Surga itu sederhana

“Simplicity is the ultimate sophistication”, begitu om Da Vinci pernah berkata. Maka Pakdhe Sapardi pun pernah membuat sajak Aku Ingin, yang berulang mengatakan “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Dan sederhana itu memang indah ya 🙂

Apakah temans mengenal seorang Fahd Djibran? Dia adalah seorang penulis, walaupun bukunya yang pernah saya baca baru A Cat in My Eyes dan Curhat Tuan Setan, tapi saya rajin mengunjungi blognya sejak dulu. Kesederhanaannya dalam menulislah yang membuat saya tidak ingin berpaling ke lain hati *tsaaaaah…lebay surabay pisan 😛 *. Sekaligus saya ingin mempelajari pilihan katanya yang tidak berlebihan tetapi tetap bermakna *ngga bisa wae tapi, susaaaaah :P*.

Mari saya tuliskan kembali salah satu tulisan Fahd yang berjudul surga. Tulisan ini baru saja published kemarin, dan berhasil membuat saya percaya, surga memang sungguh sederhana.  

“Kalau di surga kita jadi dua orang yang berbeda, dan kau sibuk dengan seribu bidadarimu meski aku bisa mendapatkan apa saja yang kumau, aku nggak mau masuk surga,” katamu, “Aku nggak mau kita jadi orang asing. Aku ingin tetap bisa memarahimu kalau kau lupa hari ulang tahunku, aku mau kamu tetap cemburu saat nomor yang tak kita kenal menghubungiku.”

Penyataanmu, yang tiba-tiba, membuatku tersentak. Aku memperlambat laju sepeda motorku, “Yakin nggak mau masuk surga?” Aku mengonfirmasi pernyataanmu. Aku masih menganggapmu bercanda.

Pertama, aku nggak mau kalau nggak ada kamu. Kedua, aku nggak mau kalau kita sama-sama masuk surga tapi jadi dua manusia yang berbeda.” Katamu.

Aku tertawa.

Kau memukul pundakku. “Aku serius,” katamu.

Aku tak bisa melihat ekspresimu.

“Serius?” Aku tersenyum, bahagia sekaligus khawatir.

Kita diam beberapa saat. Angin menerpa wajah kita berdua. Jalan Raya Seribu Serpong. Rumah Makan Padang Sederhana. Lampu merah: Kita menghitung mundur dari angka 52.

“Peluangku agak kecil untuk masuk surga,” aku memulai lagi percakapan kita tentang surga, “Aku banyak dosa.”

“Aku juga. Aku bukan istri yang baik yang bisa melayani suaminya.” Timpalmu.

Aku terkekeh. “Kamu istri yang baik, kok. Melayani? Aku bukan tipe laki-laki yang nyari pelayan gratisan buat dijadikan istri.”

Kamu tertawa kecil.

“Kalau kelak kita berdua masuk surga, kamu janji nggak akan jadi orang yang berbeda?” Tampaknya kamu sungguh-sungguh dengan pertanyaan itu.

“Aku ragu bisa masuk surga. Tapi, kapanpun aku nggak mau jadi orang yang berbeda buatmu. Aku akan tetap ada untuk membuatmu bahagia.”

Lampu hijau. Kamu terdiam. Klakson bus menyalak dari belakang.

Beberapa saat kemudian, kamu melanjutkan percakapan kita, “Kalau di surga ada ribuan bidadari untukmu, tentu kamu akan jadi orang yang berbeda. Kamu akan dengan mudah melupakan aku.”

Aku tertawa. Kecepatan 40 km/jam.

“Tidak akan ada ribuan bidadari untukku. Surga adalah tempat yang sudah kita berdua tahu.” Jawabku.

“Maksudmu?”

“Ya, surga adalah tempat yang sudah kita tahu. Di sana ada sofa tempat kita duduk berdua: Bercerita dan bercanda. Ada dapur tempatmu memasak. Ada koleksi buku-bukuku dan film-filmmu. Di sana juga ada ruang tengah tempat anak kita mengacak-acak mainannya—pemutar musik yang menyanyikan lagu favorit kita berdua. Di surga, ada tempat tidur yang kita beli pertama kali dengan uang yang kita dapatkan dari angpao para undangan di pesta perkawinan kita. Dan yang paling penting, di sana hanya ada satu bidadari: Kamu.”

Ah, gombal lagi.” Katamu. Mengejekku.

Nissan Grand Livina menyalip kita secara terburu-buru. Ah, mobil yang kita mau. Aku tertawa, “Gombal adalah bagian penting dari tugas pokok dan fungsi seorang suami.” Jawabku.

Aku berhenti. Lalu memutar arah sepeda motorku.

Lho? Nggak jadi belanja?” Katamu.

Nggak,” jawabku.

Kecepatan 60 km/jam.

“Kita mau ke mana? Pulang?”

Aku mengangguk. “Ya, kita pulang,” jawabku, “Ke surga yang sudah kita tahu.” 

