Terkadang kita tidak pernah tahu bagaimana hidup mengejutkan kita, betul? Ada dua cerita yang akhir-akhir ini membuat saya merenung dan berpikir ulang tentang hidup dan kehidupan, dan meskipun kita tidak akan pernah bisa tahu apa yang akan terjadi di masa depan, satu jam mendatang sekalipun, maka rasanya jadi sangat masuk akal saat kita ‘mempersiapkan diri’ untuk itu.
Cerita pertama
Beberapa waktu yang lalu saya terpaksa pergi ke dokter, setelah 3 malam berturut-turut suhu badan saya cukup tinggi, dan tenggorokan rasanya sakit sekali, bahkan untuk berbicara sekalipun. Mungkin karena cuaca yang terlampau panas ya, jadi pas siang-siang inginnya minum air dingin terus, duduk di depan kipas angin dengan jarak yang terlampau dekat, jadi kalau malam ya begitu itu lah, faktor usia juga sih sepertinya ya, angka yang beranjak naik berbanding lurus dengan daya tahan tubuh yang pelan-pelan menurun.
Singkat kata, habis maghrib saya pun pergi ke dokter, sendirian saja naik si Kupi, terlalu malam kalau kalau menunggu Akang Suami pulang dulu, lagipula sebetulnya kategori sakit saya masih tergolong ringan, masih bisa mengerjakan ini itu kok, tidak sampai lemas tak terkira dan cuma bisa berbaring di tempat tidur. Berhubung saya memakai kartu asuransi Allianz, maka saya pergi ke antrian khusus, menyerahkan kartu pada mbak petugas, duduk manis deh menunggu dipanggil dan periksa dokter.
Normalnya, setelah diperiksa dokter, pasien membayar biaya konsultasi dokter di kasir terlebih dulu, untuk kemudian pindah ke apotek untuk menebus obat. Tapi -sekali lagi- kartu asuransi saya membuat rute tersebut tidak berlaku bagi saya. Saya langsung diminta menunggu obat di apotek, karena biaya konsultasi dan juga obat sudah tercakup dalam asuransi dari kantor Pak Suami tersebut. Saat saya duduk menunggu obat itulah, ‘kejutan pertama’ datang.
Ada seorang Ibu (mungkin usianya sekitar 50 tahun-an) yang juga menunggu obat seperti saya. Gerak geriknya terlihat gelisah, meskipun tubuhnya terlihat sehat-sehat saja, mungkin beliau menunggu obat untuk anak atau keluarganya yang sakit. Tak berapa lama beliau dipanggil apoteker, resepnya sudah selesai dan dipersilakan untuk membayar. Saya tidak tahu percakapan di depan meja kasir seperti apa, tapi si Ibu kembali duduk tak lama kemudian tanpa obat di tangan, lantas tergesa menelepon seseorang dengan panik, “obatnya mahal, duitku nggak cukup, gimana nih?”. Adegan itu entah berakhir bagaimana karena Ibu itu terburu-buru keluar tanpa membeli obatnya.
Ah, kasihan sekali beliau, Bagaimana jika Ibu itu pada akhirnya tetap tidak bisa menebus obat yang diperlukan? Bagaimana orang yang sakit dan menunggu obat untuk menyembuhkan penyakitnya itu? Apakah obatnya tidak bisa dibeli separuh dulu saja?Apakah Ibu itu tidak punya kartu BPJS atau asuransi untuk meringankan pembelian resep? Banyak pertanyaan berputar-putar di kepala, bahkan hingga saya pulang ke rumah. Meskipun tentu saja, itu membuat saya sangat bersyukur -dan sangat lega- karena tidak mengeluarkan uang saat berobat (kecuali untuk parkir kendaraan :D), dan sekaligus merasa sedih atas keadaan si Ibu.
Cerita Kedua
Saya punya seorang sahabat (kita sebut saja Mbak M), yang memiliki seorang tante (adik dari ibunya) yang terkena gagal ginjal. Tante ini belum pernah menikah, dan di usia lebih dari 70 tahun, hanya keponakan dan kerabat saja yang merawatnya karena tidak memiliki suami dan anak. Mbak M ini termasuk keponakan yang cukup dekat dengan sang Tante sejak kecil, dan paling banyak menanggung biaya pengobatan Sang Tante, baik itu saat cuci darah yang harus dilakukan seminggu sekali, hingga kamar rumah sakit saat Tante tidak bisa lagi dirawat di rumah.
