Karena Banyak Cara Mencipta Bahagia

Siang tadi, tidak sengaja saya menemukan kembali foto berpuluh kilogram yang lalu di bawah ini.

10400521_1104094807009_4308148_n

Jalan kecil yang menjadi setting foto adalah jalanan menuju Kawah Putih, entah jalanan itu masih seperti itu sekarang atau tidak, karena foto ini diambil Mei 2009.

Mau tidak mau, foto lama ini membuat saya mengunjungi masa lalu. Saya ingat betul, saat itu saya masih sedang berduka, oleh sebab yang sebetulnya teramat sepele: putus cinta! Benar, postingan ini akan menjadi postingan klise para jomblo yang -katakanlah- susah move on pada umumnya.

Meskipun sekarang ini saya sudah bisa cengar cengir menertawakan kekonyolan saya saat itu, tapi keadaannya tidak mudah bagi si Orin yang berada dalam foto. Baiklah, meskipun sudah sering saya tulis, saya akan kembali sedikit bercerita ya.

Setelah hubungan yang cukup serius menuju pernikahan, di bulan Oktober 2008, saya diputuskan secara sepihak oleh mantan calon suami *halah*. Kesedihan saya sebetulnya bisa segera diabaikan dan cepat terlupakan karena saya fokus menyibukkan diri. Sengaja lembur, pulang kantor ikut kelas aerobik/fitnes, setiap akhir pekan ikut acara ini itu atau bertemu teman-teman lama, hingga akhirnya mendaftar kuliah malam meneruskan S1.

Dan hobi traveling saya kembali muncul ke permukaan. Mungkin saya sekadar menyibukkan diri, atau bisa jadi itu adalah ajang melarikan diri, tapi yang mana pun, saya menemukan kebahagiaan tersendiri di setiap perjalanan yang saya lakukan.

Perjalanan ke Kawah Putih di bulan Mei itu misalnya, sangat tidak terencana. Saya tiba-tiba saja memesan travel ke Bandung sepulang kerja. Mengetuk pintu kosan sahabat semasa kuliah, dan keukeuh mau hiking ke Dago Pakar keesokan paginya. Kedua sahabat saya itu tidak bisa menemani karena harus bekerja, saya nekat pergi sendiri. Jalan kaki dari Simpang Dago sampai ke goa-goa Jepang, walaupun akhirnya seorang teman lain menyusul saat saya sedang jalan kaki culang cileung sendirian di pinggir jalan.

Besoknya lagi, saya keukeuh ingin pergi ke Kawah Putih, ditemani atau tidak. Padahal saya sangat terkenal sebagai si tukang nyasar yang tidak hapal jalan, apalagi ini ke Ciwidey, jauh, lama, bahkan bisa dibilang berbahaya. Dua sahabat saya akhirnya mengalah, menemani saya berpetualang, terpaksa menginap karena hujan dan kesorean (jadi tidak bisa naik), menumpang tidur di lantai dapur sebuah villa, hingga satu sahabat saya membakar kerudungnya sendiri karena nekat membawa sebatang lilin menyala ke pangkuannya demi menghangatkan diri hahahaha.

Ya, perjalanan ‘gila’ itu membuat saya bersyukur dikelilingi sahabat-sahabat yang bersedia mengerti kegilaan saya. Dan untuk sekejap bisa membuat saya lupa atas kepedihan saya.

Tapi yang paling sulit saat itu adalah menyembuhkan kesedihan orang tua saya, terutama Mamah. Mamah saya tadinya sudah sangat senang saya akan segera menikah. Tinggal di kampung kecil dengan anak gadis yang sudah lumayan berumur pastinya memiliki pressure tersendiri bagi beliau. Maka saat si mantan dan orang tuanya sudah beberapa kali ke rumah, Mamah terlihat sangat bahagia, apalagi beliau sudah berteman baik dengan mantan calon ibu mertua. Jadi bisa dibayangkanlah ya, saat ternyata saya batal menikah, sepertinya kesedihan Mamah lebih dalam dibandingkan saya.

Hal tersebut membuat saya stres daripada prosesi putus cinta itu sendiri. Sebagai anak yang cenderung bandel dan sering sekali memiliki keinginan sendiri yang bertentangan dengan orang tua, saya tetaplah ingin membuat Mamah bahagia. Dan pada saat itu, kebahagiaan Mamah salah satunya adalah melihat saya segera menikah.

Tapi asal menikah tentu saja bukan pilihan. Dan saya tahu, saya tidak mungkin membahagiakan Mamah atau orang lain, jika saya sendiri tidak berbahagia. Dan bukankah kebahagiaan masalah keputusan hati? Tidak perlu bersyarat ini itu harus begini begitu? Tapi bagaimana menjelaskan konsep ini pada Mamah?

Maka saya tunjukkan pada Mamah bahwa saya bahagia, meskipun batal menikah, meskipun belum punya pacar, meskipun tidak begini meskipun belum begitu. Dan bahwa hobi traveling saya itu adalah salah satu cara saya mencipta bahagia, karena saya percaya setiap perjalanan adalah perjalanan jiwa. Alhamdulillah Mamah mengerti, tak pernah lagi bertanya apakah saya sudah punya pacar baru, tidak lagi sering ingin tahu kapan saya akan menikah. Mungkin karena Mamah bisa melihat dengan jelas bahwa saya memang bahagia.

10400521_1104100967163_1179220_n

Benarlah kata Ollie dalam bukunya Passport to Happiness, bahwa “Kebahagiaan bukan berada di suatu tempat, bukan juga berada di tangan orang lain, tapi ada di dalam diri sendiri.”

Passport to Happiness: 11 Kota 11 Cerita Mencari Cinta

27 thoughts on “Karena Banyak Cara Mencipta Bahagia

  1. Sekarang udah completely moved on kan Rin? Hihihhi, becanda. Jadi inget satu quotes, “We dont meet people by accident. They are meant to cross our path for a reason.” Yekan, yekan…;-)

    Like

  2. Bingung kak mau koment. Di satu sisi kakak mengalami kejadian yang tak pernah di inginkan. Di sisi lain kak rin bahagia karena bisa mengingat masa lalu pengalaman perjalanan ke Ciwidey dan ke kawah putih hingga virus travellingnya muncul kembali. Tapi yaw kak rin bisa bahagia tanpa memikirkan masa lalu yang kurang enak, ikut senang kak mendengarkannya,, 🙂

    Like

  3. been there done that too mba Orin 😀
    patah hati trus melakukan hal-hal nekad biar cepet move on, untungnya gak sampe yang aneh-aneh sih. Cuma pergi umroh sendirian aja hehehe

    Like

  4. Pingback: Love Yourself | Rindrianie's Blog

Leave a comment