Cerita sebelumnya, day#14
***
Aku Bundo Rahmi, atau setidaknya, begitulah orang-orang mengenalku.
Aku hanyalah seorang wanita biasa yang belum menjadi apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tapi katanya, setiap makhluk ciptaanNYA adalah istimewa. Kalau begitu, wajar jika aku menganggap diriku juga istimewa, bukan?
Aku tahu, aku berawal dari tiada, untuk kemudian mengada, lantas kembali tak ada. Maka aku ingin periode ‘mengada’ku tidak sia-sia, bahkan (kalau boleh) sedikit berharap keberadaanku itu -entah bagaimana- bisa bermakna.
Lantas, kenapa aku ‘menghilang’? Perlu berlembar-lembar halaman untuk menuliskan alasannya, dan itu akan membosankan siapapun yang membaca jurnal ini kelak. Maka, aku akan menceritakannya hanya dalam sebuah paragraf singkat.
Semuanya berawal dari sebuah vonis dokter spesialis yang mengultimatum hidupku bisa bertahan tak lebih dari 6 bulan saja. Ah, tak usahlah aku ceritakan penyakitku itu apa. Tapi kata om dokter yang berkacamata tebal tapi cukup tampan itu, penyakit kronisku yang sudah menjalar kemana-mana telah membuat organ-organ vitalku melemah, maka daya tubuhku akan terus menurun, bla…bla…bla… (penjelasan medis yang membuat kepalaku pening), kalimatnya berakhir dengan mengatakan akan berhentinya detak sang jantung di tubuhku.
Begitulah, menurutnya aku akan segera menjadi mayat karena sakitku. Rupanya om dokter lupa, sejak dilahirkan pun aku adalah calon jenazah, sakit atau tertabrak, suatu hari aku akan tetap kembali pulang. Sama sepertinya, dan juga semua makhluk yang menumpang hidup di kefanaan dunia ini, hanya waktunya saja yang membedakan. Begitu ‘kan? Menurutku sih begitu..
Jadi aku menerima saja vonis itu. Tidak pernah mudah pada awalnya, sempat menyerah dan pasrah, tapi kemudian aku memilih untuk berserah. Aku ingin berteman baik dengannya -si penyakitku itu, bahkan kemudian aku berterima kasih padanya, karena dia-lah yang akan mengantarkanku padaNYA. Dan sejak itulah aku ‘menghilang’.
Di sebuah pagi yang ceria, aku berpamitan pada semua orang di kampungku, meminta maaf pada mereka, memeluk mereka satu persatu, karena mungkin takkan ada lagi kesempatan untukku bisa melakukannya pada mereka. Tidak semua orang mengerti keputusanku itu, banyak yang mempertanyakan pilihanku, dan tak sedikit yang menangisiku. Aku tahu aku tidak akan pernah menyenangkan hati semua orang.
Dan, di sinilah aku sekarang. Di sebuah pulau kecil bernama Waigeo menikmati keindahan kepulauan Raja Ampat di depanku dalam kesendirian. Tentu saja aku bisa mengajak Jurgen, atau Rantau, atau Jingga, atau Arfan, atau Sarah, atau Lindu, atau Genta, atau siapapun yang aku kenal dan atau mengenalku. Tapi sendiri pun selalu tak apa-apa jika kau menikmatinya dengan segala rasa.
Hingga detik ini, aku masih hidup. Dan kematianku yang -kalau perkiraan om dokter akurat- tersisa 2 bulan lagi itu membuatku lebih mensyukuri dan menikmati hidup. Aku tidak lagi menjadi manusia golongan ‘orang kebanyakan’ (atau kebanyakan orang?) yang menjalani hari demi hari dengan begitu-begitu saja dan biasa-biasa saja. Sejak aku ‘menghilang’, aku menjalani hidupku sepenuhnya, sungguh-sungguh, dan pejal.
Entah besok aku akan ke mana atau ada di mana. Entah lusa aku bisa menulisi buku jurnalku ini atau tidak. Entah minggu depan aku masih diperbolehkan menyapa mentari atau harus berteman kesunyian abadi. Aku akan merayakan kehidupan yang terjadi di hari ini, sekarang, detik ini.
-Raja Ampat, sebuah senja di penghujung Juni 2012-
Note : 489 kata, tamat *yeaayy* 🙂
***
Maafkan jika endingnya tidak sesuai harapan ya. Dan terima kasih banyak untuk teman-teman yang telah bersedia membaca cerita geje saya *menjura*
Episode Bundo Rahmi (dianggap) selesai ya temans ^^