“Bukannya nggak sayang, Rin, tapi Ibu juga sering sakit-sakitan sekarang…” Demikian Mbak M pernah bercerita pada saya. Maksud dibalik kalimat tersebut tentunya sudah bisa dimengerti ya. Tante-nya mbak M ini padahal guru ngaji/ustadzah yang sebetulnya berkecukupan, tapi ya tetap saja, tabungan dan hartanya lama kelamaan tidak mencukupi lagi sehingga harus dibantu mbak M yang ‘cuma’ keponakan.
Saat Tantenya meninggal setelah beberapa bulan pengobatan, mbak M yang juga masih single di usianya yang hampir 40 ini berkata pada saya, “kalau nyari suami kan susah banget ya, Rin, jadi kayaknya aku mau nyari uang yang banyak aja in case tetap sendiri sampai tua.” Kalimat itu mungkin terdengar konyol, tapi sayangnya, mengandung kebenaran yang tak terbantahkan. Membuat saya juga kembali berpikir, bahwa mau tidak mau, saya pun harus ‘bersiap-siap’ seperti Mbak M. Kenapa? Karena saya (setidaknya untuk sekarang) tidak lagi bekerja, dan belum memiliki putra/putri.
Safety Needs
Maka rasa aman mungkin adalah satu -dari sekian banyak hal krusial lainnya- yang terpenting dalam hidup. Abraham Maslow, dengan teori Hierarchy of Needs-nya yang terkenal, menempatkan rasa aman ini di tahap ke dua, tepat setelah kebutuhan-kebutuhan biologis terpenuhi (kebutuhan akan oksigen, air, makanan, tempat tinggal, segala sesuatu yang berhubungan dengan fisik).
Wajar saja jika saya merasa lega saat saya bisa menebus obat sesuai resep dokter, dan seperti halnya mbak M, ingin sekali punya ‘uang’ banyak untuk nanti saat tak ada lagi medical allowance atau bantuan asuransi karena suami sudah pensiun misalnya. Jadi memang harus menyiapkan bekal detik ini juga, bukan? Toh hidup memang sebuah perjalanan yang tidak bisa kita tahu dimana ujungnya, maka memiliki perbekalan untuk setiap kemungkinan yang akan kita temui dalam perjalanan tersebut menjadi sebuah keniscayaan.
Asuransi pada Setiap Aspek Kehidupan
Saat ini, bekal yang saya miliki mungkin sudah cukup. Kartu biru yang saya peroleh sebagai istri karyawani di atas, sejauh ini sudah mencukupi kebutuhan rasa aman saya. Setidaknya, Insyaalloh saya akan tetap bisa membeli seluruh obat yang diresepkan dokter untuk penyakit-penyakit yang ditanggung. Memang jumlahnya terbatas, tapi toh saya juga tidak berencana sering-sering sakit kan? hehehehe.
Tapi tentu saja saya perlu bekal yang lain. Mungkin, salah satunya adalah asuransi jiwa TaproKu. Produk Allianz ini memiliki keunggulan yang cocok bagi saya yang tidak bekerja kantoran lagi ini. Pendaftaran online yang sederhana dan langsung, premi yang sangat terjangkau, tapi bisa melindungi dari 3 resiko (meninggal dunia, cacat total, dan 49 jenis penyakit). Tapi Uang Pertanggungannya ada yang bisa mencapai 500 juta! Meskipun saya berharap saya bisa meninggal dalam tidur tanpa sakit berat yang merepotkan semua orang, tapi mudah-mudahan saja sejumlah uang tersebut cukup jika saya sakit nanti.
Bekal lain, berhubungan dengan hobi saya dan Pak Suami untuk bertraveling ria. Meskipun so far acara ngebolang kami masih yang dekat-dekat saja, dan kalaupun harus terbang masih menggunakan low budget airlines ya. Tapi kerjasama Garuda Indonesia dengan Allianz untuk travel insurance rasanya bisa dimasukkan ke dalam daftar ‘bekal berikutnya’. Dan Allianz TravelPro bisa menjawab harapan ini. Tidak hanya perjalanan dalam negeri saja, jangkauannya meliputi juga ASEAN plus dan Worldwide. Bahkan pake family menyediakan covering untuk orang dewasa dan anak-anak. Akan sangat menyenangkan jika kita tahu perjalanan kita sudah terlindungi kan, ya?
