Seandainya

Melinda

Hujan di Jakarta akhir-akhir ini memiliki definisi baru : macet! Motor-motor yang tidak tahu diri masuk ke jalan khusus busway, membuat TransJakarta menuju tujuan akhir Dukuh Atas 1 ini mandeg di depan Pasar Rumput yang tak pernah sepi. Penumpang yang membludak di jam-jam pulang bekerja membuatku semakin terjepit di pintu, seragamku basah dari tadi, dinginnya AC di dalam busway perlahan membuat perutku terasa perih. Ah, aku baru ingat belum sempat makan siang.

Seandainya saja aku tidak perlu bekerja menjadi petugas busway yang seringkali dipandang sebelah mata seperti ini, mungkin hidupku akan lebih bahagia. Berkostum blazer ditemani high heels, lantas duduk cantik di balik sebuah laptop, untuk bekerja diiringi tak tik tak tik keyboard yang menari perlahan. Alangkah indahnya pekerjaan itu. Tidak perlu berteriak-teriak pada penumpang yang menyebalkan seradak seruduk dan berkumpul di dekat pintu, tidak perlu pegal berdiri bergelantungan berjam-jam seperti ini, tidak perlu…

“Maaf, mbak. Saya mau ke Saharjo, dari halte Manggarai nanti naik apa ya?” lamunanku terhenti karena pertanyaan seorang pemuda kurus di depanku. Rambut berminyaknya mulai kusut, salah satu ujung kemejanya menjulur keluar, tas selempangnya lusuh. Entah kenapa aku yakin di dalam tas itu ada surat-surat untuk melamar pekerjaan. Membuatku malu hati, setidaknya hidup sudah berbaik hati memberiku pekerjaan, tidak seperti dia yang masih harus sedang berjuang. Maka aku tersenyum padanya, pada si pemuda kurus berselempang lusuh, hidupku sudah lebih baik daripada dirinya.

Agus

Aku terduduk di bangku panjang halte Manggarai untuk beberapa saat, mengistirahatkan kakiku yang terus berdiri sejak tadi, seraya mengingat-ingat petunjuk si mbak busway bagaimana aku bisa menuju Saharjo dari sini, seorang kerabat di kampung menyarankan sebuah alamat untukku mencari pekerjaan. Semoga di bengkel Pak Suryo nanti, aku bisa mengais rupiah.

Jakarta ternyata jauh dari bayanganku semula, sangat keras, bahkan mungkin kejam. Rasanya aku menyesal telah datang. Ijasah STM-ku dengan nilai-nilai terbaik rupanya tidak terlalu berarti di sini. Seandainya saja aku adalah seorang sarjana. Tapi untuk kuliah, Itu hanyalah sebuah impian yang tak berani aku inginkan. Adik-adikku masih kecil dan perlu biaya, sudah seharusnya aku membantu Bapak demi keuangan keluarga, walaupun apapun.

Gerimis masih turun satu-satu di luar sana, macet masih menggila, suara klakson bersahutan nyaring seolah murka, meninggalkan para pengendara yang putus asa tak bisa kemana-mana. Aku memasukkan tas selempang bututku pada kresek yang sengaja kupersiapkan, semoga plastik ini sanggup melindungi kertas-kertas yang tak seberapa berharga di dalamnya nanti. Aku akan berlari menuju metromini yang ada di sebelah sana.

“Brengsek!” umpat seorang lelaki dalam mobil hitam yang gagah terdengar saat aku melewatinya, terlihat frustasi mencengkeram kemudi. Aku tersenyum penuh syukur, setidaknya aku masih bisa bergerak untuk kemudian melanjutkan perjalanan, tidak dihentikan keadaan yang menyebalkan tanpa pilihan sepertinya. Mungkin aku akan baik-baik saja di Jakarta.

Robert

Entah untuk ke berapa kalinya, aku mengumpat, lagi. Janji meeting di Mid Plaza pukul 5 lewat sudah, untungnya si calon klien sudah setuju untuk dinner meeting pukul 7 nanti, tapi dengan kondisi jalanan seperti ini, bisa saja aku terlambat. Brengsek!

Detik berikutnya aku hanya bisa meremas kemudi dengan kemarahan tertahan. Seharusnya sore hujan seperti ini dinikmati dengan secangkir kopi hangat bercengkrama dengan istri, bukan bermacet-macet keparat seperti ini. Arrrghhh. Kekesalan yang sudah sampai ubun-ubun membuat keningku semakin berkerut, mungkin mukaku kini sudah semerah kepiting rebus. Cepat aku meraih botol mineral dan menenggak habis isinya, aneh rasanya senewen sendiri seperti ini.

Tiba-tiba sebuah motor merangsek masuk di antara mobilku dan angkot di depanku, spontan aku tekan klakson sekuat tenaga, jangan sampai motor bututnya itu menggores body mobil baruku. Si motor tanpa berdosa berhenti diam di depanku, tak ada lagi ruang gerak untuknya, dia sama-sama terjebak sepertiku. Ha ha, rasakan itu, entah kenapa aku merasa senang.

Tapi kesenangan itu tak bertahan lama, karena kemudian mataku terpaku pada perempuan yang duduk menggigil di bangku belakang motor butut itu. Hujan memang sudah lama berhenti, tapi rinainya masih ada, dan angin di luar sana pastinya menghembuskan aroma dingin. Jaket kulit imitasi yang dikenakan perempuan itu basah seluruhnya, rupanya dia berbagi raincoat dengan lelaki di depannya -mungkin suaminya- karena dia hanya memakai celana raincoat berwarna hijau stabilo itu.

