Anak perempuan itu duduk diam saat aku mendekatinya. Walaupun baru beberapa hari aku mengenalnya, tapi aku bisa segera tahu, saat sendiri, dia selalu murung, seringkali bersedih, bahkan tak jarang menangis. Tapi saat bersama teman-temannya yang lain, senyuman tak pernah pergi dari bibirnya. Seolah semesta harus mengenalnya sebagai seorang gadis kecil yang ceria. Kecuali pada saat-saat seperti ini, saat dia terduduk sendiri di sudut taman menatap matahari yang hampir tenggelam.
“Hai.” sapaku pelan, nyaris berbisik. Anak perempuan itu tergeragap, mungkin memang terkejut, membuatku sedikit menyesal mengganggunya. Tapi aku tidak punya pilihan lain, aku harus berbincang dengannya, sekarang.
“Hai…” ujarnya, juga pelan.
“Boleh aku duduk di sini bersamamu?” anak perempuan itu mengangguk, lantas memberi satu ruang kosong di sisinya untukku.
“Kamu suka senja?” tanyanya setelah jeda yang sedikit lama. Giliran aku yang menjawab tanya itu dengan sebuah anggukan. “Aku memiliki sebuah doa khusus saat senja seperti ini.”
“Oh ya?” aku sudah tahu apa pintanya di setiap senja seperti ini.
“Kamu mau mendengarnya?” tanyanya lagi, aku mengangguk cepat, aku ingin mendengar doa itu langsung dari bibirnya, “aku berdoa untuk kedua orang tuaku yang tidak aku ketahui siapa atau di mana. Aku rindu pada mereka berdua, maka aku berdoa, semoga kelak, entah kapan, aku bisa bertemu mereka, dan bahagia bersama.” pipinya seketika gerimis.
Detik demi detik berlalu saat kemudian anak perempuan itu berkata lagi, “Di sore seperti ini, aku juga berdoa supaya kelak, teman-temanku di panti asuhan ini, bisa memiliki orang tua asuh, seperti teman-teman kami yang lebih beruntung telah bersama keluarga-keluarga baru mereka.” Anak perempuan itu tersenyum dalam tangis tanpa isaknya. Sebuah doa yang mulia, bahkan untuk anak sekecil dia. Aku mengerti kenapa Tuhan begitu menyayangi gadis kecil ini.
“Apakah kamu pikir Tuhan mendengar doaku?”
“Tentu saja.”
“Benarkah?”
“Benar. Bahkan, Tuhan begitu menyayangimu, hingga menyuruhku menjemputmu.”
“Oh?” anak perempuanku itu menatapku beberapa detik tanpa berkedip. Aku hanya tersenyum menatap wajah tanpa dosanya. Di surga nanti, Senja tak perlu lagi menangis. Dia akan menjadi gadis kecil ceria yang bahagia, seperti seharusnya.
***
Note : 327 kata
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Si Sulung”
Terus habis itu anak itu mati ya? Sedih… 😦
___
Begitulah 空キセノ 😦
LikeLike
Aw…keren banget mbak. Sampe ngulang lg bacanya. Izrail nya so sweet banget yaaa 🙂
___
terima kasih Rika^^
LikeLike
Kalo Orin udah ikutan GA-nya sulung selanjutnya bisa ditebak akang bakal melipir jadi penonton doank 🙂 (padahal biasa juga nggak pernah ikutan)
___
hahahaha…hayuk atuh kang nge-fiksi lg 😉
LikeLike
Tuntasnya doa senja, luar biasa seperti biasanya bagian akhir mengejutkan… aku sang malaikat penjemput. Terus berkarya ya Neng Orin. Salam
___
terima kasih banyak apreasiasinya ibu^^
LikeLike
Anak ituuuuuu… 😦
___
😦
LikeLike
hiks sedih bacanya Rin
___
*pukpuk Teh Lidya*
LikeLike
kenapa anak itu meninggal mba?
___
karena sudah waktunya saja mas 🙂
LikeLike
wah ternyata malaikat penjemput maut ya… 😀
___
heuheu…iya mas 🙂
LikeLike
Hm .. datang-datang baca anak dijemput …
___
Hai Om, apa kabar? 🙂
LikeLike
Wow, ending yang keren..
Rupanya Senja gak sadar klo diperhatikan seseorang..
LikeLike
izrail at his best performance… penampilan maksudnya. *sok ngenggres padahal nggak ngerti 😀
LikeLike
sedih euy bacanya
LikeLike
Ah Senja, semoga dirimu bahagia disana..
Hiks..
LikeLike
Met jalan senja….
Moga sukses ya GA-nya
___
makasih mba Sus^^
LikeLike
selalu suka dengan endingnya cerita2 Orin …. *kayaknya selalu komen sama deh .. hihihi
___
iya ih, ibu mah komennya gitu terus #eh? qiqiqiqi. makasih ya Bu *ketjup*
LikeLike
Pingback: Pemenang Giveaway Si Sulung | Catatannya Sulung