Sebetulnya masih banyak bekal lain yang ingin saya masukkan ke dalam bucket list, tapi mungkin satu-satu dulu aja lah ya hahaha. Tapi kenapa saya berpikir Allianz layak dipercaya? Terlepas dari Foster Huntington yang memang memukau saya dalam iklan yang dibintanginya *halah*, tapi juga karena Allianz memang sebuah perusahaan asuransi yang sudah mendunia (ada di 70 negara) dan memiliki 83 juta nasabah pribadi dan korporasi. Di Indonesia sendiri, Allianz pertama kali mendirikan kantor perwakilan pada tahun 1981, dan hingga sekarang didukung oleh lebih dari 1.200 karyawan dan lebih dari 17.000 tenaga penjualan di 93 kantor pemasaran di 46 kota, yang juga sudah terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Kantor pusatnya pun terhitung dekat, di Jl. Rasuna Said sana. Tapi websitenya www.alianz.co.id bagi saya sudah lebih dari cukup bagi kita untuk mempelajari setiap produk yang ada, bahkan kita bisa bertanya langsung lewat twitter @AllianzID, atau di fanpage facebook, email hingga call center siap sedia membantu. Intinya, sangat mudah untuk bertanya dan ataupun claim nantinya.
“The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time.”
― Mark Twain
Mempersiapkan kematian kesannya mungkin menyeramkan ya, tapi -menurut saya- itu adalah salah satu cara kita untuk merayakan kehidupan.
***
Ditulis untuk Allianz Writing Competition
Sumber tulisan : http://www.allianz.co.id
Asuransi memang kebutuhan ya Rin. Sayangnya kemaren ikutan lomba di lapak asuransi sebelah. Hahaha. Belom punya produknya juga sih. Jadinya against personal rule kalo ikutan. Semoga menang ya Rin. 🙂
LikeLike
Iya Daaan, ini sebenernya ‘maksain’ ikutan (di detik2 terakhir pula) krn kebetulan punya si kartu ituh *ups* hihihihih
LikeLike
Lagi daftar asuransi…
LikeLike
Yay!! Aku jg pakai allianz mak. Good luck ya…
LikeLike
berguna banget Rin asuransi, sudah merasakan banget soalnya. Good luck ya aku dukung orin buat menang. vote for orin 🙂 (biar di traktir kalo menang hehehe)
LikeLike
beberapa bulan terakhir saya kan rutin ke rumah sakit.. setiap nunggu obat, saya jg merhatiin org2 d skitar saya… beberapa kali liat ada yg gelisah, ada jg yg ngitung2 pakai kalkulator… saya cmn bisa berdoa smoga mreka dkasih jln kluar… asuransi itu penting bgt yah…
LikeLike
saya belum manfaatin asuransi
LikeLike
samaa pake allianz juga, jadi deh sekalian ikut kontesnya hehe
LikeLike
pengen banget punya asuransi ini, tapi belum sanggup bayar premi yg minimal.
Masih kebulet2 kebutuhan. hihiihi
LikeLike
Sukses ngontesnya Rin …
salam saya
(1/11 : 4)
LikeLike
betul asuransi emang penting banget ya….
LikeLike
gutlak lomba nya.
Tapi setuju emang kalo asuransi itu penting. Setidaknya biar gak ngerepotin orang lain
LikeLike
Oriiiin…bener sekaliiii…
setuju 100% Riiiiin…Safety itu penting…
dan bener pisan katamu Rin, terutama sih buat yang gak kerja kayak kita…
Gudlak ngontesnya yah Riiin 🙂
LikeLike
aku termasuk yang pro asuransi..karan gimana pun kita ga tau apa yang akan terjadi nantinya..
ibaratnya kalo pake asuransi itu sedia payung sebelum hujan..
gutlak ya mak kontesnya ;)))
LikeLike
Saya udah lama pake Allianz. Udah pernah merasakan manfaatnya juga. Tapi, selama ini yang berurusan sama asuransi itu suami. Saya juga sering mikir gitu, kalau sendiri gimana, ya?
Semoga sukses, ya, Rin 🙂
LikeLike
Orin, seperti biasa tulisan lo selalu memukau ^^
Gue suka kalimat yang tentang merayakan kehidupan. Eh btw suamiku juga asuransinya ini, asik ya kalo ke dokter cuma tinggal registrasi-gesek-registrasi-gesek, hehehe..
LikeLike