Sebelumnya, aku tidak pernah menyesal terlahir sebagai orang miskin. Tidak pernah, hingga saat ini. Detik di mana aku berandai-andai berangan, bermimpi dan berkhayal aku bukanlah aku. Jika aku bukan orang miskin, aku punya banyak pilihan. Dan tidak perlu bekerja seperti ini. Dan tidak perlu berada di sini. Dan tidak perlu melakukan ini. Dan tidak perlu…
“Silahkan mas…” wanita cantik di meja itu mempersilakanku masuk ruangan yang satu lagi setelah lima belas menit aku menunggu, memotong mimpiku. “Direktur Utama”, begitu bunyi plang di pintunya. Membuatku berpikir apakah itu artinya ada Direktur Kedua, Ketiga dan seterusnya? Entah sudah berapa ratus kali aku masuk ke ruangan ini, dan sekian ratus kali pula aku selalu terkesima dengan plang direktur utama berwarna emas itu. Rupanya selain miskin aku pun bodoh.
“Mau apa lagi kamu kemari?” bentaknya membuat nyaliku yang sudah ciut semakin mengkerut. Susah payah aku menutup pintu di belakangku tanpa suara. Susah payah pula aku menelan ludahku dan memaksa lidahku berkata. Tapi ternyata yang bisa aku lakukan hanya mendekati meja besar dengan lelaki besar di baliknya –yang sedang mengamatiku dengan wajah garang- perlahan, untuk meletakkan suratyang sedikit basah akibat telapak tanganku yang berkeringat.
“Da…dari Ibu,Pak” tergagap aku berkata saat lelaki besar itu tak juga bergeming dari kursinya.
“Iya saya tahu.” Ujarnya menggelegar, membuatku harus kembali menelan ludah dengan susah payah karena tenggorokanku yang kerontang. “Kamu bilang sama dia ya. Tidak perlu mengirimkan surat cinta begini sama saya. Saya ini sudah punya istri!!!” Teriakmu semakin memekakkan telinga.
“Kkka.. kalau Bapak belum balas, sssaya besok datang lagi Pak.” Kalimat panjang itu akhirnya terucapkan juga. Membuatku terbirit lari saat si lelaki besar melempar kotak tissue ke arahku.
“Perempuan gilaaaaaa…” teriakan lelaki besar itu masih terdengar saat aku keluar dari ruangan. Aku terengah meredakan degup jantung seraya menatap si wanita cantik yang terkikik di mejanya.
Aku tahu, sepucuk surat (bukan) dariku itu sudah membuat lelaki besar itu gila. Seperti juga aku yang terlanjur gila karena telah lama bekerja untuk seorang perempuan gila.
Miskin. Bodoh. Gila. Rasanya aku tidak punya harapan.
*Note : 329 kata, dan semakin geje :p
makin geje justru Ngai makin cinta sama teh Orin.. 😛
ini keren!
LikeLike
Orin emang makin geje..
LikeLike
Tante Orin emang Geje Badannya..
sstt..kabuur
LikeLike
jadi maksudnya saya ini siapa ya… tapi cara ceritanya bagus, as usual 😉
LikeLike
Geje dan bikin penasaran. Lanjutkan mbak,, 😀
LikeLike
geje aja keren, gimana kalo pas je… 😀
LikeLike
hiyaaa.. tetep bagus koq, nggak ketebak. hahah ternyata gila. hmm tapi kiteria gila yang seperti apa ya?
bagus. lanjutkan nak!
#halah
LikeLike
bagus 🙂
LikeLike
weleh..idenya bisa-an ajah yah dapet begitu yah Teh…
biar geje yang penting idenya ngaliirrrr
LikeLike
geje boleh asal jangan gila rin 😀
kasian suamimu hahaha
Orin : suamiku udh tau kok Ka hihihihi
LikeLike
Hehe… fine2 aja tuh 😀
Aku paling suka caramu menggunakan kalimat diantara dua garis datar itu. Aku sudah pernah baca tentang cara pemakaiannya, tapi belum pernah mengaplikasikannya. Haha… 😀
LikeLike
haha :p
Mbak orin geje…
Orin : akhir2 ini lg hoby geje Di hahahaha
LikeLike
ah,, gaya bertutur teh orin emang juara..
LikeLike
kirain kunti yang terkikik di meja 😀
LikeLike
teh Oriinnn…
kangen berkunjuunggg 😀
LikeLike
geje gak geje tapi selalu bisa bikin emosi pembaca ikut alur
LikeLike
hihihi… jadi inget film ‘you’ve got mail’.
bedanya, yang ini genre-nya horror 🙂
LikeLike