Setidaknya istriku, tidak akan mengalami hal seperti perempuan itu. Dia akan tetap hangat mendengarkan musik sepertiku sekarang, dalam kemacetan sekeparat apapun. Seharusnya aku tidak perlu mengeluh apalagi marah, seharusnya aku bersyukur dan bergembira.

Semoga kau baik-baik saja hingga sampai di rumah nanti, wahai perempuan, ucapku dalam hati.

Anita

Tanganku sepertinya sudah kebas, tapi jemariku tetap saja memeluk pinggang suamiku, bahkan lebih erat daripada sebelumnya. Angin menjelang maghrib pada tubuh yang terlanjur basah rupanya memberikan efek yang kurang menyenangkan.

“Sabar ya, Dek, sebentar lagi kita sampai di rumah.” teriak suamiku dari balik helm melawan deru klakson di kanan kiri kami. Aku hanya mengangguk, bibirku terkatup menutup dalam gigil yang semakin melanda. ‘Penderitaanku’ belum seberapa dibanding dirinya yang harus menjaga keseimbangan motor kami dalam kemacetan seperti ini. Duh, menjadi orang miskin seperti kami memang menyedihkan.

Tapi cepat-cepat aku beristigfar, setidaknya aku dan suamiku sudah memiliki kendaraan sendiri walaupun motor bekas, setidaknya kami berdua masih bekerja dan punya penghasilan walau jauh dari kata cukup, setidaknya kami…

“Dek, lihat deh, ada orang gila tuh lagi joged-joged di trotoar.” suamiku kembali berteriak dari balik helmnya, kali ini sambil menunjuk ke sebuah arah, tempat dimana aku bisa melihat sang orang gila yang sedang menari. Aku tersenyum, setidaknya kami berdua masih waras.

Marno

Aku tertawa, berkali-kali, bahagia. Hujan selalu sanggup menjadikanku manusia paling beruntung di dunia. Sekali lagi, aku bisa berdansa dengan rinainya yang begitu lembut menyapa kulitku. Sekali lagi, aku bisa menari dengan ditemani para penonton yang membludak di depanku, para pejalan kaki, pengendara motor, penumpang angkot dan metromini, hingga tuan dan nyonya yang duduk manis dalam mobil mewah. Mereka bertepuk tangan, bahkan beberapa diantaranya ikut tertawa bersamaku, walaupun tak ada yang berani menemaniku menari.

Tapi tak apa, aku memang lebih suka menari sendiri, aku ingin menghapus sedih-marah-putus asa-kecewa-kesal di wajah-wajah mereka. Maka aku akan tetap menari saat hujan seperti ini, merayakannya dengan gempita, mensyukuri kehidupan yang menyapa dari hari ke hari.

Seandainya saja hujan turun setiap hari..

***

Note : 983 kata, ditulis khusus untuk The First Giveaway-nya mas Ryan 🙂

31 thoughts on “Seandainya

  1. Melihat keatas pun kadang menimbulkan syukur, Orin…

    Banyak duit.. tapi langganan rumahsakit,
    Punya pangkat tapi keluarga berantakan,
    Terkenal tapi nggak bisa nikmati hidup,..

    Jadi kita sudah mendapat jatah sesuai dengan porsinya…
    Setuju…??!!! #kok jadi maksa 😳
    ___
    hehehehe…setuju bgt Maaaam 😉

    Like

  2. selamat berlomba ya, semoga menjadi yang terbaik,
    masih suasana lebaran kan,
    sambil mohon maaf lahir batin, back to zero,
    sambil mata lirak lirik kanan kiri nyari ketupat….salam 🙂
    ___
    Mohon maaf lahir dan batin juga ya Pak, Salam 😉

    Like

  3. kapankah kita semulia marno..? bahagia untuk kebahagiaan orang lain.

    secara keilmuan, kita masih di level bawah dlm hal mensyukuri ya Rin.. harus liat org lain susah dulu, baru kita bisa mensyukuri diri sendiri.. jarang kita bisa bahagia jika melihat orang lain hidup lebih beruntung.

    #marno sekolahnya di mana yah..?
    ___
    Semoga kita sedang berproses menuju sikap Marno ya Mak.
    Denger2 sih dia pernah sekolah di resdtreet university beberapa lama, Mak *halah* qiqiqiqi

    Like

  4. setuju ama komen Arman, bersyukur itu harus untuk semuanya walo koq yah susah ya hihih
    ___
    ahahaha…iya Non, emang kudu dilatih terus biar selalu bersyukur ya

    Like

  5. teh Orin emang ahlinya ngefiksi.. jempol deh teh!!
    aku jg ikutan loh, coba2 aja.. tp yg non fiksi.. *gak usah ditengok* 😀
    ___
    heuheuheu…tengkyu ya Na, semoga kita sama2 beruntung dalam GA ini #eh? hihihihi

    Like

  6. Di antara semua manusia di atas, Marnolah yang paling berbahagia, mensyukuri hidup tanpa perlu memandang kesusahan orang lain dulu.

    Tapiii…haruskah kita seperti Marno untuk bisa bersyukur tanpa memandang penderitaan orang lain dulu?
    Hiiiiyyy… jangan sampai yaa 😀

    Sukses, Oriiiiin. Keren, seperti biasanya 😀
    ___
    He-eh, semoga bisa kyk Marno tanpa harus kehilangan kewarasan ya buCho he he

    Like

  7. ga baca Melinda, Agus, ma temen2nya… (kebanyakan baca jurnal aneh2 jadi asa konslet gitu…hihi)
    kesini cuma mo cipika-cipiki ama minta nastar.. maaf lahir batin ya Neng…
    ___
    nastarnya udah kemana tau Teh qiqiqiqi. maafin juga yaa *ketjup*

    Like

  8. Pingback: TGFTD – The Winner Is… | Jejak Langkah...

Leave a comment