin kau singgahi? Rasanya aku bisa menebak kau memilih opsi yang ke-dua 🙂

Semoga kau masih mengingatku kawan, karena -entah kenapa- aku merindukanmu, itulah kenapa aku memaksa diriku menuliskan kata demi kata di surat ini untukmu. Tolong jangan disalahartikan dulu arti ‘rindu’ yang aku maksud, aku lelaki sejati yang masih suka mahluk indah bernama perempuan. Tapi kau seperti sahabat lama yang tiba-tiba menghilang dan baru kutemukan kembali. Apakah kau mengerti maksudku?

Tentu kau bertanya kenapa surat ini aku tulis untukmu. Ketahuilah kawan, aku pun tidak tahu. kemarin aku seperti melihat Bundo Rahmi memasuki stasiun Tugu, tapi -seperti biasa- dia menghilang tanpa bisa aku temukan. Mungkin dia yang membuatku ingat padamu, karena dia-lah yang dulu ‘memperkenalkan’ kita berdua, bukan? Kau masih menyimpan potret yang kuberikan padamu dulu, Da?

Aku mencintai negerimu yang elok ini, Da. Kota kelahiranku di Frakfurt sana tidak lagi menarik hatiku. Aku berhenti menjadi wartawan olahraga, sekarang aku ‘hanya’ menjadi kontributor lepas untuk berbagai majalah di negaraku. Aku belajar bahasa Indonesia dengan tekun, dan berharap semoga suatu saat nanti aku bisa menjadi WNI. Gila? Ah, hidup cuma sekali Da, dan aku ingin segila mungkin menikmatinya, di sini.

Oh ya, aku sedang di Tawangmangu saat ini. Menikmati Grojogan Sewu, air terjun setinggi 81 meter yang patuh pada hukum gravitasi itu jatuh dengan kesempurnaan yang indah di depanku. Wangi khas sate kelinci (aku masih belum bisa mencicipinya), teriakan-teriakan kera di hutan, juga manusia-manusia yang rela menuruni sekian ratus anak tangga (katanya ada 250, aku tidak menghitungnya) datang dengan wajah yang sumringah, hanya untuk kemudian mendaki anak tangga yang sama dengan terengah-engah.

Kau tahu, Da? Di depanku sepasang kekasih (atau suami istri? aku tidak bisa menebaknya) terduduk diam di atas sebuah batu besar dengan saling bergenggaman tangan. Dialog sunyi mereka sepertinya lebih dari cukup untuk memberitahu satu sama lain seluruh ungkapan cinta yang tak bisa tersampaikan oleh kata. Indah ya.

Tidak, aku tidak akan menceritakan padamu kisah cintaku. Lagipula, aku tidak punya sebuah kisah semacam itu untuk diceritakan. Apakah kau punya sebuah kisah yang bisa kau ceritakan padaku? Sudahlah, lupakan saja kisah cinta.

Mmm…mari kita sudahi saja surat tidak berujung pangkal ini, Da. Semoga semesta sudi mempertemukan kita kembali. Entah kapan atau di mana. Kau tidak akan melupakan seorang bule yang sulit tersenyum seperti aku kan? 🙂

-JM-

Kulipat surat itu hati-hati. Menuliskannya dengan hanya beralas tas kamera dan tampias air terjun yang terbawa angin sangatlah sulit. Dan aku baru tersadar aku tidak tahu alamat rumah si anak Bukik, atau nomor handphone-nya, atau alamat emailnya, atau akun facebook dan twitternya! Aku terbahak, membuat sepasang kekasih (atau suami istri?) di depanku menoleh, menatap aneh ke arahku.

“”Maaf…” ucapku pada mereka -yang masih saling bergenggaman tangan- dan cepat berlalu dengan tawa tertahan.

Note : 470 kata, bersambung ke day#10

***

Duh, telat lagi, lagi-lagi telat, en maksa banget deh ah >_<

Day#8 Ramai

Cerita sebelumnya, day#7

***

Semilir angin menyapa Yogya, menjadikan siang menuju sore ini sejuk, seperti biasanya dan selalu. Dan ini adalah anugerah buatku, buat kami, para manusia yang mengais rezeki di sepanjang Malioboro.

“Masih cape ngga, Pak?” Seorang wanita cantik menyapa saat aku habiskan air mineralku. Tidak ada istilah cape bagi kami para penarik becak untuk setiap pelanggan yang kami tunggu.

Mboten, mbakyu,” jawabku mantap. “Mau keliling Malioboro toh?” tebakku sok tahu. Dia tersenyum, biasanya senyum seperti itu artinya ‘iya’.

Piro Pak?”

