Cerita sebelumnya, day#4
***
“Bade lungsur di mana A?” Hah?
“Punten?” Aku balik bertanya dengan tidak yakin. Kosakata bahasa Sundaku cuma punten, kumaha damang dan geulis. Betul tidak ya penggunaan punten-ku barusan itu? Si abang supir di sampingku malah tertawa.
“Mas mau turun dimana?” Ooohh… maksudnya itu toh. Ehem, aku pun belum tahu hendak turun di mana.
“Yang seru di mana A?” Tanyaku lagi berharap mendapat pencerahan. Tapi lagi-lagi si abang supir tertawa. Ternyata aku selucu itu ya?
“Turun di payun weh A, seru lho jalan sore-sore di Braga, kalo udah malem mah bahaya.” katanya dengan menekan kata ‘bahaya’ sambil mengedipkan sebelah mata, detik berikutnya kembali dia tertawa. Aku ikut-ikutan tertawa walaupun tidak mengerti di mana lucunya.
Dan untunglah aku menuruti si abang supir tadi, jalan Braga ini sangat menarik. Walaupun bangunan-bangunan tua di kanan kiri jalan sepertinya kurang perawatan, tetap saja mereka bisa mengirimkan aura nostalgia ke zaman Belanda dulu padaku. Bisa aku mengerti kenapa Bandung dijuluki Paris van Java, ruas jalan ini mirip kota Paris yang aku lihat di gambar-gambar. Ah ya, mengingatkanku juga pada seorang bule yang -entah bagaimana- telah merubah jalan hidupku.
Juergen Mueller, sampai monyong-monyong mulutku mengucapkan nama itu saat diajari sang mister. Entahlah anak Bukik ini sudah bisa mengucapkannya dengan benar atau tidak. Tapi pertemuan dengannya, telah menjadikan seorang Rantau -yang sebelumnya tak pernah merantau ini- menjadi tukang delivery door to door ke berbagai tempat yang tidak pernah aku bayangkan.
Tukang foto di taman jam Gadang sekarang hanyalah menjadi pekerjaan sampingan menunggu order kiriman berikutnya. Para orang kaya di kampungku bilang, kiriman mereka untuk seseorang yang istimewa menjadi spesial saat diantarkan langsung olehku, berbeda saat pak pos yang mengantarkannya. Bonus untukku? Berpetualang ke surga yang berbeda.
Dan inilah surgaku kali ini, satu ruas jalan yang dibangun saat kolonial Belanda, dan kini bertransformasi menjadi cafe, bar, butik, tempat karaoke, restoran atau toko-toko menawan. Tapi tetap saja aku tidak mengerti kenapa si Aa supir angkot tadi menyebut kawasan ini berbahaya saat malam.
Tapi, lukisan-lukisan cantik yang berjajar rapi di sepanjang trotoar lah yang paling menarik buatku. Lambat-lambat aku mengamati setiap lukisan. Pegunungan yang hijau. Setangkai anggrek ungu di dalam vas. Penari cilik yang gemulai. Si cepot. Perahu yang tertambat. Sebuah lukisan pensil bergambar “Bundo Rahmi!” Teriakku tak percaya. Lebih tak percaya lagi saat seorang gadis dengan sebuah scarf merah di lehernya juga berseru hal yang sama.
“Kenal Bundo Rahmi juga?” Lagi-lagi kami berbicara berbarengan. Detik berikutnya kami pun tertawa kompak. Malu.
“Bertemu Bundo Rahmi di mana?” Kali ini aku berhasil bertanya duluan.
“Seorang pria memberiku potretnya saat aku pergi ke Danau Toba tempo hari.”
“Potret? Dengan latar jam gadang dan lalu lintas yang nge-blur?”
“Iya, persis begitu. Bagaimana kamu tahu?”
“Kamu masih menyimpan potret itu?”
“Potret itu raib saat aku pulang.”
“Potret itu juga hilang begitu saja dari dalam tasku.”
Detik berikutnya adalah jeda yang membingungkan. Masing-masing dari kami mencoba mengurai teka teki bernama Bundo Rahmi ini.
