Maafkan judul postingannya yang –bahkan bagi saya sendiri- terlihat sangat absurd itu ya, temans.
Jadi ceritanya, saya sedang menulis novel duet dengan seorang teman. Kadang-kadang, saya menciptakan tokoh fiksi saya berdasarkan manusia nyata yang saya ‘temui’ di kehidupan sehari-hari. Bisa sosok artis atau politikus atau siapalah yang saya lihat di televisi, bisa juga sahabat-teman-kerabat yang saya kenal, bisa juga tetangga yang saya panggil dengan sebutan ‘Oma’.
Oma ini tinggal sendiri di rumahnya yang besar. Seorang keturunan Tionghoa yang sangat tipikal oma-oma. Rambut putihnya dipotong pendek, tubuhnya masih langsing, tapi sepertinya sulit sekali berjalan meskipun tidak pernah menggunakan tongkat.
Ada seorang anaknya yang tinggal di gang yang sama, ke sanalah Oma sering bolak balik, menumpang makan atau entah apa, tapi tak pernah menginap di sana. Sempat, rumah yang ditempatinya sendirian itu dipasangi plang ‘Rumah Dijual’ di pagar. Tapi konon, saat ada yang serius akan membeli, anak-anaknya keberatan karena tidak bisa ‘menampung’ Oma di rumah mereka, dan plang itu tak pernah terlihat lagi.
Iya, cerita itu saya tahu karena Oma sendiri yang bercerita. Meskipun bukan dalam obrolan panjang sambil minum teh, kami sering saling bertukar sapa saat saya melewati rumahnya waktu pergi ke pasar, atau saat Oma melewati rumah saya waktu pergi ke rumah anaknya, atau saat sama-sama membeli bakso si Abang gerobak yang lewat.
Oma yang malang. Demikianlah saya melihatnya. Dan seperti itulah ‘Oma Cing Cing’, salah satu tokoh dalam novel yang sedang saya tulis, saya gambarkan. Seperti Oma yang-saya-tidak-tahu-siapa-namanya tetangga saya. Lengkap dengan kisahnya yang hidup sendiri di usianya yang senja.
Dan kemarin sore, Oma meninggal dunia. Bukan karena sakit atau apa (selama ini Oma memang terlihat sehat-sehat saja, selain kesulitan berjalan yang mungkin karena rematik), hanya berhenti bernapas dan tak lagi bisa dibangunkan.
‘Oma Cing Cing’ saya meninggal dunia..
Maut yang menjemput memang rahasia Sang Pemilik Semesta. Meskipun ‘Oma Cing Cing’ masih memiliki beberapaiparuh cerita lagi di kepala saya, Oma telah pergi. Saya tidak memberitahu Oma bahwa saya menciptakan seorang Oma Cing Cing yang adalah dirinya. Maka izinkan saya menuliskan tentang Oma di sini.
Selamat jalan ya, Oma, terima kasih untuk pertemuan singkat kita.
Duh, ikut berduka ya teh. Semoga oma diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Amiiin.
LikeLike
Ohh noooo. Huaaaaaaaaaaaaa …
Aku nggak kenal beneran sama Oma-mu, Neng. Tapi kok aku nangis ya T__T Berasa dekat.
Aku jadi merasa bersalah membuatnya ‘dibenci’ di cerita 😦
LikeLike
huhuhuhuhu, iyaaaa, aku jg syediiih, makanya aku tulis ajah di blog..
LikeLike
Tentu sedih ya, karena sudah ada hubungan silaturahmi dengan si tokoh.
Oh, ngono tha. Ternyata membuat tokoh fiksi dari kenyataan yang ada. Keren, Rin.
LikeLike
Duuuh.. Sedih banget Omaa.. Turut berduka ya Mbak… Lalu tokoh fiksinya gimana? Tetap hidup?
LikeLike
turut berduka ya, walau gak kenal tapi bacanya aja sudah sedih
LikeLike
Semoga oma diberikan tempat yg terbaik.. Amiin.
Klo tokoh bundo rahmi ud meninggal juga ya rin..?
LikeLike
Hihihi, susahnya kalau berdasarkan tokohnya nyata ya begitu.
Eh tapi itu bisa bikin kreatif juga lho, misalnya bagaimana mematikan sang tokoh, dan menampilkan tokoh baru 😀
LikeLike
Tapi oma udah abadi dalam ceritamu mbk… 🙂
LikeLike
Hikssss….
LikeLike
ikut berduka cita ya…
LikeLike
Hiks hiks aku ikutan sedih 😢😢😢 di novel, karakternya ikut meninggal atau masih hidup teh?
LikeLike
Jadi ikut sedih,baca tulisan Orin
LikeLike
Hiks, kenapa jadi ikutan sedih 😦
LikeLike
Sedihnyaaa
LikeLike