Soulmate? Jodoh? Kekasih hati?

Gambar diatas saya terima dari seorang teman, entah berapa tahun yang lalu. Karena memang lucu, rupanya langsung saya simpan. Dan beberapa jam yang lalu saat saya mencari-cari file, komik lucu ini ‘muncul’ kembali, Saya kutipkan kembali percakapan lucu sang Lebah Jantan (LJ) dan Lebah Betina (LB) ini yaa, barangkali terlalu kecil tidak terbaca. Berikut dialognya :

LJ : “Aku suka coklat”

LB : “Aku tidak suka coklat tapi aku suka permen”

LJ : “…” (paused) “Aku tidak suka permen.”

LB : “…” (paused) “Tapi kamu suka nonton konser kan?”

LJ : ” Sebetulnya aku lebih suka nonton bola.”

LB : (tertunduk)

LJ : “Aku tidak suka konser.” (menengadah ke atas, kecewa)

LB : “Aku tidak suka bola.” (menengadah ke atas, kecewa juga)

LJ + LB : “Bagaimana kalau berenang?” (sama-sama kaget)

LJ + LB : “…” (sama-sama tertawa)

LJ : “Aku tidak bisa berenang” (sedih)

LB : “Eh…aku juga.” (sedih juga)

LJ : “Kalau begitu kamu pasti tidak suka aku.”

LB : “Berarti kami juga tidak suka aku.”

LJ + LB : (berseru senang bersama-sama) “Kalau begitu kita COCOK!” (berpegangan tangan bahagia)

*** selesai***

Nah, lumayan lucu kan? he he he.

Dan kelucuan yang saya temukan kembali secara tidak sengaja ini, membuat saya merenungi makna sebuah kata ‘cocok’. Komik diatas mungkin sederhana, tapi bukankah cukup dalam maknanya? Setidaknya begitu bagi saya πŸ™‚

Bukankah terkadang (tanpa sadar) kita mencari pacar -misalnya, yang sama-sama penyuka coklat, atau kriteria calon suami/istri kita nanti adalah yang juga hoby menonton konser, kan? Tidak selalu tentu saja, tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa memiliki kesamaan-kesamaan seperti itu (rasanya) akan lebih menyenangkan dalam sebuah relationship (maupun hubungan pertemanan).

Bukankah kata ‘cocok’ seringkali merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti :

“kok bisa yakin si dia ini yang akan menjadi pasangan hidupmu?” => iya, aku cocok banget sama dia

“serius neehh mo nikah sama si anu? kenapa?” => he-eh, udah cocok euy …dan sebagainya dan seterusnya

Tetapi, berapa banyak juga perceraian yang mengatasnamakan ketidak’cocok’an ini? Apakah kesimpulannya kalau sudah cocok bisa menikah, dan jika sudah tidak cocok, yaa boleh bercerai, begitu??? Walaaaahhh…

Sebagai orang yang sedang mengalami maju-mundur dengan perasaan teu pararuguh menuju pernikahan (cieehh… :P), hal ini adalah salah satu topik serius yang sering saya pikirkan. Ada orang yang telah berpacaran 9 tahun (cocok banget dunk berarti pacaran selama itu) lantas menikah, hanya untuk kemudian bercerai 6 bulan berikutnya. Sementara yang lain mengenal pasangan hidupnya hanya 2 bulan sebelum mereka menikah (entah saat itu sudah ada kecocokan atau belum), dan masih bersama 6 tahun berikutnya hingga sekarang. Lantas, bagaimana dengan saya?

Keraguan, ketidakyakinan, ketidaksiapan dan teman-temannya sering sekali mengganggu keseharian saya akhir-akhir ini. Pertanyaan-pertanyaan aneh berbondong-bondong datang tanpa bisa saya jawab dengan ‘YA’ yang tegas. Yang semakin membuat saya lebih meragu, lebih tidak yakin, dan lebih tidak siap.

Bisakah seorang saya – individu yang terbiasa mandiri- ‘menggantungkan’ hidup pada seseorang yang (rasanya) baru saja saya kenal kemarin ini?

Bisakah saya berbagi pada seorang asing? berbagi kisah kehidupan, berbagi impian dan cita-cita, bahkan sekedar berbagi tempat tidur dan lemari pakaian?

Bisakah saya menjadi bagian dari dirinya sekaligus tetap menjadi ‘saya’ (dan atau sebaliknya)?

Bisakah saya mengerti his unspoken words dan atau mampu membaca makna dibalik sikapnya?

Dan pertanyaan aneh sejenis yang -saya sendiri berpikir pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat- absurd πŸ˜›

Dan, ‘pencerahan’ itu datang justru dari dosen Filsafat saya, yang pada saat itu materi bahasan kami adalah mengenai filsafat-filsafat timur. Berbeda dengan Plato, Descartes, Kant, atau Hegel dengan filsafat barat-nya yang mengagungkan rasio dan ke’aku’annya, filsafat-filsafat timur seperti Budha dan HinduΒ  (sebagai filsafat, bukan ajaran agama), Confusius dan Lao Tzu justru mengajarkan untuk berpusat pada alam jika tidak disebut spiritual. Bahwa hidup dan kehidupan adalah sebuah proses suci yang hanya perlu dijalani dengan baik, bukan untuk terlalu dipikirkan kenapa dan bagaimana. Bahwa kita -manusia- adalah satu jiwa dengan alam, bahkan dengan kehidupan.

So, akhirnya saya memutuskan untuk memilih menjalaninya saja, -dengan atau tanpa semua keraguan dan teman-temannya itu-, saya berpengharapan baik bahwa beliau dipilihkan Beliau Yang Maha Tahu sebagai pendamping hidup saya. Entah soulmate atau bukan, mungkin juga jodoh, atau bisa saja disebut kekasih hati, tapi saya ingin menamainya sebagai sahabat jiwa, jiwa suci dalam sesosok pria yang telah Tuhan pasangkan bagi jiwa dalam sosok saya, yang telah dipilihkan sebelum kelahiran kami berdua.

Doakan kami bisa saling menjadi sahabat jiwa bagi satu sama lain yaa…. πŸ™‚

8 thoughts on “Soulmate? Jodoh? Kekasih hati?

  1. Satuju.kadang2 jodoh tak harus punya byk kesamaan baik segi fisik,hobby,maupun prilaku.
    Kadang ada orang pendiam berjodoh dgn org cerewet.kalau dipikir sih gak msk akal.
    ___
    Betuuuul, karena cinta ga harus logis ya he he

    Like

  2. saya melihat dari perspektif yg agak berbeda….semakin lebih banyak perbedaan justru di situ seni untuk menekan ego kita masing-masing. Kalau bisa menjalani setahun pertama dengan baik….insya Allah bisa melanjutkan hingga tahun-tahun berikutnya dengan lebih mudah.
    Alhamdulillah…kebanyakan hobi saya dan istri banyak bedanya….kalau saya senang berantakin rumah, istri saya senang beresin rumah. Kalau saya senang nonton film komedi, dia lebih memilih film suspense thriller, dan banyak lagi perbedaan2nya….yg benar2 sama yakni kita berdua sama2 mau mengalah dan punya niat yang sama untuk memperbaiki yg kurang baik….
    ___
    Sepakat mas Necky, dg banyak perbedaan malah jd belajar hal2 baru dr pasangan ya πŸ™‚

    Like

Leave a comment