“Aneh ya.” Kali ini pun kami berkata di detik yang sama, lagi-lagi kami tergelak. Gadis geulis ini bertambah cantik saat tertawa lepas begitu.
“Oh iya, kita belum kenalan,” katanya, “Namaku Lindu,” sambungnya lagi seraya menyodorkan tangan.
“Aku Rantau,” jawabku cepat menggenggam tangannya yang lembut. “Jadi gimana ceritanya bisa tahu Bundo Rahmi?” Tanyaku antusias.
“Duh, aku juga penasaran banget,” Lindu sama antusiasnya denganku, “Kita ngobrol di cafe itu aja yuk Tau.” sebuah ajakan yang tidak mungkin aku tolak.
“Bundo, di manapun Bundo berada, terima kasih ya.” bisikku dalam hati sebelum masuk ke cafe. Surga di Braga ini sangat luar biasa. Dari ujung mata kulihat sekali lagi lukisan sketsa Bundo Rahmi, senyumnya begitu…hidup.
Note : 590 kata, bersambung ke day#6
Saya juga kenal Bundo Rahmi, datang di mimpi, ngasih bros cantik 😀
___
Dimimpiku, kami berdua main di sungai Tt chan 😀
LikeLike
Oo. Namanya lindu toh..
Lindu dah beli scarf merah lagi y? Terus abang pempeknya gmana dong teh?
___
Abang pempek mudah2an muncul di episod berikutnya Mel *tsaaaah…meni gaya* qiqiqiqi
LikeLike
nah FF di braga ini tidak tragis, sebelumnyabaca yang tragis2 🙂
___
hehehe…kumaha mood ieu mah Teh 😀
LikeLike
hmm seperti biasa selalu bikin penasaran hehe..
___
met penasaran ya ‘Ne he he
LikeLike
ahay…bau2nya ada nama lain di hati Lindu nih.. *is..soktau banget deh gw..hehe..* Ayo Rin…lanjoot…
___
siapa yg bau Auntie? hihihihi
LikeLike
Lindu berhasil menyebabkan lindu (gempa) di hati Rantau ya Teh. Kian memikat jalinan ceritanya, setelah Bandung nampaknya setting beralih ke Jateng (Sal3 kah?)
___
Saya suka sekali lho bu dengan ‘lindu’ yang artinya gempa ini, cantik sekaligus membahayakan *apa siiih* hihihihi
LikeLike
Cerita apa ya ini? Ga nyambung ngga baca dari awal… Salam blogger ya mbak…
___
Salam blogger, terima ksaih sudah berkunjung 🙂
LikeLike
huaa… kayaknye, nay ngeliwati beberapa episod niih.. 😦
makin penasaran euy..
___
ayo baca yg kelewat dulu Nay hehehehe
LikeLike
pengen tauk juga pegimana bisa kenal sama bundo rahmi 🙄
___
Mpok Oyen mah udh kenal kok sm Bundo Rahmi 😉
LikeLike
baca cerita ini kok malah jadi pengen ke bandung… halllaah
___
Yuuuk, ke Bandung yuuk 😉
LikeLike
Ini episode Bunda Rahmi yang keberapa ya Rin 🙂
___
episode ke-5 Ummi ^^
LikeLike
nyimak, bener deh………..
___
makasih Sarah^^
LikeLike
Merinding ngebayangin senyum Bundo rahmi yang hidup itu. Orin…
___
Kalo dibayangin emang syerem jg ya Bu Ir *ikutan merinding*
LikeLike
“Bang Rantau, ngapain cape-cape nyari Bundo Rahmi, sih?”
“Entahlah, saya juga bingung pada awalnya”
“Lantas, sekarang sudah tahu jawabannya..?”
“Sudah..”
“Apa itu?”
“Saya ingin pinjam kameranya.. Keren banget cuuyyyy…..”
LikeLike
Gilingan, mateng banget golah plotnya..
LikeLike
Pingback: CerBung – Cerita Bersambung | danikurniawan