“Biasa mbakyu, limolas sewu.”

“Kemana dulu nih kita Pak?” hatiku bersorak. Kuseka cepat keringat yang masih menetes di keningku, dan mengayuh perlahan sesaat setelah wanita itu naik.

“Terserah mbakyu saja.” Aku mengarahkan becakku ke arah keraton. Gapura-gapura putih mulai terlihat jelas. “Mau makan dulu mbakyu?” tawarku saat kami melewati Restoran Raos. SI mbakyu menggelengkan kepalanya tanpa suara.

“Sudah lama mbecak Pak?” Di depan Alun-alun yang ramai pun wanita ini tidak ingin turun untuk berpotret seperti yang lainnya. Aneh.

“Lumayan mbakyu. Sejak krismon itu lho, saya kehilangan pekerjaan saya di Jakarta, perusahaannya gulung tikar.” semoga dia tak merdengar gelombang getir dari suaraku tadi. Peristiwa itu seperti karma bagiku. Mengingat semua yang pernah aku miliki mengasap begitu saja selalu membuatku merasa menjadi manusia paling merana.

“Semuanya memang titipan ya Pak.” Persis, desisku setuju. Semuanya memang cuma numpang lewat, aku sudah ikhlas atas apa yang terjadi, ikhlas aku berakhir menjadi seorang tukang becak, tapi… “tapi memang sulit bersikap ikhlas tanpa syarat ya Pak.” Wanita ini seperti bisa membaca pikiranku. Aku memilih untuk berhenti berpikir.

Nggih, mbakyu.” Dan hanya keramaian di kanan kiri kami yang mengalun syahdu. Aku ikut mengamati kesibukan di sekitar kami seperti yang sedang dilakukan pelangganku ini. Dia seolah menikmati setiap gerakan, semua suara, segala aura yang mungkin terserap indera yang ada. Entah bagaimana, aku menyadari diriku tidaklah sekedar tukang becak di jalanan Malioboro, tapi juga partikel kecil bagian dari semesta raya.

“Langsung ke stasiun saja ya Pak.”

Nggih mbakyu.” Hanya perlu beberapa kayuhan menuju stasiun Tugu yang memang sudah di depan mata. “Mbakyu ini dari mana apa mau ke mana?” Tanyaku saat kami sampai dan membantunya turun dari becak.

“Saya ndak kemana-kemana tapi ada dimana-mana, Pak.” jawabnya seraya tersenyum manis. Selembar seratus ribu dikepalkannya ke tanganku. “Kembaliannya disimpan saja,” katanya lagi, “matur nuwun ya Pak.” Si wanita cantik yang selalu tersenyum itu melangkah ringan menuju stasiun yang pikuk.

“Bundo…Bundo Rahmiiii…” Seorang bule berteriak-teriak dan berlari tergesa hingga menabrak becakku. “Maaf Pak..maaf…” katanya buru-buru dan berlalu dari hadapanku.

Note : 412 kata, bersambung ke day#9

***

Maafkan ceritanya aneh, nguantuk sodara-sodara mihihihihi

Day#7 Biru, Jatuh Hati

Cerita sebelumnya, day#6

***

“Ayah, ayo kita berenang.” sepuluh jemari mungil itu menarik kuat tanganku, membuatku tergelak dan segera beranjak mengikutinya. Jejak-jejak kaki mungil miliknya dengan segera tercetak di hamparan pasir di pantai Pangandaran ini. Sore se-ceria ini memang cocok untuk berenang.

“Jangan jauh-jauh dari Ayah, Nak.” Seruku khawatir. Tapi Genta malah tertawa setelah ombak kecil  yang menenggelamkannya berlalu.”Genta pasti bandel persis ayahnya dulu deh.”Lagi, ungkapan yang sering dikatakan Lara dulu bergema di kepalaku. Membuatku menyesal menjejakkan kaki di pantai ini lagi, biru lautnya pernah membuatku jatuh hati, tapi samudera juga telah merenggut cintaku tanpa sisa. Mungkin Poseidon menawan Lara-ku di dalam sana.

Aku mengawasi Genta bermain dalam diam. Membiarkannya tertawa-tawa senang berlari ke tepian saat ombak mengejarnya. Untuk kemudian menyaksikannya berenang penuh semangat saat ombak-ombak itu kembali ke lautan. Keberanian dan semangat bocah 6 tahun itu pastilah berasal dari ibunya. “Lihatlah Genta, Lara. 3 tahun ini pasti dia juga merindukanmu dengan saat,” Bisikku dalam hati.

Kerinduanku pada Lara terinterupsi saat Genta meminta minum.