Ada kebahagiaan sederhana yang mengembang jadi senyumku—semoga juga jadi senyummu. Matahari tenggelam, oh matahari tenggelam. Angin berembus perlahan. Jalanan macet yang indah: Dipenuhi merek-merek kendaraan yang kita inginkan. Deretan ruko-ruko memajang semua barang yang kita mau. Ribuan bidadari di papan-papan reklame. Ah, surga yang sudah kita tahu.

Selamat menikmati surga yang kalian tahu ya temans 😉

PS : Silahkan baca tulisan Fahd lainnya di www.fahdisme.com, dan bersiaplah berpetualang dengan kekuatan kata-katanya 🙂

33 thoughts on “Surga itu sederhana

  1. ke surga yang kita tahu..

    #eMak berkacakaca..
    #orin juga pasti anyis baca iniiiii…

    Orin : Iyaaaaa, makanya Orin repost, biar ada temen anyis 😀

    Like

  2. kalau saya … tertarik dengan kata-kata ini …
    “Gombal adalah bagian penting dari tugas pokok dan fungsi seorang suami”

    Kok aku nggak begitu ya ???
    qiqiqiqi …

    Salam saya

    Orin : tenang Om, sepertinya banyak kok suami2 yang tidak bergombal ria hihihihi

    Like

  3. tosss
    aku juga suka sama fadh jibran
    baru tahu kalau dia punya blog
    kerennn bangetttt..
    dia kritisss,,
    aku udah baca bukunya..
    (*numpang baca di gramed

    Orin : haiyyaahh…nih kalo mau baca pinjem bukuku 😛

    Like

  4. Hadeeeeh…romantisnyaaaa…..

    Langsung pengen sms hubby soalnya tadi aku ngambek *eh gak ada pulsa* >_<

    btw, pinjem dong bukunya Oriiiiin!

    Orin : hihihi…suka nyesel ya May kalo gi ngambek ma misua 😀
    Sinih kalo mau minjem mah 😉

    Like

  5. satu link yang harus segera dikunjungi. Cuplikan tulisan ini saya anggap undangan resmi. Terima kasih, Teh sudah berbagi dan menunjukan jalan silaturahim ke penulis yang sederhana tapi berbeda dari yang sudah ada.

    Orin : Selamat menikmati ya Bi 🙂

    Like

  6. aku juga salah satu penggemar buku2 fahd djibran teh..
    walau baru baca dua buku itu juga.. hehehhe
    dan jarang maen ke blognya..

    Orin : Iya Mel, buku yg lainnya susah didapet, abis mulu 😦

    Like

  7. Subhanallah… sederhana banget, terenyuh euy, ngebayangin suami ku nanti yg bilang itu *akh…indahnye kalo ngayal* :))

    Orin : hayu Nay, khayalannya drealisasikan hihihihi

    Like

  8. Kirain karyanya, Teh Orin loh…

    Hihi…ngakak dan setujuh pas si Pria bilang, “Gombal adalah bagian penting dari tugas pokok dan fungsi seorang suami.” Hahahahah… 😀

    Ngegombal terusss, walo dompet udah nipis, beras mo abis Huwaaah.

    Orin : eyampun, keren bgt begitu mana mungkin karyaku Ris 😛 Aamiin tapi, mudah2an aja kelak bisa begitu ya he he.

    hahaha…gombal menggombal tidak berbanding lurus dg keadaan dompet dan beras kok, bener deh 😉

    Like

  9. Ikutan belajar ….mempelajari pilihan katanya yang tidak berlebihan tetapi tetap bermakna….. Trimakasih Orin, salam

    Orin : mari belajar sama2 bu Prih 🙂

    Like

  10. Rin, aku sukaaaa juga dengan ‘Aku Ingin’ nya Sapardi itu…musikalisasinya juga bagus..*tapi lupa siapa yg mbawain, hehe..*
    Trims sdh memperkenalkanku dg Blog itu ya… ntar kesana ah 🙂

    Orin : Iya Auntie, aku jg pernah denger, tapi lupa jg yg muskalisasi puisi itu hihihihi..

    Like

  11. qiqiqiqi… aku tertawa saat si abang memutar balik sepeda motornya… :mrgreen:
    gegerasa kena gombal sang istripun luluh nggak jadi belanja, ilmunya bisa diterapkan nanti haah
    makasih mbak.. 😉

    Like

  12. Orin, saya suka banget dengan semua yang ditulis pake warna biru itu…pengen nangis rasanya, tapi juga pengen tersenyum saat membayangkan duduk berdua di sofa ‘surga’ dengan orang tercinta…

    Thanks sudah membuat pagi ini hangat dan penuh cinta buat saya, Rin…semoga surga yang indah itu memang nyata adanya. Tidak hanya nanti, tapi juga kini 🙂

    Like

  13. berbagi kata2 gan,
    Seorang pemenang yg sesungguhnya adalah ketika dia mampu melawan amarahnya dgn kesabarannya,dan memaafkan dgn ketulusan.
    semoga dapat bermanfaat dan di terima ya, salam kenal 😀

    Like

Leave a comment