“Ayah, ibu juga dulu senang berenang di sini ya, Yah?” tanyanya saat botol minumnya tandas.

“Iya Sayang. Ibu suka sekali berenang di sini.”

“Genta akan menemani Ibu berenang.” ujarnya lagi seraya kembali mengejar ombak. Membuatku tersenyum sambil menangis. Lantas mengikutinya mengejar ombak. Aku tahu aku harus kuat demi Genta. Dan saat itulah ingatanku melayang pada si gadis berkerudung merah, pada Bundo Rahmi yang datang padaku dalam mimpi, pada seorang wanita yang tiba-tiba saja memberiku sebuah potret. Memori itu seperti kaset yang berputar ulang di kepalaku.

“Bung Arfan?” seorang wanita mengembalikan diriku ke detik ini. Hei, si gadis berkerudung merah!

“Oh..eh…hai…” terkejut membuatku gagap. Gadis di depanku tergelak. Kali ini hanya celana pendeknya yang berwarna merah, dengan t-shirt putih bergambar doraemon yang dikenakannya, seketika aku sadar tak mungkin memimpikan gadis muda sepertinya menjadi ibu bagi Genta. Ah, bahkan kami baru 2 kali ini bertemu. Segera aku menepiskan khayalanku yang mustahil.

“Kok bisa ya kita bertemu lagi di sini?” tanyanya. Aku hanya mampu mengangkat bahuku seraya tersenyum.

“Sudah jodoh barangkali,” sahutku asal, yang membuat si gadis kembali tergelak. Tawanya membuatku teringat Lara.

“Ayah…” Genta sudah berdiri di sisiku.

“Kenalkan, ini anak saya, Dik.” aku minta Genta menyalami si gadis, “Genta, ini tante…”

“Lindu. Ini tante Lindu,” si gadis berjongkok dan menciumi Genta gemas, membuat Genta malu dan bersembunyi di balik kaki-kakiku. Lagi, si gadis tergelak. Dan Genta memilih kembali berenang.

“So? Kenapa masih mencari gadis berkerudung merah untuk dijadikan jodoh, bung?” Aku tahu pertanyaan ini akan segera datang.

“Ibu Genta meninggal, 3 tahun lalu. Pesawatnya jatuh di lautan, kami tak pernah memiliki jasadnya.” Si gadis terlihat shock mendengar kisahku.

“Maaf…aku…”

“Tidak perlu. Tidak mengapa, Dik.” Aku lihat Lara tersenyum di benakku. Apakah dia merestuiku?

“Maaf juga, aku menghilangkan potret Bundo Rahmi yang Bung berikan padaku.”

“Oh?”

“Tapi kemarin lusa aku bertemu dengan seorang pemuda Bukittinggi di Bandung, rupanya potret itu milik bule Jerman, dan Bundo Rahmi yang ada di potret adalah seorang dokter gigi di kotanya yang telah lama hilang.”

“Saya menerima potret itu dari seorang wanita yang beberapa saat sebelumnya makan tekwan di warung.”

“Dan aku bertemu dengan Bundo Rahmi, atau wanita yang ‘mirip’ sekali dengannya sesaat sebelum kita bertemu di Toba tempo hari.”

“Bundo Rahmi yang menyuruh saya datang ke Toba.”

“Wanita -yang mirip Bundo Rahmi- itu juga yang menyuruhku melupakan Rio.”

“Rio?”

“Tunanganku. Ralat, mantan tunanganku. Tugas luar kota ternyata hanyalah alasannya untuk menemui selingkuhan-selingkuhannya.” Ah, betapa meruginya si Rio itu, pikirku.

“Maaf…saya…”

“Bukan salah bung Arfan,” ujarnya lagi tersenyum. “Mungkin Bundo Rahmi -siapapun wanita itu- menginginkan saya menjadi Ibu bagi Genta.” Hah? Ucapannya membuatku malu. Dia tergelak, kemudian berlalu mengejar Genta yang sedang bermain ombak, meninggalkanku sendiri.

“Lara, apakah birunya Pangandaran membuatku jatuh hati lagi?” Tanyaku.

Note : 605 kata, bersambung ke day#8

Day#6 Sehangat Serabi Solo

Cerita sebelumnya, day#5

***

Terkadang hidup memang lucu ya, setidaknya begitu bagiku. Beberapa waktu yang lalu, aku ingin sekali meloncat dari jembatan Ampera untuk bertemu dengan Antu Banyu di alam baka. Tapi lihatlah sekarang, aku begitu bahagia di tengah hiruk pikuk pasar Klewer yang begitu hidup ini. Dan aku mulai percaya, aku adalah manusia istimewa, persis seperti yang dikatakan ayuk cantik yang kutemui di depan air mancur tempo hari itu.

Menerima beasiswa di sebuah universitas di Yogya tak pernah berani aku mimpikan, bahkan UAN pun aku tidak lulus. Tapi tidak mungkin beasiswa itu jatuh padaku kalau aku tidak pantas menerimanya atau cukup pintar, bukan? Entahlah, mungin aku cuma beruntung, tapi  aku akan menikmatinya saja. Aku siap menjalani episode baru dalam hidupku, seperti aku juga siap mencicipi hidangan asing yang baru saja datang ini.

“Monggo, mbak.” aku tersenyum melihat penampakan semangkuk tengkleng di depanku, menduga-duga apakah gerangan yang membuat tengkleng di gerbang pasar Klewer ini begitu terkenal? Seiring dengan petualangan yang baru saja dimulai, seketika pula rasa rindu akan rumahku di Palembang menyeruak, rasa yang tak pernah aku miliki sebelumnya. Senang karena masa lalu yang tidak aku suka akan melenyap, sekaligus khawatir oleh masa depan yang belum aku tahu bagaimana di depan sana.

Dan semangkuk tengkleng ini ternyata sanggup membuatku rindu akan semangkuk tekwan. Aih, belum apa-apa aku sudah kangen rumah.

“Bukan orang sini yah?” tiba-tiba saja seorang bule membuyarkan lamunan melow-ku. Bahasa Indonesianya menakjubkan, mengagetkanku.

“Kok tahu, mister?” Aku balik bertanya, dan membuat si mister menertawakanku.

“Habiskan tengklengmu, nanti saya traktir serabi sebagai dessert.” Hah? Perasaanku tidak enak, jangan-jangan si mister ini adalah anggota sindikat yang mencari perempuan-perempuan muda di tanah air untuk diperjualbelikan di luar negeri.”Saya bukan orang jahat,” lagi-lagi aku terkejut, bahkan si mister bisa membaca pikiranku! “saya hanya merasa kamu perlu teman.” Benarkah aku perlu teman? Mungkin memang benar begitu.

“Mister mau ngeborong batik yah di sini?” tanyaku basa basi. Sudah kuputuskan si mister ini orang baik-baik, mungkin dia ditugaskan untuk menjadi guide-ku di Solo ini. haha, pemikiranku ini lucu juga, guide-ku orang bule.

“Tidak, saya sedang hunting foto. Dan pasar Klewer selalu menarik untuk dijadikan obyek.” Aku mengangguk-angguk, pura-pura mengerti. Melirik tas kameranya yang terlihat sangat berat. “Kenapa pergi sendirian di tempat asing?” pertanyaannya sekali lagi membuatku merenung. Kenapa ya?Aku sendiri tidak tahu. Aku hanya sedang berjalan-jalan setelah membereskan kostanku dekat kampus. Kemudian aku sampai di stasiun, membeli tiket ke Solo, dan disinilah aku sekarang.

“Mister, tengkleng saya sudah habis.” Aku tidak menjawab pertanyaannya, membayar tengkleng yang sudah berhasil aku habiskan, dan beranjak keluar dari warung. Kami berjalan masuk pasar Klewer yang sibuk. Batik, batik, dan batik. Kanan kiriku dipenuhi batik. Saat aku mengamati setiap corak batik yang teramat sangat beragam itu, si mister sibuk menjeprat-jepretkan kameranya. Hingga kami berhenti di depan penjual serabi solo. Kue asing berikutnya yang akan aku cicipi.

“Terima kasih ya mister, sudah menemani saya keliling pasar Klewer.” ucapku tulus. Dia menatapku, seolah banyak kalimat yang ingin dia sampaikan padaku, tapi tak sepatah pun yang terucapkan bibirnya. Membuatku bingung. Kami terdiam dalam keramaian pasar yang hangat.

“Aku berhutang ucapan terima kasih pada banyak orang,” si mister akhirnya bicara, “pada Bundo Rahmi, pada Rantau, ” Bundo Rahmi? Rantau? Siapa mereka? Dia mengambil serabi ke sekian untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. “Mereka sudah menolongku.”

Aku tidak mengerti apa yang sudah mereka lakukan pada si mister, “dan kemudian mister menolongku,” ujarku kemudian, mencoba menghiburnya. Dia tersenyum.

“Dan kau akan menolong seseorang yang lain lagi nanti.” katanya lagi. Aku tersenyum.

Serabi solo yang hangat ini menghangatkan hatiku, dan aku tahu hati si mister pun menghangat.

Note : 590 kata, bersambung ke day#7

___

hedeeehhh…udah mah telat, semakin geje pula >_<